Thursday, September 21, 2006

Negara Ini Terlalu Besar

Baiklah gua akan menyampaikan pesan ini kepada tersangka kasus Poso yang dijatuhi hukuman mati Fabianus Tibo, Marinus Riwu, and Dominggus Da Silva:

"Semoga Tuhan menyertai saudara-saudara sekalian, apa pun keputusan yang akan kalian hadapi. Amin."

Konon besok mereka akan dihukum mati. Konon kemaren-kemaren mereka sudah akan dieksekusi. Konon sudah berkali-kali pesan ini disampaikan berupa petisi ke presiden dan pemerintah. Melalui sms berantai, e-mail berantai dan media-media berantai lainnya. Konon pesan ini sudah menjadi spam.

Adakah yang mendengar? Adakah yang berbuat? Sampaikah ke Pak SBY? Sampaikah ke kotak surat pemerintah sana? Bisa berjuta jawabannya.

Tapi sampaikah ke hati kita?

Sudah banyak informasi yang menyertai dukungan doa agar tidak terlaksananya hukuman mati tersebut yang kita terima. Bahwa mereka adalah korban ketidak-adilan belaka. Bahwa mereka bagian dari plot konspirasi tingkat tinggi. Si ini di balik itu. Si itu yang beginiin. Yang menurut gua, sulit untuk membuktikan kebenarannya.

Kalau kita lantas membela mereka bertiga ini, akan berbalikkah keadilan? Selesaikah persoalan-persoalan selama ini? Dan kalau mereka terbukti tidak bersalah, artinya pihak lain dong yang bersalah?

Segampang itukah?

Bukan mau pesimis atau apatis, namun kalau kita mendukung mereka bertiga dengan alasan-alasan yang tidak jelas, mereka hanya akan menjadi korban ketidak-tahuan, emosi sesaat, kita lagi.

Maka dukunglah Fabianus Tibo, Marinus Riwu, and Dominggus Da Silva dengan sepenuh hati. Bukan untuk menyalahkan pemerintah pula. Negara ini terlalu besar untuk disalahkan.

Dan keselamatan tidak hanya di dunia ini saja.
Amin.
"They say time is a healer
and now my wounds are not the same
I rang the bell with my heart in my mouth
I had to hear what he'd say.."
No Son of Mine, Genesis.

Wednesday, September 20, 2006

Kamu dan Aku

Selain tayangan gosip infotainment yang membicarakan kehidupan orang, ternyata orang gemar juga membicarakan dirinya sendiri.

Gua masih ingat, dulu, untuk menyempatkan diri nongkrongin Planet Remaja di ANTeve (dengan iringan musik 'Another Day In Paradise'nya Phil Collins itu) beberapa saat, agak lama sedikit karena Sagittarius selalu diulas di belakang menurut urutan bintang.

Atau orang-orang sering mematut-matut apa kata ramalan zodiak di majalah dan media lain. "Ih bener banget deh.." atau "Wah gua banget nih". Sampai-sampai ditunjuklah satu majalah tertentu menjadi satu standart kebenaran hidup orang untuk satu minggu itu. Konon karena sangat mewakili kita-kita ini. Dan konon juga, konon nih, narasumber tersebut menuliskan referensi zodiak tersebut berdasarkan pengalaman teman-teman di sekitarnya saja. Hihihi.

Coba kita lihat juga perasaan harap-harap cemas (kita, atau siapa saja) ketika akan diramal. Baik sekedar ramalan ecek-ecek, tarot atau dukun sekalipun. Benar tidaknya hasil ramalan tersebut nanti saja. Tapi lagi-lagi topik itu adalah sesuatu yang menyangkut diri kita.
Bagaimana sebenarnya kita. Sifat kita. Karakter kita. Masa depan kita. Asmara kita. Semua-mua kita. Walau agak sulit menerima 'bacaan nasib' tadi dari seorang supervisor/atasan kita di kantor ketika review tiba. Mungkin juga nasihat orang tua.

