Monday, February 27, 2006

Ngupi Yuk!

“I don’t drink coffee, I take tea, my dear..”

Kalau ada satu perbedaan prinsipil antara gua dengan Sting, kalimat di ataslah salah satunya. Bukannya gua sama sekali nggak minum teh, tapi gua nggak pernah melihat minum teh itu adalah sebuah excitement yang amat sangat dibanding kopi.

Ya, minum kopi adalah suatu kegemaran gua selain bir –tentunya-, minuman beralkohol lainnya dan last but not least, jus duren. Lebih asiknya lagi, minuman ini sangat mudah didapat dalam kesehariannya ketimbang teman-teman minuman lainnya yang konon butuh niat ekstra untuk mendapatkannya. Tidak perlu cover charge, ID verification ataupun menunggu musim. Cukup pergi ke dapur atau memesan dan tersedialah minuman ini.

Kebiasaan minum kopi ini sudah gua mulai dari sejak remaja (yang mana mungkin mengingatkan gua bahwa gua sudah tidak seremaja itu, hehehe). Dari mulai percaya bahwa minuman ini bisa mengusir kantuk sampai tidak sanggup lagi minum kopi karena sudah sangat mengantuk. Dari fungsinya sebagai pembuka hari di pagi hari sampai pilihan paling tepat dan cepat ketika berkunjung ke rumah teman atau pun di warung dan kafe-kafe.

Sekarang ini kopi sudah berevolusi menjadi suatu trend.
Tidak melulu sebagai sosok kopi Sidikalang tubruk yang kental itu. Tidak selalu juga pilihan ice atau hot cappuccino dari era 90an (Indonesia dan sekitarnya). Semakin banyak variasi yang diberikan. Sebutan-sebutan seperti ice blend, frappe, frost, latte dan lain-lain lagi yang bisa-bisa menghilangkan arti kopi itu sendiri. Dan dalam kemasannya disebutlah kopi Amerika ini, kopi Itali itu. Masing-masing dengan tampilan yang ciamik, gengsi dan tidak lupa, mahal.

Bahkan ajakan “ngupi yuk” tidak berarti minum kopi lagi sekarang. Bisa jadi kata itu adalah sebuah aktifitas ngumpul bareng di mal, ketawa-ketiwi sampai berjam-jam, ngeceng, ngelobi bisnis atau sidejob… sambil minum kopi.

Saking sangat beragamnya jenis minuman kopi dan cara kemasannya, banyak juga orang mulai berteori dengan topik ini. Ada yang membahas kadar keasamannya. Ada yang membandingkan lokal-tidak lokalnya. Ada yang membahas tempat mana yang enak buat ngopi. Ada yang bahkan pergi ke tempat-tempat ‘kopi fusion’ (begitu gua menamakannya, merk-merk trendi itu lho) itu malah memesan Green Tea Ice blend dan Morrocan Latte Tea. Yang by the way itu gua sendiri.

Gua hidup dalam perjalanan kopi itu dan turut menikmati semuanya. Dari kopi tubruk sampai zaman ice blend and the gang. Pilihan Sidikalang atau Kilimanjaro. Menikmatinya dari kamar kost mahasiswa di Bandung sampai pinggiran jalan romantis di Sydney.

Menurut gua semua kopi itu sama saja. Mereka semua mempunyai satu hal yang sama ketika menikmatinya.

Yakni: sensasi kejut di lidah ketika pertama kali cairan kafein itu masuk ke rongga mulut dan tenggorokan. *ck!*

Bo’ong kalo penggemar kopi nggak tau hal ini!

Terinspirasi dari tulisan kopi Mas Ricky di blognya.

Saturday, February 18, 2006

Suatu Hari Di RSPI

Di sebuah kesibukan Sabtu siang di rumah sakit itu, dari arah lorong kasir berjalan seorang wanita cantik. Langkahnya bergegas keluar lobi rumah sakit. Walau terlihat tergesa, kecantikannya seolah memaksa semua gerakan tubuhnya untuk tetap anggun. Menoleh ke kiri dan kanan menunggu mobil yang akan menjemputnya.

Semua orang yang berada di lobi itu pun begitu. Menoleh ke kiri, jika mereka ada di kanan. Menoleh ke kanan jika mereka ada di kiri. Dan melintirkan kepala jika mereka berada di posisi yang tidak begitu strategis sekali pun. Tidak hanya kaum pria pada umumnya saja yang begitu. Oma-oma yang sudah renta pun turut menggamit menantu perempuannya (mungkin) untuk menoleh ke arah dia. Ibu-ibu sekalipun ikut mendoyongkan kepalanya untuk melihat ke sosok wanita itu sekali lagi. Dan anak-anak kecil sepertinya senang berada di sekeliling dia. Apalagi ketika dia tersenyum ramah ketika memergoki ada anak kecil yang terpana oleh kecantikannya.

Dia hanya mengenakan baju kaos oblong biasa dan jins. Rambutnya pun diurai biasa saja. Bersahaja. Tidak ada atribut mahal yang terlihat. Mungkin saja ada, tetapi tidak terlihat. Atau memang gua aja yang sudah ikut terhipnotis dengan segala bentuk dan impresi kecantikan yang dia pancarkan.

