Sunday, May 20, 2007

2057

Hiruk pikuk stasiun kereta itu tidak kalah dengan gemuruh hatinya pada saat ini.

Berkali-kali ia mengusap kacamata tebalnya, memastikan lagi sosok yang di seberang sana adalah benar sosok yang... Sosok yang tidak bisa diingatnya lagi dengan jelas. Namun sangat bersuara di relung-relung hatinya sekarang.

Diingatnya kembali malam itu. Dentuman musik yang keras disertai kilatan cahaya buatan sesaat. Sesaat itu juga terselip sebuah senyum yang sangat menawan hatinya. Sedetik cahaya lampu itu berhasil merenggut semua perhatiannya. Dan hidupnya. Demikian seterusnya pada hari-hari berikutnya ia ikuti dia di setiap pesta. Hingga ia akhirnya bisa menemukan cara untuk menjumpai Indah dan berkenalan. Lalu bercinta.

Indah namanya. Wujudnya pun begitu.
Di setiap sudut ruang, di setiap ruas jalan, di setiap waktu mereka bisa, selalu bercerita tentang cinta, gairah dan rasa yang indah.

Ia kembali memegangi tongkatnya yang basah akibat keringat di tangannya. Gurauan cucunya pun terabaikan sesaat seolah membenarkan kepikunannya. Ingin rasanya berteriak memanggilnya di seberang sana. Seperti dulu mereka berteriak pada malam-malam itu. Mengalahkan suara-suara mesin kereta yang bergemetak. Mengalahkan rindu yang seketika timbul lagi.

Kereta yang berlalu lalang tidak mengubah suasana hatinya. Silih berganti pertentangan berdatangan dari segala jurusan. Segala arah dan tujuan. Dengus kereta itu bagai cibiran yang mereka tantang. Saat itu, tidak ada yang mau mengerti. Hingga peluit masinis yang menghentikan permainan. Dan mereka pun berlalu.

Namun Indah masih terpekur di seberang sana. Putrinya yang ayu sesekali membantunya membetulkan syalnya yang jatuh. Atau membisikkan kata-kata ke telinganya. Kau dengarkah aku, Indah?

Suaranya yang renta hanyalah terdengar sebagai permintaan air minum. Atau tuntunan ke kamar kecil. Bukan dahaga yang membuat kerongkongannya tercekat saat ini. Dan lenguhan itu mungkin hanya terusap oleh balsam. Tapi bukan lenguhan hati ini.

Dengan tenaga yang seadanya ia mengetuk-ngetuk tongkatnya ke lantai sambil bergumam.

Kalau kau ingat senyum ini, lihatlah padaku
Kalau kau ingat rasa ini, lihatlah senyumku
Kalau kau ingat cinta ini, lihatlah ke depan
Menolehlah sayang, sedetik saja untukku

Dan dari batas rel yang berselisih itu. Dari bisingnya suara informasi keberangkatan dan kedatangan itu. Dari semua keramaian yang ada. Yang pernah terjadi. Yang pernah mereka alami. Yang pernah mereka lalui, 50 tahun yang lalu...

Indah pun menoleh ke arahnya. Senyum diwajahnya tak kalah dari airmatanya yang mulai pecah.

Indah ingat, 50 tahun yang lalu itu, ketika ia akhirnya berani menghampirinya di keramaian itu, ia berkata "Kamu sudah memperhatikanku dari tadi, semalam, dan malam-malam sebelumnya. Kenapa baru sekarang menghampiriku?"

Dikenangnya lagi kata-kata itu. Seperti ingin mengulang lagi romansa itu. Permainan itu. Seperti tadi dia hanya pura-pura berbicara kepada putrinya.
Indah hanya menutup mukanya seraya mengusap air matanya. Tersipu.

Ia masih terdiam di duduknya. Badan tuanya terkulai oleh lambaian senyuman Indah.
Hanya mengangguk mencoba mengimbangi senyum itu. Pun mulai sedikit mengalir air matanya. Dikecup jarinya pelan dan dihembuskannya pada Indah. Mungkin tak seorang pun yang melihat. Tak seorang pun melarang kali ini.

Raga mereka tak lagi bisa mengulang cerita itu. Hanya cinta yang bisa mengulang rasa itu.

Wednesday, May 16, 2007

(Kepada) Orang-Orang Berbohong

Di depan altar gereja, di depan kekasihnya, di depan pendeta yang baru saja menanyakan "Bersediakah kau mengambil dia, sebagai suamimu...", Sinta berbalik dan berjalan meninggalkan gereja itu.
Pernikahan itu dibatalkannya. Entah atas alasan apa, entah karena pertengkaran yang mana, atau pertentangan yang mana, ia berlalu meninggalkan semua itu.
Kali ini dia jujur akan hatinya.
Sesuatu yang tak pernah disadarinya begitu benar. Begitu murni. Tidak egois, mungkin orang lain terluka. Namun ia jujur.

Tersujud Ira di lututnya. Berdoa kepada Tuhan agar diberikan jawaban. Meminta kepastian akan langkahnya.
Apakah Ari? Atau Ria? Bertahun-tahun ia tegarkan kepada Ari. Walau hatinya mendua kepada Ria.
Lelah ia memanipulasi perasaannya. Demi kekasihnya, demi orang-orang, bahkan demi Tuhan. Padahal Tuhan maha tahu.
Tapi kali ini ia jujur, setelah lelah mencoba jujur. Jujur akan kebingungannya. Jujur akan kekalahannya. Jujur kepada dirinya.

