Monday, June 26, 2006

My Game is Fairplay!

Photobucket - Video and Image HostingMungkin gua tidak akan pernah menjadi wasit.
Atau moderator sebuah debat kusir. Atau komentator sebuah pertandingan bola dan pertandingan olah raga lainnya.

Tidak pernah terbayangkan oleh gua kalau melihat teman gua si Polan sedang bertanding dengan lawannya, dan pada pertandingan itu dia harus mengalami kekalahan atau kecurangan atau pun hal-hal merugikan yang senada. Atau juga bisa jadi si Polan tadi yang justru menjadi pelaku kecurangan tadi.

Entah itu keterkaitan emosional atau keterikatan sebuah nama bangsa yang mungkin menjadi alasan gua untuk tidak mau menjadi orang yang berdiri di tengah dua belah pihak yang sedang berlawanan.

Semua ini memang mungkin. Bisa saja tidak. Bisa saja suatu hari nanti gua akan menjadi orang yang sangat arif dan tegas untuk menegakkan mana yang benar dan salah di permasalahan apa pun.

Paling tidak ini ekspresi keberatan gua akan Inggris di Piala Dunia 2006 ini.

Dari empat pertandingan yang mereka laksanakan, memang hanya 2 pertandingan yang gua tonton dengan seksama. Maklum, Inggris memang bukan kesebelasan yang menjadi favorit gua saat ini. Mungkin juga tidak akan pernah.

Dari hanya 2 pertandingan Inggris yang gua saksikan, gua mendapati kejanggalan yang amat sangat. Umumnya komentator pertandingan-pertandingan ini adalah orang Inggris. Atau paling tidak berbicara Inggris dengan logat Bri'ish yang sangat kental.

Seperti melanjutkan episode infotainment akan gembar-gembor pasukan Three Lions yang sudah dari setahun lalu menghiasi media dengan pemberitaan sana-sini, yang menurut gua, so what gitu lho, mendadak komentator-komentator ini seolah-olah sedang memberitakan kesebelasan kesayangannya yang sedang melawan musuh. Tidak lagi netral. Terlalu menggebu-gebu ketika Beckham mendapat bola. Seperti ada kata maklum ketika muka Rooney mulai bersungut. Atau malah menceritakan prestasi-prestasi pemain Inggris ketika pihak lawan mulai mengadakan serangan. Dengan kata lain, diabaikan.

Biar bagaimana pun audio visual zaman sekarang ini menuntut sinkronisasi yang sangat harmonis. Lucu dong kalau nonton Doraemon tapi ceritanya tentang Suneo mulu. Atau dalam sebuah rapat kabinet, si presiden malah nyeritain keluarganya. Atau juga dalam sebuah presentasi tender iklan, sang agency malah asik bercerita tentang kejayaan masa lalu ketimbang berbicara strategi yang yahudz. Ada lagi? Silakan lanjutkan sendiri.

Yang fair-lah! Toh di setiap pembukaan pertandingan selalu diusung sebuah bendera besar yang bertuliskan : My Game is Fairplay. Kalau belum bisa fair, cobalah netral. Meski terkesan tidak punya sikap, paling tidak menjadi netral tidak membuat masalah ketiga.

Jadi, gimana kalau di final nanti kita usulkan Bung Sambas yang menjadi komentatornya?

Toh dia pendukung Persib.*

*(Kalau ada yang tidak kenal siapa Bung Sambas, mungkin bisa tanya ke generasi pendahulunya. Dan coba tanya lebih detail bagaimana beliau mengomentari pertandingan ketika Persib yang bermain.)

Monday, June 19, 2006

Sepakbola Sekali Lagi, Indonesia Lagi-Lagi.

Photobucket - Video and Image HostingSebut saja Tono atau Budi atau Slamet, Untung, Asep, Poltak atau nama-nama yang sangat Indonesia berjumlah sebelas orang sedang berdiri berjajar di lapangan rumput sedang mendengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan hikmat di salah satu opening pertandingan Piala Dunia entah tahun berapa.

