Negri Linglung (Karena Link-Link)
Berbahagialah bangsa ini karena semakin banyak yang melek internet.
Sekarang orang sudah piawai membaca berita yang menjadi minat mereka.
Gampang: tinggal klik link-nya, baca, beri komentar, diresapi kontennya, lalu terserah. Praktek tersebut bisa jadi terbulak-balik. "Sikat dulu baru mikir" atau "Mikir dulu baru komentar", itu memang pilihan.
Pilihan tersebut memang termotivasi tujuan awal. Kalau dari sononya mau menghibur batin dengan berita ringan ya akan menjadi ringan. Serius ya serius. Hasut ya...ya sudahlah ya.
Sekarang ini kan banyak sekali tuh berita atau informasi bersliweran di internet. Saya selalu tertarik melihat pentajukan dan sumbernya. Sudah pasti headline yang seru, memikat, provoking berhasil mengusik pikiran pembaca untuk lanjut membaca isinya. Pintar-pintar yang buatlah, gak mesti wartawan yang bisa bikin headline begitu (karena infotainment sudah cukup lama melatih kepekaan pemirsa untuk mendelik berita panas hehehe).
Lalu kemudian saya akan mencermati sumbernya. Apa bagaimana dari mana 'link' tersebut tersajikan.
Sebentar, saya akan menyoroti nama-nama baru atau miring dulu, baru nanti nama-nama besar/resmi.
Nama-nama website, blog, ID twitter dll itu seringnya unik. Biasanya ini bikinan pribadi atau organisasi yang baru saja muncul. Lihat saja keberagaman wawasannya: ada yang keminggris, alay, ke-agama-agama-an, ke-partai-partai-an sampai yang susah dibaca dan diartikan sekalipun. Yang namanya anak kemarin ya pasti butuh eksistensi agar berterima di lingkungannya, atau di komunitas yang disasar. Bak layaknya iklan produk mereka harus memikat, fantastis, bombastis, extravaganza, apa-apalicious. Ya iya dong, kalo enggak siapa yang melirik?
Demikian akhirnya konten yang disajikan sering secara kasat mata sangat gampang dicerna pada permukaan saja. Tidak ada gambaran besar dari sebuah konsep. Mungkin hanya tahan selama 5 jam. Kira-kira begitu. Kalau pun ada yang bagus, artinya memang sudah mempunyai rencana dan kesinambungan yang baik. Keminggrisnya: well planned.
Lalu ada juga sumber berita resmi dan punya reputasi. Karena sudah punya pengalaman panjang dan teruji, seyogianya mereka akan kukuh memegang integritas sebuah pemberitaan. Ini yang sering didapati, dalam pemberitaan mereka, terkesan hambar. Tidak memihak. Tidak seru. Gak ada kontras seperti sinetron; pahlawan menyelamatkan yang didzolimi. Gak ada jotos-jotosan karena dituntut menjadi wasit yang jeli. Pembaca disuruh mikir sendiri. Bukan karena gak berani beropini, tapi pembaca disuruh mandiri.
Eh tapi kan ada tuh korporasi berita yang besar tapi memihak. Iya, ada.
Namun hanya segelintir orang yang bisa melakukan itu. Yang artinya hanya beberapa orang yang punya kemampuan finansial (atau kekuasaan) bisa menyetir sebuah perspektif opini.
Ingat, hanya beberapa orang. Ciri-cirinya biasanya mereka tajir melintir. Karena di negri ini gak banyak-banyak amat yang kaya, mending kita mikir lagi deh untuk mau mendengar, setuju, mengikuti atau ngefans dengan mereka. Biar gimana pun, setidaknya saya, kita adalah rakyat. Nah dia?
Tapi apakah link-link tersebut akan bertahan lama? Masih enak dibaca dan perlu?
Pemirsa yang menentukan. Kembali lagi ke paragraf sebelumnya, niatan orang untuk membaca itu yang menjadi kunci. Akan susah mengajak orang yang sama sekali tidak tertarik dengan intrik untuk membaca berita intrik. Logikanya begitu. Di sisi lain, kalau memang doyannya berita intrik ya hanya mau dengar intrik. Kenyataannya? Entar dulu. Intrik dulu. Yang penting itu.
Lalu kenapa ngasi judul tulisan seperti ini?
