Tuesday, July 04, 2006

Do or Dive

Photobucket - Video and Image Hosting
Selain keputusan-keputusan wasit di Piala Dunia 2006 yang sering mengundang kontroversi, tentu saja kita tahu juga urusan yang satu ini : diving!

Iya. Teknisnya adalah biasanya si pemain berpura-pura terjatuh atau bentuk foul lainnya untuk mendapatkan kesempatan tendangan bebas, penalti atau keuntungan lainnya buat timnya.

Layaknya sandiwara, skenario ini harus dilakukan dengan kemampuan acting yang meyakinkan dan kesempatan atau momen yang tepat. Juga posisi wasit dalam hal ini harus sangat diperhitungkan. Maklum, biasanya wasit baru bisa benar-benar melek dengan situasi genting itu setelah akhirnya melihat video replay yang mampu merekam dari segala arah. Itu pun, sialnya, setelah pertandingan usai. Setelah keputusan dijatuhkan. Seperti cerita di film-film di mana polisi yang selalu datang ketika kejadiannya sudah terjadi. Bukan mencegah.

Sebuah majalah bola di Eropa bahkan mengiklankan majalahnya dengan menggambarkan sebuah situasi mirip camp konsentrasi a la Nazi, di mana di situ sebuat kesebelasan berjaketkan ITALIA sedang berlatih bagaimana bersandiwara diving yang baik. Misalnya berlari normal lantas tiba-tiba jatuh tanpa sebab. Atau sengaja mengantukkan sesama kepala pemain lantas terjatuh dengan ekpresi muka yang sakit teramat sangat. Dan banyak lagi adegan lucu lainnya.

Ya. Teknik diving memang sudah sangat rancu dipakai menjadi salah satu strategi bermain untuk menang. Tidak melulu strategi bertahan, ball possesion, kolektif, main hoki, samba, reagge, atau klasik disco sekalipun. Disadari atau tidak, setuju atau tidak, diving sudah menjadi bagian dari permainan. Lucunya pula, bentuk kecurangan seperti ini bukannya hal baru di dalam pertandingan sepak bola. Hanya saja baru mendapat nama yang tepat untuk bentuk aktifitasnya.

Bagaimana kita menyikapinya? Kembalikan saja kepada pelakunya. Toh konsekwensinya dia juga yang menghadapi.

Mungkin diteror oleh sekelompok mafia. Mungkin ditolak oleh klubnya sendiri. Mungkin mandeg dalam berkarir. Mungkin dimaki-maki satu negara. Bahkan seluruh dunia. Dan bukannya tidak mungkin diver tersebut bisa menjalaninya dengan senyum lebar. Belaga gila. Di dunia nyata aja banyak orang bokis, kenapa di sepak bola kita mesti tutup mata?

Tapi percaya deh, orang bokis nggak kan ke mana-mana.

4 Comments:

Blogger Unknown said...

MARIO ZAGALO: "Sepak bola itu seni bukan matematika."

Jadi kita harus menerima sepak bola sebagai sebuah karya dan ekspresi manusia dengan segala kemanusiawiannya termasuk ketidaksempurnaannya.

Gak ada value true or false se-saklijk (bener gak spellingnya gini ya?) kode binary, karena sepak bola bukan ilmu pasti.

Memberi kesempatan pihak lain mengevaluasi keputusan wasit selama pertandingan berlangsung berarti membunuh otoritas absolut seorang wasit .

Apa cara yang lebih efektif dibanding melihat rekaman? Jelas gak ada, karena banyak kejadian yang pada saat kejadian kasat mata kita liat, ternyata kondisinya beda jauh pas dilihat melalui replay dari berbagai angle. Replay memberikan kita para audience sebuah kekuasaan untuk mewasiti wasit. Padahal kita tahu cara ini sangat gak efisien.

Untuk apa kita berkaca pada sebuah kompetisi produk Amerika, saat orang Amerika gak tau apa-apa soal Sepak Bola? Saat seluruh dunia menyebutnya Football, mereka satu-satunya yang menyebut Soccer. Owh plssss...

So be it.
Biarkan wasit dengan segala kekurangan dan kelebihan (termasuk kelebihan orang--rencana untuk menambah jumlah wasit) menjalankan tugasnya selama pertandingan berlangsung. Mekanisme kontrol biarkan terjadi di luar lapangan.
Graham Poll dan Valerie Yvanov udah negrasain.
Kita berdoa saja wasit tidak berbuat kesalahan fatal. Itu aja.

Fair Play adalah sebuah idealisme.
Wasit adalah sebuah instrumen pendukungnya
Dan Manusia adalah individu-individunya.

Itulah Sepak Bola, kesenian yang sudah menyihir milyaran manusia selama ini...

