Wednesday, July 23, 2014

Dikte, Diktat dan Diktator

Dari sejak SD, saya paling benci praktek "dikte"; sang pengajar membaca/berkata sesuatu, lalu murid mencatat dengan tekun gak boleh salah. Ada semacam keseragaman menyeluruh buat seluruh murid untuk sebuah catatan, standarisasi yang sama. Entahlah apa bahasanya, saat itu saya hanya kesal karena merasa tidak nyaman.
Lalu ada diktat. Buku yang jarang sekali berbentuk buku, melainkan fotokopian (kumal). Pada zaman perkuliahan, ini telak menjadi kaki tangan dosen pengajar untuk standarisasi nilai. Kalau-kalau argumen pengajar dan mahasiswa tak bertitik temu, kembalilah ke diktat. Tat!
Diktator.
Ah sudahlah. Bukan ini yang mau saya bahas :))
Jadi begini,
Berakhirnya masa kampanye yang berujung kepada sebuah hasil telah menimbulkan sebuah ajakan rekonsiliasi damai. Kira-kira begitu rumit kalimatnya.
Ayolah, damailah, 1 + 2 = 3. Bersatulah. Ayolah pliiiis...
Namun persuasinya sering tidak kenal sikon.
Wong lagi kesel, diajak temenan. Wong kalah, diajak gabung ama yang menang. Wong lagi happy, harus ngeladeni ngeyelan yang marah.
Mungkin banyak yang melalui masa seperti saya, didikte.
Sehingga sering masa pemahaman akan sebuah proses tidak terjadi.
Tidak pernah memahami duduk soal.
Tidak pernah yakin dengan pendapatnya.
Tidak pernah dikasih kesempatan untuk berpikir sendiri, karena, di lingkungannya, mungkin itu tidak lazim, tidak boleh. Bahkan, ya ampun, dilarang agama.
"Sudahlah lah, move on."
Move on juga kalo gak dikasih ruang endapan ya paksaan. Grunjelan di hati masih ada. Diskusi 2 arah tidak akan terjadi.
Besok kita masih bertemu musuh yang terpaksa menjadi teman.
Latihan pertama di hari baru ini: kenali laten dikte :))
Mari.

Wednesday, July 16, 2014

Negri Linglung (Karena Link-Link)

Berbahagialah bangsa ini karena semakin banyak yang melek internet.

Sekarang orang sudah piawai membaca berita yang menjadi minat mereka.

Gampang: tinggal klik link-nya, baca, beri komentar, diresapi kontennya, lalu terserah. Praktek tersebut bisa jadi terbulak-balik. "Sikat dulu baru mikir" atau "Mikir dulu baru komentar", itu memang pilihan.

Pilihan tersebut memang termotivasi tujuan awal. Kalau dari sononya mau menghibur batin dengan berita ringan ya akan menjadi ringan. Serius ya serius. Hasut ya...ya sudahlah ya.

Sekarang ini kan banyak sekali tuh berita atau informasi bersliweran di internet. Saya selalu tertarik melihat pentajukan dan sumbernya. Sudah pasti headline yang seru, memikat, provoking berhasil mengusik pikiran pembaca untuk lanjut membaca isinya. Pintar-pintar yang buatlah, gak mesti wartawan yang bisa bikin headline begitu (karena infotainment sudah cukup lama melatih kepekaan pemirsa untuk mendelik berita panas hehehe).

Lalu kemudian saya akan mencermati sumbernya. Apa bagaimana dari mana 'link' tersebut tersajikan.

Sebentar, saya akan menyoroti nama-nama baru atau miring dulu, baru nanti nama-nama besar/resmi. 