Tanpa ragu lagi lelaki itu melabrak ruangan si jelita itu. Dia yang selalu menghantui setiap nafas yang dihirupnya. Mengusik kerjanya, melunturkan selera makannya dan menghamburkan pikiran liarnya. Kali ini dia akan jujur menyatakannya.
Di depan mukanya ia akan berkata "Aku cinta kamu! Aku cinta kamu! Aku cinta kamu!"
Kalimat itu tidak akan pernah terdengar gombal, ketika dikatakan dengan jujur. Walau tak berbalas sekalipun...


Tak akan habis cerita tentang kejujuran ini.
Sebuah kata gaib yang Tuhan titipkan di setiap relung hati manusia. Menunggu untuk senantiasa dilihat, dibuka dan dinyatakan. Sepertinya Dia selalu mengintip dari celah itu. Akan setiap langkah, rasa dan pikiran yang kita kehendak. Agar selalu jujur kepada diri kita dulu, lalu menghadap kepadaNya.

Lebih dahsyat dari tagihan kartu kredit, handphone atau giliran arisan setiap bulannya.
Lebih nelongso dari sekedar ritual ibadah setiap minggunya.
Atau doa-doa yang terlupakan setiap awal hari, makan dan tidur.

Itu pun, kalau kita mau jujur.

"Stones taught me to fly
Love taught me to cry
So come on courage!
Teach me to be shy
'Cause it's not hard to fall..."
Damien Rice, Cannonball.

(Sebuah tulisan tercecer di awal tahun 2007)

Tuesday, May 08, 2007

Orang Iklan Sama Saja

Apakah orang/insan/pekerja/wanna be iklan sama?

Bisa dibilang iya. Coba perhatikan kecenderungannya kalau sesama ‘kaum’ ini bertemu. Biasanya basa-basi itu dimulai dengan “Weits, di mana loe sekarang? Masih di kantor yang dulu?”. Setelah topik pembicaraan sudah sedikit garing (atau sudah capek membahas iklan-iklan buatan luar dan teman-temannya sendiri) kalimat andalan pun keluar lagi: “Trus, lagi pegang apa loe sekarang?” Atau “Gimana? Banyak pitching? Masih suka lembur?”. Setelah beberapa saat lagi, ketika pembicaraan garing lagi dan gak tau harus gimana lagi, tibalah saatnya berpisah. Kalimat pamungkas pun digelar: “Yo wes, calling-calling ya. Makan siang kek, ngopi kek, dugems kek.”. Tak lupa pesan sponsor “Ada SJ bagi-bagi doooong…”

Gua berani taruhan, tidak ada orang iklan yang belum pernah merasakan proses pembicaraan generik orang iklan tadi. Bagaimana tidak, industri iklan yang kalau dibandingkan dengan persentase profesi lain memang sangat kecil. Jumlah karyawan sebuah bank saja mungkin hanya nol koma nol sekian persen dibanding pekerja iklan. Belum lagi produsen obat, consumer goods, rokok dan lain sebagainya, you name it! Dan ironisnya pula, mereka-mereka itu adalah klien gua! Eh, kita.

Back to the topic, kenapa kita bisa sangat ‘tertebak alur kehidupannya’? Apakah lembur-lembur tak berkesudahan mengejar deadline yang membentuk tingkah laku kita ketika berekspresi pada malam-malam penganugerahan digelar? Itu lho, pakaian seragam dan kostum-kostum ciamik?

Atau seringnya kita berkelakar mengenai tingkah laku klien ini dan itu (bisa juga bos ktia sendiri) yang membuat kita punya pola mengejek yang sama dalam banyak hal? Lantas dalam beberapa storyline ‘inspirasi’ tersebut sering tersisip sebagai bagian dari twist.

Belum lagi urusan kritik-mengkritik iklan tadi. Ketika dipaparkan sebuah ide layout, storyline, storyboard dari sebuah brief, mendadak kita sensitif menilik di mana kekurangan-kekurangannya. Bak menonton timnas Indonesia (cabang olahraga mana saja) selalu kita menjadi penonton sekaligus juri dan pelatih yang handal memberikan instruksi ‘kalau saja’ atau ‘you should have..’

Masih kurang contoh? Coba tanya kenapa tulisan gua bisa dimuat di halaman ini. Dugaan terbesar adalah dari word of mouth-nya orang-orang iklan!! Yang mungkin dalam session ngopi-ngopinya tersebut beberapa nama. Atau melalui milis-milis iklan. Chatting Y!M, blogspot dan multiply. Perlu gua ulang bagaimana mereka-mereka ini bertemu? Silakan balik ke paragraf pertama.

Gua tidak akan protes dengan kecenderungan-kecenderungan ini. Biar gimana pun ini membuat dapur kita ngebul. Bagaimana menyikapinya, kita kembalikan ke pribadi masing-masing. Jelek enggaknya toh ini dunia kita.

Namun ada satu hal yang bikin gua tersentil tentang kesamaan orang-orang iklan ini. Khususnya di ‘kubu’ gua, kreatif.

Gua bisa tersenyum geli dan maklum ketika mendapat brief dengan kata ‘moderen’. Atau penulisan yang keliru akan ‘tone down’ menjadi ‘tone done’ dan proof reading lainnya. Bukan itu yang menyentil gengsi gua.

Gua sering mendapati sebuah ide diceritakan dengan kalimat pembuka “Ada sebuah kota…” Lantas biasanya cerita itu bertutur tentang keseragaman hal lain dan si produk yang menjadi pembeda/hero. Yak! Analogi. Memisalkan. Mengumpamakan. Dengan penjabaran lain, sebuah ide cerita yang kurang begitu bisa didapatkan dari kehidupan nyata lantas didramatisasikan menjadi sebuah… kota!

Satu, dua orang boleh-boleh saja. Tapi kenapa sering sekali ya? Sesama itukah kita?

Great minds think alike, that’s why it’s so dead boring.

Sebuah tulisan di majalah "The Maker" Vol.1 Maret 2007