Monday, April 24, 2006

Janji Bucin (Usang..)

"Mana janji loe? Katanya mau nulis tentang Kla.."

Masih saja Bucin menagih tulisan tentang konser Kla Project hampir sebulan yang lalu di JCC Senayan.

Ketika gua mencoba lagi mengingat-ingat kejadian di konser Kla kemarin, perasaan yang sama juga yang gua dapati ketika gua berada di konser itu.

Gua datang untuk bernostalgia. Untuk sejenak tersenyum-senyum penuh arti oleh lagu-lagu mereka yang konon cukup menemani perjalanan hidup gua (baca: cinta).

Nihil.
Tak satupun lagu mereka yang membuat gua terbang ke perasaan lalu ketika gua benar-benar memaknai setiap lirik dan nada mereka.

Ketika saksofon Embong Rahardjo pada lagu "Waktu Tersisa" benar-benar tripping di kegalauan baik lagu mau pun suasana pada zaman itu.
Ketika "Belahan Jiwa" tidak semelintir rindu yang dulu gua 'ngelangut'kan pada surat-surat cinta kepada mantan pacar.
Tidak turun juga hujan ketika "Gerimis" dikumandangkan. (Ketika lagu Gerimis rilis, pertama kali gua mendengarkannya benar-benar hujan. Sok asik banget ya?)
Rintihan Lilo pun digantikan oleh Andi /rif dalam "Meski Tlah Jauh". Bagaimana bisa nada tinggi dipadankan dengan serak basah?
Juga renyahnya suara Siska digantikan Dewi Sandra yang sangat sangat santun malam itu.
Dan memang bulan tak kan pernah berwarna merah jambu.

Entah kenapa semua atribut memori di atas lepas entah ke mana pada malam itu. Di panggung itu. Di lagu-lagu itu. Tidak lagi menjadi sesuatu yang ingin gua ulas, urai apalagi ulang.

Berbeda sekali dengan sekarang.
Sudah ada cinta lain. Sudah ada kecintaan baru. Tidak mau lagi terlalu cengeng. Tidak percaya lagi gombal. Pun harus gombal, gombalnya harus lebih jago.

Tidak perlu harus berubah tapi yang pasti harus berkembang.

Baru-baru ini ada seorang teman lama yang menanyakan kepada gua "Dick, lu masih ngambekan gak orangnya?"

Aha!! Dia pasti senang Kla Project!!

ps. Udah ya, Cin!

Thursday, April 20, 2006

Mestinya Kita Hidup

Kemaren malam, dalam sebuah program reality show yang mirrrrrrip sekali dengan INXS Rockstar di salah satu stasiun televisi swasta kita gua mendapat pencerahan yang sangat inspiring. Mengenai kaedah menyanyi. Dan dalam kaitannya dengan musik, tentu hal sangat esensial sekali. Tidak begitu jelas gua mengetahui dari siapa kalimat pencerahan itu datangnya (dan yang pasti bukan dari sekelompok musisi yang memberikan kritik-kritik mencoba membangun itu). Kurang lebih begini kalimatnya:

“Kita bisa lihai menyanyikan nada-nada tinggi, cepat, suara palsu atau nada apa saja yang paling sulit sekalipun. Tetapi di atas semua itu tetaplah bernyanyi.”

Secara (gua rasa) 50% kandungan tubuh gua adalah musik, gua mendapati kalimat ini sangat menggelitik, menyentil, menggugah dan sekaligus menampar! *plak!*

Bagaimana tidak, kalimat itu sangat mengingatkan kita untuk tidak lupa akan ‘jiwa’ dari sebuah lagu/musik. Roh yang memberi ‘isi’ dari pesan lagu itu. (Ibarat kata ‘Padang’ dalam ‘Sate Padang’, belum tentu orang sebegitu menikmati sate tersebut kalau dibilang sate saja. Dan satu hal lagi, Sate Padang tidak populer di Padang. Malah ngetopnya di Medan!) Tanpa penjiwaan yang baik, lagu tersebut hanya akan terdengar datar tanpa greget. Terdengar baik namun belum tentu ternikmati.