Nama-nama website, blog, ID twitter dll itu seringnya unik. Biasanya ini bikinan pribadi atau organisasi yang baru saja muncul. Lihat saja keberagaman wawasannya: ada yang keminggris, alay, ke-agama-agama-an, ke-partai-partai-an sampai yang susah dibaca dan diartikan sekalipun. Yang namanya anak kemarin ya pasti butuh eksistensi agar berterima di lingkungannya, atau di komunitas yang disasar. Bak layaknya iklan produk mereka harus memikat, fantastis, bombastis, extravaganza, apa-apalicious. Ya iya dong, kalo enggak siapa yang melirik?
Demikian akhirnya konten yang disajikan sering secara kasat mata sangat gampang dicerna pada permukaan saja. Tidak ada gambaran besar dari sebuah konsep. Mungkin hanya tahan selama 5 jam. Kira-kira begitu. Kalau pun ada yang bagus, artinya memang sudah mempunyai rencana dan kesinambungan yang baik. Keminggrisnya: well planned.

Lalu ada juga sumber berita resmi dan punya reputasi. Karena sudah punya pengalaman panjang dan teruji, seyogianya mereka akan kukuh memegang integritas sebuah pemberitaan. Ini yang sering didapati, dalam pemberitaan mereka, terkesan hambar. Tidak memihak. Tidak seru. Gak ada kontras seperti sinetron; pahlawan menyelamatkan yang didzolimi. Gak ada jotos-jotosan karena dituntut menjadi wasit yang jeli. Pembaca disuruh mikir sendiri. Bukan karena gak berani beropini, tapi pembaca disuruh mandiri.

Eh tapi kan ada tuh korporasi berita yang besar tapi memihak. Iya, ada.
Namun hanya segelintir orang yang bisa melakukan itu. Yang artinya hanya beberapa orang yang punya kemampuan finansial (atau kekuasaan) bisa menyetir sebuah perspektif opini.

Ingat, hanya beberapa orang. Ciri-cirinya biasanya mereka tajir melintir. Karena di negri ini gak banyak-banyak amat yang kaya, mending kita mikir lagi deh untuk mau mendengar, setuju, mengikuti atau ngefans dengan mereka. Biar gimana pun, setidaknya saya, kita adalah rakyat. Nah dia?

Tapi apakah link-link tersebut akan bertahan lama? Masih enak dibaca dan perlu?

Pemirsa yang menentukan. Kembali lagi ke paragraf sebelumnya, niatan orang untuk membaca itu yang menjadi kunci. Akan susah mengajak orang yang sama sekali tidak tertarik dengan intrik untuk membaca berita intrik. Logikanya begitu. Di sisi lain, kalau memang doyannya berita intrik ya hanya mau dengar intrik. Kenyataannya? Entar dulu. Intrik dulu. Yang penting itu.

Lalu kenapa ngasi judul tulisan seperti ini?

Aaah ngaku aja deeeeh... :))








Tuesday, July 15, 2014

#SaveRRI


Sunday, July 13, 2014

Mendik Dagdigdug...

Siapa Menteri Pendidikan kabinet berikutnya?

Ini tak kalah penting dari hasil 22 Juli 2014 nanti.

Penantian sangat panjang untuk sebuah hasil siapa yang menjadi pemimpin republik ini semakin menunjukkan kualitas pendidikan negri ini.

Akan bagaimana menyikapi sebuah masukan/inputan.
Bagaimana menyelidik kebenaran berita.
Bagaimana menyuarakan sebuah pendapat.
Bagaimana membedakan Kompasiana versus Kompas.
Bagaimana bersopan-santun, beretika dan bertepo-saliro dalam berbahasa.
Bagaimana berbagi dengan sesama (bukan menggurui).
Dan banyak lagi...

Memang ajaran dari rumah pun sangat punya andil dalam hal ini. Tapi kan gak ada kementerian rumah akhlak di Indonesia. Ada juga kementerian agama, yang...ya gitu deh.

Ada keterkejutan mental yang dialami bangsa ini sebulan terakhir. Masing-masing dihadapkan dengan 2 pilihan yang sangat kontras. Tidak ada pilihan ke 3 (karena golput sudah tidak masuk hitungan). Berlatar belakang sensasi dadakan, berpengetahuan seadanya (karena sebelum ini, masing-masing sibuk dengan urusan non bernegara, apa pun lah itu) semua lebur dalam pertikaian sebuah kemenangan.

