Gak Manusiawi
Tidak manusiawi bukan milik binatang saja.
Seringnya “gak manusiawi” itu didekatkan dengan konsep kebinatangan.
Manusia, dalam pertahanannya, mengambil perilaku makhluk hidup lain untuk dijadikan proyeksi perlakuan yang mereka anggap mirip namun tetap menempatkan manusia dalam jenjang yang lebih mulia.
Manusia, dalam pertahanannya, mengambil perilaku makhluk hidup lain untuk dijadikan proyeksi perlakuan yang mereka anggap mirip namun tetap menempatkan manusia dalam jenjang yang lebih mulia.
Binatang. Yang tidak punya akal budi. Keji, bisa memakan siapa saja. Yang penting makan, karena lapar. Karena lapar, harus hidup. Begitu (mungkin) binatang hidup. Walau di sebagian manusia, mereka memelihara binatang.
Begitu mudah konsep tersebut menjadi pemikiran umum dan hanya menjadi ranah binatang saja.
Kemarin gw menyaksikan satu bentuk “tidak manusiawi” yang lain.
Yang melakukan tetap manusia, karena, bagaimana mungkin itu binatang
Yang melakukan tetap manusia, karena, bagaimana mungkin itu binatang
Tersebutlah seorang pemimpin negara yang baru dilantik untuk membawa bangsa Indonesia ini dalam perjalanan perubahan 5 tahun ke depan.
Langkahnya sampai ke kedudukan ini tidaklah gampang. Sedemikian banyak yang mendukungnya, sedemikian banyak pula yang menentang. Bahwa dia bukan keunggulan yang dominan di saat itu, di saat sekarang.
Hantaman yang dihadapi, kemarin, sekarang dan besok bukan hal yang menggembirakan dari sekedar perayaan rakyat yang membahana kemarin.
Hantaman yang dihadapi, kemarin, sekarang dan besok bukan hal yang menggembirakan dari sekedar perayaan rakyat yang membahana kemarin.
Namun satu per satu dikerjakan dengan sederhana. Merangkul siapa pun yang akan menjadi bagian masa depan itu. Kawan dan lawan.
Dengan kawan, ini hal yang mudah. Lihat saja lini masa Facebook. Hahaha.
Namun dengan lawan, ini yang menggemaskan.
Bagaimana beliau mengunjungi pihak-pihak oposisi dengan acara yang lumrah; mengucapkan selamat ulang tahun, lobby yang tidak berpanjang-panjang (cukup untuk liputan media). Bahkan menyebut mereka sebagai sahabat baik.
Dan sebagai balas, pihak oposisi pun harus menerima tamu, berjabat tangan, tersenyum. Karena tidak ada yang salah dengan kedua respon tersebut. Tidak cela. Tidak mengundang kegunjingan yang berlarut. Tidak meng-entertain khalayak yang suka keributan.
(Setidaknya) buat gw, ini tidak manusiawi!
Manusia yang umum akan merasakan sakit ketika disakiti. Akan melindungi dirinya dengan upaya agar dirinya tidak tersakiti (lebih jauh). Self defence mechanism-nya akan melawan, membalas. Bahkan dengan akal budi yang tidak dipunyai binatang tadi, manusia akan merancang sebuah respon untuk itu. Apa pun caranya. "Punya otak kok gak dipake!”
Makdarit, manusiawi.
Sedemikian sering “gak manusiawi” itu didekatkan dengan kebinatangan membuat kita mengesampingkan kebaikan sebagai salah satu yang “gak manusiawi”. Karena, ternyata memang sulit menempatkannya di situ. Lebih gampang membicarakannya. Lebih seru mengagumi kebaikan (dan menyebarkan lagi di lini masa), tentu.
Segala bentuk kebaikan dalam kulit luar memang membuat nyaman.
Tapi ketika pemahaman kebaikan dipakai menjadi alat lain dalam sebuah tujuan, kenapa tidak?
Tapi ketika pemahaman kebaikan dipakai menjadi alat lain dalam sebuah tujuan, kenapa tidak?
Entahlah ini konsep baru atau orang itu hanya melakukan sesuatu yang sederhana. Yang gak kepikiran (sebenernya kalau dipikirkan bisa). Yang gak sophisticated (karena sederhana itu tidak trendy).
Yang jelas kita tuh ribet amat :))
0 Comments:
Post a Comment
<< Home