Dengan berbunga-bunga gua menghafalkan kalimat di atas dan bermaksud untuk menceritakannya lagi ke orang-orang besoknya. Well there you go, all of you.

Hey.. gimana dengan hidup?

Bagaimana kalau bernyanyi tadi adalah hidup juga? Kita bisa lihai memainkan peranan kita masing-masing dalam hidup. Menjadi baik, badung, pintar, bokis, kokay, miskin, pembokat, pujangga, creative director, banci, rockstar, you name it!

Apakah kita sudah ‘hidup’ di atas semua itu?

Gampang-gampang susah menjawabnya. Paling tidak buat gua. Akan pongah kalau gua menjawab “yoi, I do.”. Akan cupu juga kalau kita menjawab dengan “tidak”. Atau malah diam?

Percayalah, gua cuma realistis dalam kegelisahan ini. Bukan masalah sikap yang dipertanyakan. Namun sebuah pertanyaan misteri yang akan selalu berada di dalam benak kita. Tidak perlu menjadi momok.

Mungkin sekedar menjadi nurani.


•> Dan ya, gua jadi pengen tau apa asal usul slogan "Bikin Hidup Lebih Hidup" itu. :)

Tuesday, April 11, 2006

Mestinya Kita Jatuh Cinta

Baru saja gua membaca sebuah tulisan (seperti puisi juga) dari seseorang di blognya.

Isinya tentang pengharapan. Dia yang sudah berapa lama mengamati orang yang dia idam-idamkan, tapi -seperti biasa- tidak berani mengungkapkannya. Tak menentu kata dan tujuan, dia tetap mengutarakan isi hatinya. Kepada tembok. Kepada orang-orang, namun bukan kepada orang yang dia tuju. Selalu terlihat konyol, namun jujur adanya.

Gua ingat sekali perasaan itu. Dan bagi yang belum pernah mengalami jatuh cinta, gua sangat menyayangkan sekali.

Setiap lembaran-lembaran jatuh cinta yang pernah dikecap siapa pun pasti perasaannya sama. Rasa penasaran. Rasa ingin tahu. Rasa rindu. Rasa ingin diperhatikan dan memperhatikan lebih jauh. Rasa ingin menunjukkan perhatian tersebut. Dan sering malu-malu. Rasa stroberi dan coklat sekalipun akan terasa konyol ketika di perut. Wong sudah ada kupu-kupu di dalamnya.

Di mana perasaan itu sekarang?

Haruskah dua sejoli yang saling taksir saja yang merasakannya? Atau temanku jomblo tak berdaya tadi yang lebih berhak memahami kepasrahan cinta bertepuk sebelah kanannya?

Dan apakah ketika cinta tadi sudah berbalas lantas kita tidak bisa mendapatkan lagi rasa jatuh cinta tadi? Maklum, episode lanjutan dari jatuh cinta sering berlanjut klise dan membosankan.

Sepertinya gua ngga setuju. Wong jatuh cinta itu enak kok. Inspiring. Melihat pagi jadi bersinar. Melihat diri sendiri jadi berbinar. Melihat subjek/objek jatuh cinta tadi bisa jadi.. nanar!

Iya. Mestinya jatuh cinta tidak berupa/kepada orang saja. Masih banyak hal-hal lain yang bisa kita cintai.

Bisa kita mulai dari hal-hal kecil. Keseharian yang selalu kita lewati dan alami. Rutinitas di sekitar kita yang sering kita anggap menjadi elemen pembantu melanjutkan mekanisme hari, misalnya. Dan bahkan hal-hal yang kita benci sekalipun. Tidak perlu lantas muluk-muluk mencintai negara bangsa dan tanah air. Tidak usah dipaksakan juga. Karena cinta memang tidak pernah bisa memaksakan. Semua juga tau itu. (Jadi jangan mengira bahwa gua di sini menggurui kalian dengan mengatakan itu. Hehehe.)

Kalau kembali teringat teman gua tadi mungkin ada perasaan kasian akan keterpurukannya.

Tapi inspirasi yang diberikannya tentang cinta, sungguh amat positif.

Tengkyu ****e! Keterpurukanmu, inspirasiku.