Ini cita-cita. Hanya yang pesimis mengatakan mimpi. Dan hanya yang malas akan menanggapi sinis bahwa hal ini sangat mustahil terjadi. Disebabkan hal ini hal itu. Faktor ini dan itu.

Memang gizinya harus dibenahi. Pelatihannya harus lebih bener. Organisasinya harus lebih becus. Ngga harus ada politik di dalam tubuh olahraga. Juga tidak harus menjadi negara miskin agar bisa mempunya figthing spirit yang sangat tinggi.
Poin-poin orang-orang malas tadi bisa kita tambahkan sebagai poin yang harus diberesin, bukan malah dibahas ngga kejuntrungan bak lingkaran setan.

Layaknya sepakbola, tidak hanya berbicara tentang sepakbola itu sendiri. Selalu ada beyond point dari sepakbola. Bagaimana sebelas orang bisa membawa suka dan duka dalam waktu bersamaan. 90 menit yang mampu menghentikan aktifitas apa pun.

Gua teringat pada tahun 1998, beberapa demo seperti terbius tak berkutik dikarenakan pertandingan piala dunia. Entah akhirnya ngantuk karena begadang atau sudah tidak ada duit karena taruhan, kurang begitu jelas buat gua. Yang pasti kegiatan-kegiatan yang berpotensi membuat 'keributan' bisa teredam sejenak oleh sepakbola.

Gua rasa di dunia bagian lain juga begitu. Ada hal-hal yang bisa tereliminir dengan ajang bola tersebut. Dalam hal ini, hal-hal negatif tentunya.

Nasionalisme? Sudah pasti. Mau kata si Jawir, si Ucok, si Aheng atau si Sharuk Khan sekalipun, selagi dia bermain memakai seragam berbendera -dalam hal ini- merah putih, pastinya akan didukung rakyatnya. Sebut saja nama-nama atlet keturunan Tionghoa yang kita elu-elukan di partai bulutangkis sampai sekarang ini. Saudara bukan, kenal enggak, dimasalahin sering!

Dan satu hal lagi, olahraga (sepakbola) itu sehat!
Kalau tiba-tiba sekarang ini semakin banyak kegiatan sepakbola kampung, pertandingan antar kantor, atau sekedar mengenakan kaos sepakbola kesayangannya untuk merasa sehat, so be it! Filosofi sehat akan selalu berbuah baik sadar atau tidak. Sehat adalah ibadah, bahkan ada kalimat seperti itu.

Kembali pada cita-cita Indonesia di piala dunia tadi, mestinya dengan generasi kita yang sudah jauh lebih maju cara berpikirnya, kita bersama-sama bisa mewujudkannya. Apa yang generasi sebelumnya tinggalkan untuk kita toh adalah bentuk pembelajaran dari mereka buat kita. Kalau ada yang menganggap bodoh, silahkan. Tapi kalau kita toh tidak bisa membuat perubahan/pengembangan dari apa yang mereka buat, kita sama bodohnya dengan mereka.

Pun ini salah satu contoh kecil dari Indonesia kita tercinta ini.

Tuesday, June 13, 2006

Ketika (Umumnya) Manusia Menjadi Bodoh.

Photobucket - Video and Image HostingEkspresi mukanya seperti terangsang. Tegang. Mulut sedikit terbuka. Mangap. Mata nanar. Sesekali nanti tangannya mengepal dan mengangkat tinju. Kakinya pun kejang. Seperti tersengat adrenalin ecstasy tinggi. Seperti seks mungkin.

Di hadapannya bukan lawan jenis yang menggairahkan atau sexy.
Melainkan 22 orang yang sedang menendang-nendang bola. Dari tengah ke belakang, lantas maju, kiri dikit, yak! lambung tengah, oper depan, dipotong lawan, berebut, tackle, sakit, marah, protes.
Mungkin kartu kuning, mungkin kartu merah, tergantung wasit, wasit juga sering goblok, kata mereka. Yang paling pintar pasti penonton. Komentatornya pun sering dibilang goblok dan sering memihak.