Aaah ngaku aja deeeeh... :))
Sekarang orang sudah piawai membaca berita yang menjadi minat mereka.
Gampang: tinggal klik link-nya, baca, beri komentar, diresapi kontennya, lalu terserah. Praktek tersebut bisa jadi terbulak-balik. "Sikat dulu baru mikir" atau "Mikir dulu baru komentar", itu memang pilihan.
Pilihan tersebut memang termotivasi tujuan awal. Kalau dari sononya mau menghibur batin dengan berita ringan ya akan menjadi ringan. Serius ya serius. Hasut ya...ya sudahlah ya.
Sekarang ini kan banyak sekali tuh berita atau informasi bersliweran di internet. Saya selalu tertarik melihat pentajukan dan sumbernya. Sudah pasti headline yang seru, memikat, provoking berhasil mengusik pikiran pembaca untuk lanjut membaca isinya. Pintar-pintar yang buatlah, gak mesti wartawan yang bisa bikin headline begitu (karena infotainment sudah cukup lama melatih kepekaan pemirsa untuk mendelik berita panas hehehe).
Lalu kemudian saya akan mencermati sumbernya. Apa bagaimana dari mana 'link' tersebut tersajikan.
Sebentar, saya akan menyoroti nama-nama baru atau miring dulu, baru nanti nama-nama besar/resmi.
Nama-nama website, blog, ID twitter dll itu seringnya unik. Biasanya ini bikinan pribadi atau organisasi yang baru saja muncul. Lihat saja keberagaman wawasannya: ada yang keminggris, alay, ke-agama-agama-an, ke-partai-partai-an sampai yang susah dibaca dan diartikan sekalipun. Yang namanya anak kemarin ya pasti butuh eksistensi agar berterima di lingkungannya, atau di komunitas yang disasar. Bak layaknya iklan produk mereka harus memikat, fantastis, bombastis, extravaganza, apa-apalicious. Ya iya dong, kalo enggak siapa yang melirik?
Demikian akhirnya konten yang disajikan sering secara kasat mata sangat gampang dicerna pada permukaan saja. Tidak ada gambaran besar dari sebuah konsep. Mungkin hanya tahan selama 5 jam. Kira-kira begitu. Kalau pun ada yang bagus, artinya memang sudah mempunyai rencana dan kesinambungan yang baik. Keminggrisnya: well planned.
Lalu ada juga sumber berita resmi dan punya reputasi. Karena sudah punya pengalaman panjang dan teruji, seyogianya mereka akan kukuh memegang integritas sebuah pemberitaan. Ini yang sering didapati, dalam pemberitaan mereka, terkesan hambar. Tidak memihak. Tidak seru. Gak ada kontras seperti sinetron; pahlawan menyelamatkan yang didzolimi. Gak ada jotos-jotosan karena dituntut menjadi wasit yang jeli. Pembaca disuruh mikir sendiri. Bukan karena gak berani beropini, tapi pembaca disuruh mandiri.
Eh tapi kan ada tuh korporasi berita yang besar tapi memihak. Iya, ada.
Namun hanya segelintir orang yang bisa melakukan itu. Yang artinya hanya beberapa orang yang punya kemampuan finansial (atau kekuasaan) bisa menyetir sebuah perspektif opini.
Ingat, hanya beberapa orang. Ciri-cirinya biasanya mereka tajir melintir. Karena di negri ini gak banyak-banyak amat yang kaya, mending kita mikir lagi deh untuk mau mendengar, setuju, mengikuti atau ngefans dengan mereka. Biar gimana pun, setidaknya saya, kita adalah rakyat. Nah dia?
Tapi apakah link-link tersebut akan bertahan lama? Masih enak dibaca dan perlu?
Pemirsa yang menentukan. Kembali lagi ke paragraf sebelumnya, niatan orang untuk membaca itu yang menjadi kunci. Akan susah mengajak orang yang sama sekali tidak tertarik dengan intrik untuk membaca berita intrik. Logikanya begitu. Di sisi lain, kalau memang doyannya berita intrik ya hanya mau dengar intrik. Kenyataannya? Entar dulu. Intrik dulu. Yang penting itu.
Lalu kenapa ngasi judul tulisan seperti ini?
Aaah ngaku aja deeeeh... :))
0 Comments:
Post a Comment
<< Home