Tuesday, April 17, 2007

Que Sera Sera

Untuk pertama kalinya akhirnya gua bisa setuju dengan iklan rokok A-Mild yang sekarang sedang berseliweran di televisi maupun jalanan. Headline "YANG LEBIH MUDA YANG GAK DIPERCAYA" sungguh-sungguh mengena ke dalam kalbu baik dalam jabaran visual maupun kalimat tersebut berdiri sendiri.

Kalau harus membahas permasalahan yang dikemukakan iklan ini, rasanya siapa juga tahu. Soekarno pasti tahu. Soeharto pasti tahu. Bos-bos kita pasti tahu. Mahasiswa IPDN apalagi. Tau banget. Topik ini hanya sebuah perdebatan usang di samping pak kusir.

Tapi yang sangat menarik dari kalimat itu buat gua lain lagi.

Seminggu yang lalu, istri gua baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Kaleb namanya. Jadi bak siluet embossan pada satu sisi uang Rp 5 dulu, lengkaplah sudah formasi uang lima perak itu. Gua, istri gua Sarah, si Kakak Kiara dan adik Kaleb.

Dulu ketika hanya ada Kiara, segenap perhatian tercurah kepada si lucu ini. Dan sebagai bapak, memang sepertinya agak berlebihan perhatian kepadanya. Ada satu kemistri bapak dan anak perempuan yang tidak bisa dijelaskan secara kata-kata di sini. Mungkin hanya mereka yang punya saja yang bisa mengerti.

Namun beda dengan anak laki-laki.
Seolah-olah ada sebuah cermin raksasa yang menghadang di hadapan muka. Gua segera mengingat kembali semua sejarah yang pernah gua alami semasa kecil, remaja dan sampai sekarang (remaja senja).

Sulit untuk jujur membedakan akan sebuah harapan atau dendam. Akan sebuah cita-cita atau trauma. Akan sebuah kasih atau daulat tradisi. Akan sebuah terusan generasi atau tanggung jawab.

Apakah kelak dia akan seperti bapaknya? Akankah dia menyenangi seni? Apakah nanti dia akan bengal? Rocker? Politisi? Les piano atau main bola?

Apakah gua nanti akan menjadi tipikal bapak-bapak di film era Zainal Abidin yang otoriter?
Menjejali anak-anaknya dengan idealisme-idealisme? Atau kelewat longgar membiarkan anak-anaknya menjadi melempem?

Atau...
Atau...
Atau...

Di sinilah headline iklan tadi terngiang lagi dan gua pun bisa tersenyum. Bukan lantas gua menemukan jawaban dari semua ke-parno-an bapak anak dua tadi. Tapi lebih kepada pentingnya buat gua (atau kita) untuk selalu berbesar hati melihat sebuah perubahan dan perkembangan. Pentingnya untuk menyadari keberadaan kita sekarang.

Bahwa ada saatnya kita memang sudah harus move on dengan perjalanan hidup karena tempat-tempat kita kemarin sudah harus diisi oleh adik-adik kemaren sore. Dan besoknya pun anak-anak kita yang menggantikannya. Dan seterusnya.

Jadi sepengen-pengennya gua bercita-cita agar anak-anak gua kelak ada yang menjadi dokter, mestinya pilihan itu tetap ada pada mereka sendiri. Percayakan pada mereka!

Hanya satu pesan Papa: yang penting ngerti The Beatles, anak-anakku!

Hihihi.