Sunday, April 20, 2008

Papa Banyak Duit

Baru-baru ini Kiara, putri sulung kami yang berusia 3,5 tahun, diajak Mamanya jalan-jalan ke PI Mall. Karena bukan akhir pekan, maka agenda perjalanan kali ini tidak seperti biasanya; naik merry go round, ke Gramedia dan kalo beruntung ke toko mainan di Metro atau Toys City.

Seperti sudah menjadi ekspektasinya, Kiara kemudian menanyakan kepada Mamanya:

"Mama, kok kita nggak beli My Little Pony sih?"
[My Little Pony adalah mainan boneka kuda kecintaan Kiara yang sangat banyak variannya dan terus menerus mengeluarkan varian terbaru. Cukup mahal untuk sebuah mainan sehingga kami mempunyai kebijakan untuk membelikan Kiara secara berjangka atau pada momen-momen tertentu saja. Pun demikian, kakek, nenek, tante dan pamannya cukup sering mengacaukan kebijakan ini. :)]

"Mama lagi nggak punya duit, sayang..." kata si Mama. Masih mencoba meyakinkan Kiara, si Mama menambahkan, "Nanti yah, Mama kerja dulu biar dapat duit buat beli My Little Pony-nya..."

Dengan kesederhanaan pikiran dan logika seorang anak berumur 3,5 tahun, Kiara pun berkata

"Kalo gitu minta sama Papa aja yah, kan Papa kerja melulu..."

Wiw!!!
Butuh beberapa waktu untuk mengkaji lagi kejadian tersebut.

Tentu saja kalimat tadi sangat lucu dari seorang anak kecil. Di mana dalam alam pikirnya dia sudah mulai menyambungkan berbagai informasi yang dia terima kemudian menyimpulkannya dengan sederhana. Kerja, dapat duit. Banyak kerja, banyak duit! Simpel kan?!

Nah sekarang mari berpikir dari sisi si Papa.

Seketika pengalaman, wawasan, keahlian bahkan penghasilan yang sudah dicapai menjadi basi oleh perkataan polos tadi. Apalagi kali ini berasal dari anak sendiri. Otoritas yang tidak bisa disentuh oleh siapa pun namun jujur.
Bukan bos, kolega atau office boy di kantor dengan perintah dan arahannya.
Bukan temen sepermainan dengan anjuran dan nasihatnya.
Bukan juga pasangan hidup yang masih bisa kita argumentasikan.

Seperti tidak ada gunanya menjelaskan kerumitan dari semua proses yang biasa dilalui manusia dewasa. Baik untuk dia, maupun diri sendiri!

Sebuah kebenaran memang nggak bisa diutak-atik dari segi mana pun.

Kita orang dewasa emang suka ribet sendiri ya...

[Tulisan ini ditulis pada hari Minggu, jam 10 malam, di sebuah ruang editing rumah produksi... Papa sedang bekerja.]

Monday, April 07, 2008

Pesan Perjuangan

Baiklah saya akan mencoba menyampaikan pesan ini dari akhir.

Ketika saat ini kebebasan akses internet di Indonesia terganggu kenyamanannya diakibatkan film FITNA dan statement dari Roy Suryo yang membuat geram kalangan pengguna internet, saya tertarik untuk membumbuinya dengan pesan yang naif.

Bahwa sebelum nantinya kita bertekad untuk maju ke Menteri Kominfo atau siapapun yang kita anggap berkompeten untuk mendengarkan suara ini, hendaknya kita bisa berjuang dengan tulisan yang lebih berkualitas lagi memperjuangkan kenapa YouTube, Multiply, MySpace dan lainnya tidak perlu ditutup.

Membeberkan segala kebaikan dan manfaat situs-situs tersebut mungkin membantu. Namun jauh lebih ampuh apabila kita bisa membuat sesuatu yang lebih maksimal dari kegunaannya. Membuat situs-situs tersebut memang menjadi sumber informasi yang valid untuk kemajuan bangsa. Memberi inspirasi yang membuat kita bisa berkarya lebih dahsyat lagi.

Niscaya tuduhan-tuduhan sembarangan yang dilontarkan orang-orang yang tidak bertanggung-jawab akan segera terabaikan bak kentut. Berpulang juga kepada kita, apakah kita cukup menjadi seperti kentut saja menanggapi reaksinya; Sama bau dan tak berisi.

Bertanggung-jawabkah kita?

Teringat segerombolan mahasiswa yang sedang berdemo di jalanan dengan muka berseri-seri. Asal masuk liputan televisi, dapat makan siang gratis, dan hore-hore bersama teman-teman. Di depan, temannya yang sangat serius berorasi sedang memekik segala hujatan tentang kebenaran. Satu orang serius, puluhan lain minus!

Teringat juga ketika, lagi-lagi, dari arah kerumunan mahasiswa yang berdemo Mei 98 itu, terlempar sebuah bungkusan berisi kotoran manusia, hinggap ke muka salah satu aparat yang mereka benci itu. Saya tidak perduli lagi siapa yang benar di situ. Namun sepertinya kita hanya suka berkelahi. Bukan berjuang.

Saya memang sedih ketika Malaysia mengklaim bahwa Batik adalah milik mereka. Tapi jauh lebih menyedihkan melihat reaksi dari kita yang hanya bisa memaki atau memperuncing sentimen terhadap tetangga kita itu. Sepertinya kita memang tidak cukup pintar menjaga tradisi yang baik. Karena mungkin tradisi selalu dianggap kuno. Bahkan agama. Dan tidak semua orang juga senang membahas keagamaan. Jujur saja.

Tiga contoh topik di atas sering sekali menjadi cerminan orang Indonesia dalam menyikapi suatu hal yang secara kandungannya sarat dengan nama bangsanya sendiri: INDONESIA. Norak-noraknya. Esmosi-esmosinya. Fanatik-fanatiknya. Ikut-ikutannya.

Menurut teman saya, dari 200juta penduduk Indonesia, hanya 10% yang menggunakan internet. Mungkin hanya 3% dari jumlah tadi yang punya keprihatinan akan masalah pemblokiran situs-situs ini (yang lain mungkin asik upload foto2 di Facebook dll. hehe).

Maka dari itu saya memohoooon sekali agar kalau kita memperjuangkan sesuatu itu benar-benar pada konsep yang... keren! Nggak sekedar eforia satu bulan. Atau menjadi slogan-slogan kosong di stiker-stiker mobil. Buktikan bahwa kita juga tidak sama kentutnya dengan mereka yang tidak bertanggung-jawab itu.

Bagi yang tidak mengerti jangan juga diajak mengerti. Tidak semua orang harus mengerti kok. 200 juta is a big number, my man!

Di Indonesia ini susah sekali mencari orang yang serius akan kemajuan bangsanya.

Kalau you salah satunya, bijaksanalah!

Labels: