Sunday, November 16, 2008

Apakah Anda terkena sindrom "Autis"?

Belum lama ini saya baru saja mempunyai perangkat canggih yang konon paling mutakhir. Namanya (tentu saja) Blackberry. Memang benda yang satu ini mampu membuat orang berkutat hampir setiap menit kapan saja menerima incoming email, chatting atau sekedar mengoprek GPS, upload foto ke Facebook dan lebih dramatis lagi, mengganti setiap nomer contactnya dengan imbuhan "+62"...

Dengan maraknya tren Blackberry ini sering kita mendapati pemiliknya seperti sedang berada di luar jangkauan dunia nyata. Dua tangan memegang handheld (begitu sebutannya) dan mata konsentrasi penuh ke alat kecil itu. Disertai berbagai mimik yang beragam. Mirip ketika tren internet, chatting online, gaming online mendunia. Semua terlepas dari dunia nyata dan terhubung sangat dekat dengan dunia maya.

Sampai akhirnya di beberapa komentar foto yang tertangkap di banyak postingan Facebook dan social engine lainnya sering tertera "Si Anu lagi autis...". Tentu saja di foto tersebut si Anu tadi sedang berkutat dengan Blackberry-nya.

Lalu di kerumunan teman-teman yang lagi nongkrong sering juga didapati komentar yang sama; si anu sedang autis dengan Blackberry atau laptop yang sedang ber-wifi. I guess you get my picture.

Apakah sindrom tersebut benar-benar sindrom Autis.

Tentu saja tidak.

Istilah Autis hanya dipinjamkan dan dialamatkan ke mereka yang berkecenderungan yang sama seperti penderita autis. Tidak berada dalam dunia yang sama. Tidak berada dalam frekwensi yang sama. Tidak tersentuh oleh sosial pada umumnya. Ngga nyambung. Ngga ngerti.

Bisa-bisa, ngga asik. Ngga lucu. Aneh. Terpencil. Dan konotasi yang semakin miris lainnya.

Di sinilah permasalahannya dimulai.

Salah satu dari mereka yang didiagnosa Autis tersebut hidup di lingkungan saya. Ada macam-macam kecenderungan Autis yang bisa didapati. Ada yang pendiam, ada yang hiperaktif, ada juga yang histeris. Keberagaman output dari Autisme umumnya hanya bermuara pada satu hal: tidak dapat berkomunikasi sebagai mana layaknya manusia sosial yang normal. Ini yang membuat mereka berada dalam klasifikasi 'khusus'. Kalau tidak mau mengklasifikasikan pada konteks yang lebih tidak enak.

Kesehariannya mereka harus kita hadapi dengan perlakuan yang tidak biasanya seperti kita biasa berkomunikasi satu sama lain. Sehari-hari. Bukan setiap hari Jumat. Bukan setiap hari Minggu. Bukan bulanan. Bukan musiman.
Pastinya, dibutuhkan kesabaran yang ekstra. Kemauan kita untuk lebih mengerti mereka. Dan kebesaran hati kita untuk selalu berada untuk mereka sebagai manusia. Bukan orang gila!

Dengan tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk lebih sensitif lagi menggunakan kata autis sebagai sebuah kata yang tidak seringan atau setrendi ketika mengucapkan; 'Secara', 'Capedweeeh...', 'Khale' dan lain-lain.

Saya yakin, dengan memahami sungguh-sungguh apa arti kata itu, sudah memberi sedikitnya senyum bagi mereka.

Tulisan ini adalah dukungan untuk slogan "STOP PENYALAHGUNAAN KATA AUTIS/AUTISME".