Kembalinya Si Anak Hilang
"Please, just this once."
Telepon terputus. Beberapa saat kemudian aku menerima e-mailnya. Data, foto, tempat dan kapan. Aku menarik nafas panjang. Gugup.
Oh well, just this once. Gambar-gambar itu kembali berkelebatan di benakku. Ibunya menangis. Adiknya sesunggukan. Ayahnya seperti tak mampu melihat wajahnya. Wajah-wajah tangis itu.
Sudah bertahun-tahun aku tidak melakukannya. Mengambil posisi, bergerak cepat, menjadi tak terlihat dan tiba-tiba langsung berhadapan dengan target. Sasaran. Korban. Apalah. Yang aku tahu bayarannya saja. Jutaan. Bahkan kalau aku suka, gratis!
Mataku harus awas. Satu derajat saja bisa fatal. Nafas pun harus tak terdengar. Dan jemari pun harus senyawa dengan perintah otak. "Yak, sekarang!" Tidak seperti rusa yang anggun. Mereka mempunyai pola yang terbaca. Merunduk beberapa saat, lantas melongok ke kiri dan kanan. Hanya alam yang menyuruhnya berlari. Selain itu dia hanya berputar-putar saja. Tapi ini manusia. Yang bisa bergerak secara impulsif. Yang leluasa berkehendak dan bergerak kapan saja. Dan itu, aku harus membaca pikirannya.
Ah.. di mana semua insting itu.
Dan jari-jariku semakin kaku mendingin. Kukepulkan nafas di antaranya. Kukepal-kepalkan tangan. Krtk..krtk.. jari-jariku kubuat rileks. Ritual yang selalu kulakukan sebelum beraksi. Mengembalikan lagi sensasi itu.
Di gudang, tas hitam besar itu seperti tersenyum memandangku. "Diam! Bantu aku menyelesaikan tugas ini." Ada sensasi yang menjalar ketika kembali menyentuh benda-benda metal itu. Dingin. Rugged. Masih kokoh dalam genggaman. Tak bisa kupungkiri bagaimana aku memang sangat merindukannya. Kucoba menutup mata dan merakit mereka satu sama lain. Masih bisa! Walau sedikit lamban. Tak apa, aku masih punya seminggu untuk menyempurnakannya. Kali ini kudapati mereka tertawa seraya mengejek. "Aku bilang, diam!!"
Kali ini mungkin tidak setelan hitam-hitam. Terlalu menyolok. Security zaman sekarang sudah semakin awas dengan penampilan yang eksentrik. Setelan batik saja. Agar lebih gampang menyelinap dan saru dengan intel.
Kupelajari lagi semua file-file tadi sekedar mengulang. Sekedar meyakinkan lagi agar aku benar-benar bisa melakukannya. Taksiku sudah menunggu bak mobil pengantin.
Sejenak sebelum menutup pintu, kutatap bayanganku di kaca. Kali ini dia berkata "Ayolah, kau fotografer handal!"
Ah ya.. fotografer kawinan!
Telepon terputus. Beberapa saat kemudian aku menerima e-mailnya. Data, foto, tempat dan kapan. Aku menarik nafas panjang. Gugup.
Oh well, just this once. Gambar-gambar itu kembali berkelebatan di benakku. Ibunya menangis. Adiknya sesunggukan. Ayahnya seperti tak mampu melihat wajahnya. Wajah-wajah tangis itu.
Sudah bertahun-tahun aku tidak melakukannya. Mengambil posisi, bergerak cepat, menjadi tak terlihat dan tiba-tiba langsung berhadapan dengan target. Sasaran. Korban. Apalah. Yang aku tahu bayarannya saja. Jutaan. Bahkan kalau aku suka, gratis!
Mataku harus awas. Satu derajat saja bisa fatal. Nafas pun harus tak terdengar. Dan jemari pun harus senyawa dengan perintah otak. "Yak, sekarang!" Tidak seperti rusa yang anggun. Mereka mempunyai pola yang terbaca. Merunduk beberapa saat, lantas melongok ke kiri dan kanan. Hanya alam yang menyuruhnya berlari. Selain itu dia hanya berputar-putar saja. Tapi ini manusia. Yang bisa bergerak secara impulsif. Yang leluasa berkehendak dan bergerak kapan saja. Dan itu, aku harus membaca pikirannya.
Ah.. di mana semua insting itu.
Dan jari-jariku semakin kaku mendingin. Kukepulkan nafas di antaranya. Kukepal-kepalkan tangan. Krtk..krtk.. jari-jariku kubuat rileks. Ritual yang selalu kulakukan sebelum beraksi. Mengembalikan lagi sensasi itu.
Di gudang, tas hitam besar itu seperti tersenyum memandangku. "Diam! Bantu aku menyelesaikan tugas ini." Ada sensasi yang menjalar ketika kembali menyentuh benda-benda metal itu. Dingin. Rugged. Masih kokoh dalam genggaman. Tak bisa kupungkiri bagaimana aku memang sangat merindukannya. Kucoba menutup mata dan merakit mereka satu sama lain. Masih bisa! Walau sedikit lamban. Tak apa, aku masih punya seminggu untuk menyempurnakannya. Kali ini kudapati mereka tertawa seraya mengejek. "Aku bilang, diam!!"
Kali ini mungkin tidak setelan hitam-hitam. Terlalu menyolok. Security zaman sekarang sudah semakin awas dengan penampilan yang eksentrik. Setelan batik saja. Agar lebih gampang menyelinap dan saru dengan intel.
Kupelajari lagi semua file-file tadi sekedar mengulang. Sekedar meyakinkan lagi agar aku benar-benar bisa melakukannya. Taksiku sudah menunggu bak mobil pengantin.
Sejenak sebelum menutup pintu, kutatap bayanganku di kaca. Kali ini dia berkata "Ayolah, kau fotografer handal!"
Ah ya.. fotografer kawinan!