Dan ketika si bola bundar itu menembus jaring, ini lebih parah.
Dia, dia, mereka, teman-teman mereka, tetangga mereka, saudara-saudara mereka DAN JUGA GUA, bisa berteriak lebih kencang lagi. Menghamburkan kacang di meja. Kepal tinju tadi bisa benar-benar mengenai sasaran terdekat dan liar. Mendadak menjadi penari kuda lumping tanpa disuruh 'tuannya'. Membuka kaleng bir satu lagi sebagai celebration. Bisa-bisa lebih mabuk lagi.
Mengejek-ejek lawan. Meng-sms teman-teman, entah itu dukungan atau.. ejekan lagi! Juga sibuk melirik penunjuk waktu, akankah segera berakhir atau masih bisa kalah.

Ketika menang, akan menjadi pembicaraan sepanjang 7 turunan.
Doktrin semua kolega, saudara dan keturunan, tentunya. Umbar terus nama-nama andalan. Ceritakan kembali kecanggihan teknik, trik, strategi dan formasi. Biar semuanya tahu tentang pahlawan ini, walau bukan diri sendiri.

Ketika kalah, pun akan menjadi pembicaraan sepanjang 7 turunan.
Dikritiklah pelatihnya. Disalahkanlah wasitnya. Kalau pun pemainnya yang kurang baik, pasti ada alasan di balik itu. Cedera, dicederakan lawan, dicurangi lawan atau memang hanya akan dilupakan di musim depan. Agak sulit mengakui "anak saya memang tidak menang".

Sihir sepakbola memang selalu ajaib. Membuat tolol semua logika. Membuat bumi bundar menjadi petak hijau. Tidak ada politik, tidak ada perang, tidak ada warna kulit. Bukan negara adikuasa, negara berkembang, negara miskin atau Amerika sekalipun.

Dunia seperti bersatu dengannya.

Berbicara satu hal: Ole! Ole! Ole!

Monday, June 05, 2006

Yogyakarta, Lagu Tak Bertuan.

"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.."

Entah apa yang ada di pikiran Katon, Lilo dan Adi ketika mengarang lagu 'Yogyakarta' itu. Bertahun-tahun mendulang sukses sebagai lagu kebanggaan yang dipakai di hampir setiap penutupan konser mereka. Berikut di hati para pendengarnya juga lagu ini mempunyai makna melodi tersendiri.
Kini lagu itu dikumandangkan dengan semangat prihatin. Kalau pun tersirat sebuah nostalgia, mungkin nostalgia yang memilukan. Sebagian besar daerah kota kesayangan itu sekarang telah menjadi puing-puing.

Di kesempatan lain, salah satu penyanyi favorit gua, Ebiet G Ade juga sempat mengeluhkan lagu-lagunya yang sering dipakai menjadi anthem sebuah bencana. Sepertinya dia tidak menyangka lagunya akan dikumandangkan sebagai media kepedihan dari setiap bencana yang terjadi. Bukan begitu niatnya, mungkin.

Mungkin perenungan yang sama dialami John Lennon dengan 'Imagine'-nya atau R.E.M. dengan 'Everybody Hurts'. Belum tentu mereka setuju atau bahkan meramalkan lagu mereka nantinya akan mewakili tangis berjuta umat.

Namun begitulah lagu. Lagu sedih sekalipun.
Ketika nada, ritme dan nyanyiannya bisa mewakili suatu perasaan. Seperti tak bertuan lagi, lagu itu sudah bisa mewakili perasaan yang ada. Suasana apa pun, siapa pun. Bukan lagi milik penciptanya. Sekali saja lagu tersebut berkumandang dan didengarkan oleh telinga manusia, lagu tersebut sudah lahir menjadi persepsi-persepsi baru bagi pendengarnya.

Jadi kalau kali ini Yogyakarta berkumandang tangis. Besok bisa jadi sebuah kenangan manis lagi.

Mari kita doakan.

"Izinkanlah aku untuk slalu pulang lagi..
bila hati mulai sepi tanpa terobati"

Yogyakarta, Kla Project.