Belum lagi tentang memamerkan apa yang kita miliki. Sering kita bercerita tentang pacar kita yang satu-satunya di dunia. Anjing kita yang lucu. Sepatu baru dari sale kemaren atau mati-matiannya menunggu tas Hermes yang hanya dijual beberapa tahun sekali itu.

Apa saja yang masih mempunyai kaitannya dengan kita sendiri sering kita bicarakan. Sadar tidak sadar. Sombong maupun merendah.

Bahwa kita memang menyayangi diri kita sendiri. Bahwa kita memang menghibur, merawat bahkan memanjakan diri sendiri. Bahwa kita memang melindungi diri sendiri. Agar tetap sehat. Agar senantiasa terjaga. Agar tetap jaim. Agar pantes.

Kalau sudah begini, siapa yang narsis?

"He's as blind as he can be
Just sees what he wants to see
Isn't he a bit like you and me.."
Nowhere Man, The Beatles.

Thursday, September 14, 2006

Sebelum ke Citra Pariwara*

Ini temuan yang menarik pada sesi blogwalking gua pagi ini. Entah mereka janjian atau sama-sama baru disamber gledek, gua mendapati 2 orang ini sedang dalam turbulence yang sama.

Yang satu sedang eneg dengan ke-Jakarta-an (Jakarta sebagai barometer gaya hidup dan kelangsungan hidup orang banyak, di Indonesia). Begah dengan pengaruh-pengaruh luar yang menuntut kita akhirnya menjadi lebih mirip dengan boneka ketimbang menjadi orang bule sekalipun. Konon akhirnya dia menemukan sebuah lorong di tahun 1940an dan mendapatkan 'kedamaian' di situ.[+]

Yang satu lagi.. Mmm.. Mungkin emang pada dasarnya dia tuh orang ndeso ya. Pun sedang dalam proses pencarian sesuatu yang pure. Pure yang hanya bisa dimengerti kalau dicerna. Bukan tampilan kulit telanjang atau semata-mata melepaskan atribut kematerialistisan untuk bisa dibilang sederhana atau decent. Yang kalau bahasa canggihnya "It takes one to know one".[+]

Gua senang sekali dengan kegelisahan mereka. Ada spirit ke-endonesa-an yang kental di situ. Ada sebuah kerinduan yang mendasar dari kegelisahan tadi. Kerinduan untuk menjadi diri sendiri. Menjadi orang bernegeri masa kini.

Yoi. Masa kini. Yang tidak mesti mengacu pada pelajaran PSPB. Atau memulai sebuah kalimat spanduk : "Dengan Semangat... Mari Sukseskan.." Sudah mengenal kopi Starbucks dan masih minum tubruk. Bisa berbahasa Inggris tanpa harus jadi orang asing. Dan mulai melihat angkot sebagai fungsi, tidak gengsi.

Dan lebih serunya lagi, dari kegelisahan-kegelisahan ini, akan lahir gagasan baru. Tidak selalu penting apa hasilnya. Namun perjalanan ke situ yang selalu jadi cabaran yang mm... how can I say this... orgasmic? Yeah right!

Yes! Kanasta, bo!


*Citra Pariwara. Sebuah acara tahunan untuk menghargai karya-karya terbaik dari industri periklanan. "Berubah Wajib Hukumnya" adalah tema yang diangkat pada tahun ini. Mungkin gua juga dalam turbulence yang sama, bisa mirip dengan tema ini. Idih.

Wednesday, September 13, 2006

Tulislah Kebenaran

Seorang, bahkan beberapa, pernah mengusulkan kepada gua supaya suatu saat membukukan artikel-artikel di blog "di pelipir zaman" ini. Dan di beberapa kali juga gua masih menjawab dengan pernyataan yang sama. Bahwa isi dari blog ini merupakan catatan keseharian saja dan bahasan-bahasannya pun atas apa yang sedang terjadi pada saat itu juga. Jadi ketika suatu saat dibaca lagi, mungkin sudah tidak up to date. Begitu selalu jawab gua.

Tapi Arsene Wenger, pelatih sepakbola Arsenal yang sangat gua kagumi, punya susunan kata yang sangat tepat yang bisa gua pakai kemudian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.

