Friday, November 21, 2014

Matinya Demokrasi

Demokrasi Mati?
Di mana kuburannya?
Tahun 90an, sebelum 1998, di Mesir pernah diadakan konferensi dunia membahas praktek demokrasi negara-negara.
Delegasi dari Indonesia kebetulan beragama Kristen. Sehingga tak pelak lagi mengundang pertanyaan, bagaimana bisa delegasinya justru beragama Kristen dari negara yang mayoritas Islam.
Pemerintahan Singapura, Malaysia, Thailand dan negara Asia lainnya umumnya berisi dari mayoritas suku/agama yang ada. Walau Indonesia pun sebenernya begitu. Dan bahwa mereka yang minoritas memang biasanya mendapat berbagai perlakuan umumnya minoritas.
Kembali pada konferensi tadi, dengan berdirinya si delegasi tadi di situ, cukuplah membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya mempraktekkan demokrasi, sekecil apa pun bentuknya. Kalau ditilik lagi, pun insiden itu bisa menjadi pelajaran besar; pada saat itu, 20 tahun yang lalu.
Jadi kita perlu lebih mengerti lagi apa hestek ‪#‎RIPDemokrasi‬.
Kalau dibilang "RIP hak masyarakat untuk memilih wakilnya untuk menjadi pemimpin", benar saja.
Atau hanya kekesalan masyarakat akan dirampoknya pemahaman “Sekarang memilih pemimpin dengan kesadaran mumpuni”, iya, saya setuju.
Tapi untuk mematikan demokrasi…mana kuburannya?
Pagi itu, kita dibangunkan dengan berita keputusan RUU Pilkada dipilih oleh DPRD, tidak lagi oleh rakyat langsung.
Secara metafora seharusnya benar kita dibangunkan. Dibangunkan dari keterlenaan, si baik yang menang, akhirnya harapan yang baik pun datang, dan segala macam bunga mimpi yang katanya tertidur lagi 16 tahun setelah 1998.
Nyatanya? Ada saja pihak yang bisa melencengkan. Dengan segala kesempatan dan kepentingan.
Kita jelas punya kepentingan, sekarang dan besok. Kepentingan tersebut pernah dimenangkan akan sebuah usaha; beberapa bulan lalu.
Tapi, seperti rusaknya sebuah jalan; ketika jalan tersebut rusak kita mengeluh. Ketika sudah selesai dibenahi, kita tetap serampangan merusak.
Lupa. Lupa. Seringnya begitu. Lupa.
Menjadi oposisi seperti mereka sekarang tidaklah cukup tidur. Mereka akan berupaya segenap tenaga menjadikan tujuan mereka tercapai, sampai titik di mana mereka bisa menang, (dan sukur-sukur tenang). Segenap cara yang mereka mampu, karena dengan berdemokrasi, siapa pun boleh punya cara toh? Come on, de-mo-kra-si.
Kita gak bisa terlena akan sebuah kemenangan. Sadarlah kemenangan yang dipinjamkan sekarang harus dikawal kayak surat suara kemarin. Lengah sedikit, ini yang terjadi.
Jadi kalau dibilang demokrasi mati, mungkin karena kita gak memakai sepenuhnya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home