-Sesek, Pendukung Fair Play-

Tuesday, July 04, 2006 6:06:00 pm  
Blogger Unknown said...

Ilustrasi tulisan lo bagus Dik. Header lo juga keren tuh.

Wednesday, July 05, 2006 8:10:00 pm  
Blogger dikisatya said...

Wah.. tampaknya diskusi kita jadi seru banget nih!

Baik Sesek, Rael-Gabriel, gua dan Beckenbauer sekalipun sebenernya punya nurani yang sama akan satu hal. Melihat sebuah kemenangan yang pantas! Layaknya cerita-cerita di kitab suci, ajaran agama, dongeng-dongeng tidur dll.

Kita cuma mau menjadi manusia. :)

Friday, July 07, 2006 3:02:00 pm  
Blogger Unknown said...

Maaf juga mas Rael.
Berarti Anda salah membaca 'roh' komen saya.

Saya tidak anti teknologi.
Salah satu teknologi yang saya amini adalah penggunaan mikrochip dalam bola untuk mengetahui bola sudah melewati garis gawang atau belum.

Kenapa?
Karena kondisi seperti itu jarang terjadi, sehingga cukup dimungkinkan menganalisa singkat (bahkan mungkin mengirim sinyal ke earset wasit?), sehingga tidak perlu mengganggu alur permainan.

Intinya, sampai sekarang saya tidak pernah mendengar contoh konkrit penggunaan teknologi untuk membantu keputusan wasit selain mereview rekaman video-- yang kurang efisien seperti kata anda karena mengganggu alur permainan.
Tidak pernah dengar dari FIFA, ataupun dari Anda.

Mungkin kalo mas Rael punya contoh konkrit yang lebih efisien tanpa mengganggu alur permainan saya bisa setuju?
( Misalnya kaki2 pemain di-implant microchip jadi ketika gak bersenggolan dan org itu jatuh, ketauan divingnya. )

Selama belum ada itu semua, mari kita memasrahkan pada wasit dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Lalu masalah fair play sendiri.

Jangan salah, saya bukan orang yang TIDAK berteriak "WASIT GOBLOK!" atau "WASIT CURANG!" kalo melihat hal-hal yang kurang fair.
Tapi rasanya kita jadi terlalu picik kalo membebankan semua idealisme Fair Play pada wasit (with or without teknologi).

Ada hal-hal di luar kuasa wasit tentang fair play.

Contoh:
Saat Portugal vs Belanda kemarin.
Pemain Portugal ada yang cedera, sehingga pemain Portugal membuang bola keluar supaya pemain tersebut menjalani treatment.
Ketika pertandingan berlanjut, Belanda yang sudah ketinggalan 0-1, tidak memberikan bola kembali ke pemain Portugal tetapi malah Sneijder membawa bola siap menusuk ke jantung pertahanan Portugal, sebelum dihentikan Deco yg berakibat kartu kuning utk Deco.

Secara aturan permainan, wasit tidak bisa melarang Sneijder membawa bola.
Mau direview bolak-balik pake rekaman video sampe begopun, Sneijder gak menyalahi aturan. Satu-satunya yang dilanggar adalah idealisme Fair Play.
Di sinilah faktor manusia bicara, bukan teknologi.

Jadi sekali lagi, rasanya jangan TERLALU membebankan idealisme Fair Play pada wasit, meskipun memang harus diakui, wasit punya andil dalam menegakkan Fair Play.

Lalu mengenai Amerika, hahaha lupakan sajalah komentar saya yang satu itu karena memang terlalu personal.
Kebetulan saya tidak menyukai Amerika yang terlalu mengagung2kan industri olahraganya. Basket memang memungkinkan alur pemainan terhenti-terhenti karena time out dsb demi commercial break (Seeekkk...katanya kerja di advertisingggg!!???).
Begitupun American Football.
Jadi kalopun mereka mereview video sesaat, alur permainanpun tidak terlalu terganggu.

Tapi untuk Sepakbola, rasanya saya tidak rela, meniru gaya olahraga amerika seperti itu (ingat setelah WC 1994, Amerika mengusulkan time-out di sepakbola?). Karena menurut saya, hal ini malah merusak seni dan tontonan yang selama ini sudah menjadi sihir buat milyaran umat manusia termasuk saya dan saya yakin juga mas Rael.

Salam.

PS. Daripada kita ngotorin blog Diki, monggo lho mas kalo mau komen langsung di blog saya kebetulan saya juga menulis sedikit soal wasit di http://wzapsheque.blogspot.com/2006/06/kiprah-para-pengadil-ada-kisah-kocak.html

Friday, July 07, 2006 4:50:00 pm  

Post a Comment

<< Home