Sunday, July 13, 2014

Mendik Dagdigdug...

Siapa Menteri Pendidikan kabinet berikutnya?

Ini tak kalah penting dari hasil 22 Juli 2014 nanti.

Penantian sangat panjang untuk sebuah hasil siapa yang menjadi pemimpin republik ini semakin menunjukkan kualitas pendidikan negri ini.

Akan bagaimana menyikapi sebuah masukan/inputan.
Bagaimana menyelidik kebenaran berita.
Bagaimana menyuarakan sebuah pendapat.
Bagaimana membedakan Kompasiana versus Kompas.
Bagaimana bersopan-santun, beretika dan bertepo-saliro dalam berbahasa.
Bagaimana berbagi dengan sesama (bukan menggurui).
Dan banyak lagi...

Memang ajaran dari rumah pun sangat punya andil dalam hal ini. Tapi kan gak ada kementerian rumah akhlak di Indonesia. Ada juga kementerian agama, yang...ya gitu deh.

Ada keterkejutan mental yang dialami bangsa ini sebulan terakhir. Masing-masing dihadapkan dengan 2 pilihan yang sangat kontras. Tidak ada pilihan ke 3 (karena golput sudah tidak masuk hitungan). Berlatar belakang sensasi dadakan, berpengetahuan seadanya (karena sebelum ini, masing-masing sibuk dengan urusan non bernegara, apa pun lah itu) semua lebur dalam pertikaian sebuah kemenangan.

Taunya cuma menang.

Apa dan bagaimana gimana nanti. Gimana temen/sodara/atasan ngomong aja, nanti contek, pakai sebagai alasan yang umum. Sukur-sukur untung. Sukur-sukur trendi. Kayak semua orang pergi ke mal.

Kalau ditanya kenapa pilih si anu, jawabannya bisa semirip orang cari di Google. Semua ada link-nya. Jadi-jadian atau tidak, ah kan itu 'resmi'. Liat deh namanya, V-O-A. Kira-kira begitu. Dan masih banyak nama plesetan lain. Suara dan Merdeka aja mirip/familiar kan? Hahahaha.

Tapi tidak banyak yang mendasari pilihannya dengan alasan yang, kalau tidak bisa dibilang rasional, setidaknya dia yakini sepenuhnya dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Mungkin malas. Mungkin takut salah. Mungkin takut tidak berterima dengan lingkungan. Mungkin tidak terbiasa berdiskusi. Alhasil tidak ada pemahaman yang mendasar.

Lalu kenapa pendidikan?
Karena separuh dari waktu keseharian anak di Indonesia (yang beruntung) dihabiskan berlebur dengan sosialnya di sekolah. Ruangan yang semestinya melatih nalar, kemampuan bersosial, menerima ajaran dan membuka banyak wawasan.
Yang seharusnya menjadi menjadi pelatihan 'anak bangsa' yang ideal.

Lalu dia kembali ke rumah untuk mendapat kasih sayang orang tuanya. Kita, yang juga termasuk dari elemen itu. (Woi! Ngirim anak ke sekolah gak selesai di tugas guru lho. Plis deh.)

Karena di zaman saya bertumbuh tidak begitu. Akui saja.
Saya tidak pernah mengerti logika perkalian, saya hanya disuruh menghafal.

Saya tidak pernah kenal siapa menteri kabinet, apakah dia saudara saya atau tidak, tapi saya disuruh menghafal.

Saya diajarkan Bahasa Indonesia tanpa dibekali bagaimana melestarikannya. Lalu bahasa Indonesia menjadi kuno, bahasa prokem lebih cangcing karena 'dilarang'. Alhasil, untuk bisa mencapai standar internasional untuk berbahasa Inggris pun terseok-seok. Karena, pada zaman saya, berbahasa Inggris itu dimulai dari azas pretentious. Kasian memang.

Kemampuan berargumen pun minim. Paling terjadi pada pemilihan ketua OSIS atau senat mahasiswa. Apa yang terjadi di kelas-kelas pelajaran sering hanya satu arah. Superioritas pengajar (saya enggan menyebut guru) lebih sering benar tanpa penjelasan mumpuni (yang katanya gaji mereka minim).

Thus karena itu,
Perpecahan yang kita lihat sekarang memang beralasan. Tidak melulu karena lihainya timses capres-capres itu. Mereka juga akan terlihat bodoh kalau semua yang disiarkan ke publik tidak mendapat tanggapan positif atau negatif.
Yang mereka sangat lihai adalah mencari topik sumbu yang sangat berpotensi menjadi...perbincangan publik. Sebut saja: agama, pencitraan, komunis, bocor, blusukan, harapan dll.

Nah gimana kita menanggapinya perlu bekal pendidikan, tentu. Masa iya agama? :))

Karena itu penting sekali fundamental pendidikan kita waras.



0 Comments:

Post a Comment

<< Home