''It has to be something like a legacy, where you say it can help some people.''

Dwewew! Tanpa harus berkesan subjektif pada orangnya, gua sangat setuju dengan kalimat itu. Seharusnyalah sebuah buku itu membawa alam pikir pembaca ke sebuah format dunia lain, mendapat penyegaran, menggagas sesuatu dan kemudian kembali ke dunia nyata. Lalu mencoba membuat perubahan.
Buku apa pun lho. Stensilan porno sekali pun bisa membuahkan sesuatu kalau kita bisa melihat 'enerji' yang benar. Tinggal cocokin aja definisi 'benar' tadi. Buku provokasi, propaganda atau buku-buku pendikte lainnya juga bisa dibaca dengan sikap anti dot.

Waktu pacaran dulu, istri gua juga pernah bilang 'Sekali saja kita menuliskannya dalam tuturan kata, itulah kebenarannya.' Dan pada kesempatan lain dia juga bilang '...dan apa yang tertulis itu harus bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.' (And look at us now)

Berbekal 2 orang berpengaruh ini gua bisa menyimpulkan apa saja yang baik untuk terciptanya sebuah buku. Tulislah kebenaran. Inspirasi bisa datang kapan saja. Referensi sudah bertebaran berabad-abad. Penokohan pun sudah banyak yang mirip Tuhan (demikian juga penulis-penulisnya). Pesan yang disampaikan bisa sangat beragam dan kompleks. Namun esensinya tetaplah harus satu: kebenaran.

Jadi kapan?

God knows. Yang pasti blog ini juga gua jaga kebenarannya.

"Kebenaran saat ini, bukanlah kebenaran saat nanti
Kebenaran bukanlah kenyataan"
Hidup Adalah Perjuangan, Dewa.

Tuesday, September 05, 2006

Risalah Ailapyu


Dan kepadamu temanku, sahabatku, kenalanku, juga engkau yang tak kukenal.
Betapa engkau tidak romantis mendalami cinta.
Ketika kau hanya diam saja menatapnya dan mengatakan di dalam hatimu "Aku! Kamu!"
Kau tepuk busung dadamu. Berkata hanya padamu.

Juga pada saat itu engkau bergetar menyampaikan kata-kata kepadanya. Gelas minuman itu kau perbudak untuk menyatakan cintamu. Bukan mulutmu. Lalu kau panggil pelayan untuk membayar hidangan. Membayar kesalahanmu. Karena kau takluk dari pandangan matanya saja.

Awan-awan malam pun sering kau terawang merumuskan cinta itu padanya. Ketika dia berselimutkan dingin. Ketika engkau berharap kau adalah kehangatan baginya. Sering kau idamkan bulan menemani. Oleh takut yang tak mau kau sampaikan dengan dering telepon saja.

Semua kau kabarkan. Semua kau pendam. Semua bisa melihat. Semua disunggingkan dalam senyum. Tetapi, hey! Kau mendadak beku bersama wajahnya. Tak seperti gambarnya di kertas itu. Lukisannya di kepalamu. Dan hangatnya hatimu sekali saja nama itu terbetik.

Alangkah tidak romantisnya kita, teman. Berandai-andai dengan dunia hanya untuk menyatakannya. Berlakon bodoh dan semu hanya untuk tidak memilih kata itu. Cinta. Cinta. Cinta. Kukatakan itu sekarang! Coba rasakan kebenarannya.

Aku tersenyum. Aku pernah mengucapkannya. "Aku cinta padamu."

"My Woman" sebuah karya cantik dari Audrey

aku akan menunggumu dengan puisi

hari ini kau tertidur
lelah bermain dan riang
aku akan membacakan puisi untukmu

nanti kau bertanya dan bernyanyi
menulis warna dan menoreh cerita
aku akan membacakan puisi untukmu

mungkin kelak tanyamu ketus
janjiku berpinta kerti
aku akan membacakan puisi untukmu

dan di hari-harimu yang ramai
pun kau merindukanku
aku akan membacakan puisi untukmu

untukmu
puisi ini adalah janji
pada namamu