Taunya cuma menang.

Apa dan bagaimana gimana nanti. Gimana temen/sodara/atasan ngomong aja, nanti contek, pakai sebagai alasan yang umum. Sukur-sukur untung. Sukur-sukur trendi. Kayak semua orang pergi ke mal.

Kalau ditanya kenapa pilih si anu, jawabannya bisa semirip orang cari di Google. Semua ada link-nya. Jadi-jadian atau tidak, ah kan itu 'resmi'. Liat deh namanya, V-O-A. Kira-kira begitu. Dan masih banyak nama plesetan lain. Suara dan Merdeka aja mirip/familiar kan? Hahahaha.

Tapi tidak banyak yang mendasari pilihannya dengan alasan yang, kalau tidak bisa dibilang rasional, setidaknya dia yakini sepenuhnya dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Mungkin malas. Mungkin takut salah. Mungkin takut tidak berterima dengan lingkungan. Mungkin tidak terbiasa berdiskusi. Alhasil tidak ada pemahaman yang mendasar.

Lalu kenapa pendidikan?
Karena separuh dari waktu keseharian anak di Indonesia (yang beruntung) dihabiskan berlebur dengan sosialnya di sekolah. Ruangan yang semestinya melatih nalar, kemampuan bersosial, menerima ajaran dan membuka banyak wawasan.
Yang seharusnya menjadi menjadi pelatihan 'anak bangsa' yang ideal.

Lalu dia kembali ke rumah untuk mendapat kasih sayang orang tuanya. Kita, yang juga termasuk dari elemen itu. (Woi! Ngirim anak ke sekolah gak selesai di tugas guru lho. Plis deh.)

Karena di zaman saya bertumbuh tidak begitu. Akui saja.
Saya tidak pernah mengerti logika perkalian, saya hanya disuruh menghafal.

Saya tidak pernah kenal siapa menteri kabinet, apakah dia saudara saya atau tidak, tapi saya disuruh menghafal.

Saya diajarkan Bahasa Indonesia tanpa dibekali bagaimana melestarikannya. Lalu bahasa Indonesia menjadi kuno, bahasa prokem lebih cangcing karena 'dilarang'. Alhasil, untuk bisa mencapai standar internasional untuk berbahasa Inggris pun terseok-seok. Karena, pada zaman saya, berbahasa Inggris itu dimulai dari azas pretentious. Kasian memang.

Kemampuan berargumen pun minim. Paling terjadi pada pemilihan ketua OSIS atau senat mahasiswa. Apa yang terjadi di kelas-kelas pelajaran sering hanya satu arah. Superioritas pengajar (saya enggan menyebut guru) lebih sering benar tanpa penjelasan mumpuni (yang katanya gaji mereka minim).

Thus karena itu,
Perpecahan yang kita lihat sekarang memang beralasan. Tidak melulu karena lihainya timses capres-capres itu. Mereka juga akan terlihat bodoh kalau semua yang disiarkan ke publik tidak mendapat tanggapan positif atau negatif.
Yang mereka sangat lihai adalah mencari topik sumbu yang sangat berpotensi menjadi...perbincangan publik. Sebut saja: agama, pencitraan, komunis, bocor, blusukan, harapan dll.

Nah gimana kita menanggapinya perlu bekal pendidikan, tentu. Masa iya agama? :))

Karena itu penting sekali fundamental pendidikan kita waras.



Friday, July 11, 2014

Setelah 9 Juli 2014

"Kita sudah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Sebuah kutipan dari buku Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer. Kelak, kalimat ini dipakai banyak manusia di bumi Indonesia sebagai simbol perjuangan titik darah terakhir mereka akan sebuah usaha. Sebuah romantisme perjuangan.