Paling tidak semua yang berada di ruangan lobi itu akan setuju dengan gua. Dan kejadian ini sudah keberapa kalinya gua alami tiap kali dia sedang melintas di keramaian.

Berbeda dengan wanita cantik yang baru bercerai itu. Juga si wanita indo yang kawin sama bule itu. Tidak juga dengan si seronok yang suka berbahasa Inggris itu. Apalagi dengan wanita yang ngga pernah mau ngasi komen itu.

Entah magnet apa yang dia miliki hingga bisa memancarkan kecantikan seperti itu dan membuat orang sedetik saja rela berpaling sejenak untuk melihatnya.

Katon memang bissaaa aja.

Wednesday, February 08, 2006

Sahabat, Kesuksesan dan Obsesi

Dua hari berturut-turut ini sahabat-sahabat gua berulang tahun. Entah yang ke berapa bagi gua tidak begitu penting. Dan mungkin mereka juga semakin tidak mau mengingat ulang tahun yang ke berapa mereka tahun ini. Secara kita semakin lama semakin sibuk dengan kesibukan dan kehidupan masing-masing, gua cuma bisa nyelametin mereka dari messenger chatting, sms, dan Friendster. Tidak sempat lagi berkunjung atau ditraktir makan-makan.

Akhirnya gua mengingat lagi masa-masa dulu ketika gua masih sering bersama mereka.

Rudi, sobat jalan-jalan gua, orang yang banyak membantu gua mengenalkan sisi-sisi Jakarta pada zaman krisis moneter. Waktu itu gua baru pulang dari pendidikan di luar (Jakarta). Dan kita dulu sama-sama nganggur. Kalau nggak ada dia, ngga kebayang juga gua jadi apaan sekarang ini. Terakhir ketemu dia sudah jadi manager di sebuah perusahaan broadcast.

Nisa, masih teman dari zaman krisis moneter dulu. Seorang desainer baju yang mempunyai semangat dan keunikan yang sangat kental baik dari visi mau pun visualnya. Hehe. Kabar terakhir dia semakin well known di industri fesyen.

Sashie. Siapa yang mengira si bawel yang senang makan ini akan ended up jadi seorang Senior Account Executive di sebuah perusahaan iklan ternama. Wong dulu kerjaannya ngajakin makaaaan mulu.

Yomi, sobat mati gua. Kebeneran doi yang jadi best man gua waktu gua nikah. Waktu masa jahiliah kita dulu di Bandung nggak sedikit pun ada kepikiran bahwa orang ini akan nyebur di dunia periklanan juga. Melihat spesifikasinya dia lebih pantes jadi...gak tau. Gua juga bingung.

Ya. Itulah gambaran sekarang. Dengan perkembangan masing-masing. Dan dengan masing-masing perubahan pula.

Kalau ada satu ukuran terhadap perubahan ini, gua ingin menyebutnya sebagai sebuah kesuksesan. Entah dalam tahap apa pun itu. Tapi sukses. Sesuatu sudah berkembang, berbuah menjadi lebih baik.

Seorang teman pernah bertanya ke gua “Menurut loe.. sukses itu apa sih?”

Dalam alam pikir seorang Diki yang berumur 10 tahun dulu, gua akan dengan sangat lancar dan lantang menjabarkan kesuksesan itu apa. Yakni : lulus SMA, kuliah ekonomi, kerja di bank! Sesimpel itu.

Sekarang dengan segala distorsi yang ada dan gua alami, gua berpikir keras untuk mendapatkan momok kesuksesan itu. Ternyata formulanya gampang..

Lampu gemerlapan. Sorak sorai penonton bak lapangan Wembley. Mic stand. Gitar. Piano. Sedikit dry ice untuk mendramatisir suasana. Dan kalau kalian setuju, gua akan memakai celana kulit ketat! Secara ROCKSTAR gitu lhoo..

Gimana geng, seru nggak ide sukses gua?

Rudi, Nisa, Sashie dan Yomi.. selamat ulang tahun. I Love You All! *gaya rockstar*

Saturday, February 04, 2006

Di Hatimu Saja, Bu

Aku bisa melihat bunga itu
Warna-warni dan cantik
Dan nyanyian di hari minggu
Bersenandung puji dan merdu

Aku bisa menyapamu
Tiap pagi di hari-harimu
Walau mungkin tak terdengar
Tapi kudengar panggilmu

Aku yakin engkau tersenyum
Di hari engkau menangis
Untukku bisa terbang seperti ini
Engkau harus tersenyum

Di hatimu saja, Bu
Walau tak di matamu
Di hatimu saja, Pak
Walau tak di pelukanmu

Aku selalu di hatimu

Untuk Anabella, 2002 - 2005.

Bulan Oktober 2005 lalu, si kecil Anabella (3,5 tahun) pergi meninggalkan ayah ibunya akibat komplikasi penyakit yang dideritanya. Ketika kondisi Anabella kritis, gua pergi ke PMI dengan maksud mendonorkan darah yang dibutuhkannya. Terjadi kesalah pahaman, golongan darah gua tidak cocok.
Sampai akhirnya Anabella pergi, masih ada perasaan yang mengganjal di hati gua. Sesuatu yang belum gua berikan tadi. Butuh beberapa waktu untuk akhirnya bisa menuliskan ini.