Saya sendiri memang pernah memilih momen yang tepat untuk mengicaukan kalimat tersebut pada pemilihan gubernur DKI periode lalu di Twitter, sehari sebelum pemilihan. Waktu itu saya mendukung Jokowi. Lalu beliau menang. Amboi senangnya. 

Gimana tidak, ketika saya sedang berpengharapan, seakan mendapat jawaban langsung bahwa doa itu terkabul. Meski prosesnya tidak semimpi indah itu. Masih harus melalui intrik-intrik politik papan yahud sampai papan tulis. Menahan geram akan badai serangan yang logis dan tidak. Miriplah dengan kondisi beberapa waktu barusan sebelum 9 Juli 2014 ini.

Iya,sehari sebelum pemilihan presiden itu memang terpikir untuk kembali mengicaukan kalimat itu di sosial media. Sebagai simbol capek, mungkin. Soknya gitu. Hahaha.

Untung saja saya tidak jadi mengicaukannya.

Keadaan berkata lain. Hasil quick count runyam. Pun memang tidak resmi juga untuk mengandalkan hasil tersebut, tapi fenomena yang terjadi kembali meresahkan. Rauwis-uwis kalau kata hestek di sosial media. 

Gelombang persaingan menuju kemenangan kembali digelar. Medan perangnya pun berbeda. Tidak lagi fitnah yang kemarin. Tidak lagi dengan persuasi kreatif. Walau masih bisa lebih kreatif. Walau apa iya masih main fitnah? Hahahaha.

Sekiranya saya puas dengan meminjam kalimat Pram tadi sebagai tonggak perjuangan. Kali ini jelas salah. Kali besok pun ternyata masih salah. 
Nyai Dasima, dalam cerita itu, mengatakan kalimat itu dalam sebuah keputus-asaan yang tak tertolong. Atas sebuah 'ajal' yang dia tahu akan sampai, setelah semua yang dia telah upayakan.

Tapi tidak hari ini. Siape lo?

Menang atau kalah pun hasilnya nanti, PR kita tidak selesai di perayaannya. Menang, ya, terusin semua pembenahan yang memang harus dilakukan. Nyatakan semua yang menjadi harapan di masa kampanye. Walk the talk
Kalah? Ya terus perjuangkan sampai punya kesempatan lagi nantinya.

Enggak, gak ada yang bilang dua kondisi itu gampang.

Karena perjuangan ya emang #rauwisuwis.




Wednesday, July 09, 2014

Indonesia itu Kecil

Buat saya Indonesia itu kecil.

Setidaknya hanya 1753 orang yang terhitung 'berteman' di Facebook saya. Segelintir follower di Twitter dan ratusan orang di Path.  Kalau harus berbanding dengan ratusan juta populasi negri ini.

Belum lagi dalam kesehariannya, semakin sedikit jumlah orang yang berinteraksi di rumah, pekerjaan, dan orang-orang menyebalkan di jalanan (saya kan kelas menengah ngehek, wajar dong bilang orang di jalanan menyebalkan.)

Jadi nanti saya akan datang ke TPS untuk memilih presiden, itu atas sebuah harapan yang bisa membawa perubahan lebih baik terhadap jumlah orang di atas. Dan bagi saya tentunya.

Perubahan lebih baik yang saya maksud itu realistis. Sebut saja kesejahteraan; gaji, rupa-rupa cicilan, biaya sekolah, dan segala urusan uang. Kenyamanan publik; transportasi, keamanan, lingkungan.

Semua unsur di atas selalu berinteraksi dengan kita setiap hari tanpa disadari menjadi sebuah mesin kehidupan yang dibiarkan semrawut, tak terurai, dibiarkan korup dan ironisnya diterima menjadi standar hidup. Pernah ada reformasi, tapi delay lagi 10 tahun. Se-pu-luh-ta-hun.

Itu masih hal yang mendasar.

Saya gak bicara online shopping, SALE anu itu, antrian (parkir) di mal yang berkepanjangan, motor mobil nyerempet semaunya, orang mau beribadah digangguin, macet banjir nyalahin gubernur padahal antri gak mau malah buang sampah sembarangan.
Saya gak bicara siapa yang beragama radikal, penganut komunis, musisi njiplak, melanggar hak asasi, mangkir peradilan, bukan Islam, Non Muslim, etnis Tionghoa.

Bukan.
Karena hal-hal seperti itu gak primer-primer amat sebenernya. Cenderung menjadi lapisan masalah yang sering dipinjam oleh kita untuk menjadi satu masalah penting. Seolah-olah penting.

Penting gimana coba, kalau besok setelah pemilu kita masih kembali pada kebiasaan yang gak mau kita tinggalkan?
Masalah-masalah itu hanya akan seru kalau diperdebatkan dengan lawan, siapa pun yang mau melawan. Ada aja sih. Hahahaha.

Karena memilih bukan tentang masalah di tataran itu belaka. Pun terlalu cemen karena baru dikemukakan di masa kampanye doang. Selama ini ke mana saja? Oh, iya, sibuk. Baca paragraf ke 8.

Jadi, bisa ikut melakukan perubahan dalam skala kecil di sekitar kita itu sudah menjadi langkah awal yang baik, pun nyata. Karena kesinambungannya terjadi setiap hari. Hari-hari itu terus bergulir menjadi masa depan. Masa depan pun selalu menjadi tanggung jawab. Biar jangan ngomel terus kalo melihat kekurangan sana-sini, padahal kontribusinya nol. Walau saya sangat menghargai kalau diam saja.

Ini juga bukan pertanyaan harus milih siapa.

Coba cek lagi konteks kesejahteraan dan kenyamanan di atas.

Pikirin lagi.

TPS tutup jam 13.00.







Monday, July 07, 2014

Senin itu, Minggu Tenang.

Lagi dengar "The Sound of Silence" Simon Garfunkel. 

Soknya mau kalem karena minggu tenang. Dengernya rebel ginian juga hahahaha. 

Keinget cerita Yesus dielu-elukan di Jerusalem. Waktu itu imam-imam minta agar dia menyuruh orang-orang diam. 

Yesus cuma bilang,"Kalau orang-orang ini diam, maka batu-batu ini yang bersuara."

Entahlah maksudnya harafiah atau tidak. Yesus gitu lho.

Tapi memang, kalau hati sudah bernyanyi, mulut tertutup pun bukan masalah besar.

*jreeenggg...*

Tentang Non Muslim | Surat Terbuka

Dear Pak Jokowi dan Pak JK,

Di penghujung masa kampanye ini saya punya satu permohonan kepada yang terhormat Bapak Jokowi dan Bapak Jusuf Kalla sebagai calon pemimpin yang saya dukung. 

Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang sudah kita jalani bersama selama masa kampanye ini, yakni beragamnya bentuk dukungan; dalam bentuk kerja keras, karya, moral dan doa telah jelas menjadi bukti nyata yang sangat membanggakan.

Dari semua yang setuju dengan perubahan yang akan bersama-sama kita laksanakan di depan tanpa tawar menawar. Siapa pun dari mana pun, karena kita Bhinneka Tunggal Ika.

Karena itu saya memohon kepada Bapak Jokowi dan Bapak Jusuf Kalla, kiranya kata "Non Muslim" tidak lagi dipakai sebagai sebuah konsep, kata maupun fungsi.
Satu hal detil yang dalam pemahaman saya, jika bisa dibenahi bisa menambah kualitas bernegara kita menjadi lebih baik.

Demikian permohonan saya kiranya boleh menjadi pertimbangan.

Terimakasih, karena oleh bapak-bapaklah saya mempunyai harapan lebih baik untuk Indonesia.

#Salam2Jari.

Merdeka Indonesia Raya!

Dari pendukungmu,
Diki Satya.

Iwan Fals dan Negri Ini

Di suatu malam saya sedang berkendara dengan taksi menuju rumah. Ketika sampai pada gardu pintu tol untuk membayar, lamat-lamat saya mendengar lagu Iwan Fals dari boks operator pintu tol tersebut. Lagu yang sama saya dengar beberapa hari yang lalu di halte bis.

"...dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal."
Seketika saja saya ikut bersenandung lagu Sore Tugu Pancoran itu. Bagaimana tidak, saya hafal sekali lagu itu. Sejak tahun 1985 lagu itu dikumandangkan - 28 tahun umurnya! - saya sudah ikut menyanyikannya dalam berbagai skenario; 

Skenario 1:
Sekedar mendengarkannya dari tape kakak-kakak saya, dalam kemudaan mereka melatih kepekaan terhadap gejolak remaja, bermusik, dan Iwan Fals tentunya, sosok kritik sosial yang paling lantang pada zamannya. Dan saat itu, saya masih bocah berumur 10 tahun.

Skenario 2:
Lalu ketika saya beranjak remaja pun masih mengulangi lagu tersebut dalam konteks yang mirip dengan kakak-kakak saya. Masih sok tau, kritis, ingin berontak dan mencitrakan diri sebagai orang yang opinionated. Kegalauan remaja karbit yang mendompleng isu sosial sebagai status diri. Maklum, kala itu belum ada social media, pun Orde Baru belum berakhir.

Skenario 3:
Tiba masa lagu Sore Tugu Pancoran ini semakin lapuk maknanya ketika saya semakin bertambah umur, walau belum profesional; dianggap senior hanya dari adik-adik kelasnya di dunia mahasiswa. Saya bosan dengan isunya. Bertahun-tahun menyanyikan Iwan Fals dengan lantang namun tak tampak perubahan sikap yang nyata. Masih terdengar di sudut-sudut warung kopi; keras lantang sampai mengganggu tetangga. Jarang sekali pada panggung yang penuh apresiasi atau berkelas, apalagi bergengsi.

Lagu ini menjelma sebagai tempat pelipur lara kefrustrasian sebuah kondisi yang dibahas hanya sebatas teori. Debat kusir. Menyanyikan perlawanan tapi tak berwujud. Larut dalam nostalgia si lemah yang dikalahkan. Dan yang mengamini ini, di negri ini, siapa lagi kalau bukan mereka yang sering melabelkan dirinya sebagai rakyat kecil. Namun dalam jumlah banyak.

Skenario 4 (sekarang)
Bertahun-tahun saya lalu sudah bisa selektif menikmati musik Iwan Fals yang klasik itu. Nikmati kerennya saja. Tidak lagi terusik oleh isu sosialnya. Obsolete. Kuno. Mirip lagu "Bento" yang kerap diperankan lagi oleh nama-nama lain, tak lagi mengacu pada 'Bento yang ori'. Atau lagu "Bongkar" yang menjadi anthem setiap ada demo skala kecil maupun besar di jalanan (…menyandarkan cita-cita). Yang lantas membuat kemacetan itu, iya. Yang katanya pendemonya dibayar itu, iya? Entah apa yang dibongkar. Tidak ada. Belum. Not in a century, perhaps. Ujug-ujug sudah jadi jargon iklan pun.

-

Tentu saya gelisah dan geram mendapati fenomena ini masih terjadi. Setelah 28 tahun. 3 dekade. Entah udah berapa pemerintahan berlalu. 

Yang katanya roda sekrup kapitalis terkecil itu masih mau mewakilkan dirinya dengan lagu-lagu demikian. Walau sekarang sudah berseragam batik. Menyapa orang dengan banyak prosedur sampai terdengar kaku dan templated. Atau sekedar punya cara sendiri menyebut "customer" menjadi kastamer.  Pun dalam becandaannya, mimpi yang tinggi itu disuarakan dengan nada yang lebih tinggi. Menyedihkan.


Lalu, apakah saya mengajak untuk mengambil sikap dengan lagu Iwan Fals tadi? 

Iya. Sikap apapun lah, kawan!


Yang pasti bukan prihatin.