Sunday, July 31, 2005

Perubahan Itu Pernah Ada

Lebih cocok dibaca oleh penduduk Jakarta. Dan sekitarnya.

Beberapa waktu yang lalu gua nerima e-mail dari teman kantor. Isinya tentang rencana pembangunan kereta bawah tanah di Jakarta. Tampilannya memang benar-benar menjanjikan, mengingat cakupan daerah-daerahnya sangat mengakomodir kebutuhan manusia-manusia Jakarta dan bisa membuat rugi para pedagang mobil.

Image hosted by Photobucket.comBayangkan, ada garis lurus yang menyambungkan Bogor sampai Manggarai. Serpong ke Tanah Abang. Ada juga trayek yang berputar-putar di daerah bisnis Sudirman dan sekitarnya. Walaupun sangat disayangkan, trayek menuju bandara sangatlah spesifik. Tidak mudah terjangkau dari berbagai arah.


MRT dari Hongkong!” sontak si Diki mencibir sinis.

Ya. Sangat sulit dipercaya hal itu bisa kejadian. Di tempat tinggal gua aja, di Bintaro, butuh 25 tahun untuk sebuah master plan bisa terwujud. (Itu lho, jalan tol yang bisa nembus ke sektor 9. Nah, sebenernya itulah pintu utama Bintaro!). Dan mungkin banyak lagi contoh-contoh pembangunan yang bagi hitungan masyarakat Jakarta yang tidak sabar ini sangatlah lama. Kalau ditilik-tilik masalahnya, tidaklah sulit. Pastilah orang-orang korup itu yang jadi kambing hitamnya. Atau gubernur itu. Atau pejabat daerah itu. Jarang sekali kita yang jadi penyebab masalahnya. Si pendatang.

Tapi, okelah. Dalam hati, gua tetap berharap rencana besar itu bisa terjadi. Berharap untuk sebuah kebaikan tidak pernah ada ruginya toh?

Image hosted by Photobucket.comSebenarnya traffic Jakarta saat ini tidaklah busuk-busuk amat. Di beberapa kesempatan gua berjalan-jalan, gua mendapati sudah banyak fly over baru, underpass baru, pemindahan jalur, busway, perpanjangan jalan tol yang semakin meluas sampai-sampai bisa menyambungkan Jakarta ke Bandung hanya dengan 2 jam.
Apa yang almarhum Dono pernah katakan di film “Dongkrak Antik” ternyata kejadian di gua.

Melihat hal-hal tersebut, gua merasa terasing sendiri akan perubahan yang sudah terjadi.
Dengan kesibukan masing-masing dan beragamnya kepentingan saat ini, secara tidak sadar proses-proses menuju sesuatu yang baik itu sebenarnya sudah berjalan. Perlahan. Selambat dan secemar apa pun itu.

Mungkin kita terlalu malas untuk melihat sebuah proses dan memilih untuk mengeluh. Ironisnya lagi, lebih banyak yang mengeluh daripada bertindak.

Wednesday, July 27, 2005

Picture Perfect

Dulu, sekitar 10 tahun lalu, gua masih ingat bagaimana nyebelinnya menghadapi asisten dosen yang memberikan kritik sana-sini serta kekurangan ini dan itu terhadap tugas gua. Belum lagi attitude-attitude yang 'muda dan diberi sebersit ruang berkuasa dengan wibawa rapuh kalau diargumentasikan'. Hehe. Ngaku aja lah.
Apa yang gua percaya sangat bagus dalam mengerjakannya, dalam konsepnya, dalam imajinasinya, juga dalam eksekusinya bisa hangus dalam komentar 5 menit. Efeknya juga ngga kalah heboh. Ego tersentil, karangan makian jadi semakin banyak dan dahsyat, dunia jadi bodoh dan banyak lagi pembenaran-pembenaran lainnya sebagai pelipur lara.

Itu juga yang gua temui sekarang ini. Pada sebuah debat kusir dengan teman-teman beberapa waktu lalu, kami sibuk berkomentar tentang film-film nasional yang sedang beredar sekarang. Terutama film itu, tentunya. Dasar pada kritis, dari berbagai aspek expertise masing-masing, film itu pun menjelma lagi menjadi sebuah film yang perfect. Sinematografi yang perfect. Art directing yang perfect. Plot yang perfect. Casting yang perfect. Dan penonton yang perfect. Lah wong penontonnya kita sendiri kan ya?

Tak ayal lagi, gua sendiri sudah menjelma menjadi figur 'tak begitu muda dan diberi sedikit kesempatan berkomentar dengan argumentasi yang -mungkin- rapuh'.

Diskusi itu berlangsung cukup lama dengan imbuhan sana-sini sampai akhirnya sudah melebar ke mana-mana. Dan waktu sudah menunjukkan angka-angka yang artinya: pulang. Setibanya di rumah, memang bukan kebiasaan gua untuk langsung tidur. Salah satu penngantar tidur yang ampuh adalah menonton TV. Sekalian quick viewing iklan-iklan yang lagi beredar sekarang. Maklum dong, art director gituuuu.
Setelah mengambil posisi dan remote tv di tangan, mulailah ritual itu.

Rentetan jualan 30 detik itu pun dilahap mata sambil kalo bisa curi-curi ilmu dikit. Atau moga-moga bisa jadi inspirasi baru. Atau apalah.. yang penting bisa tidur!. Sampai suatu ketika gua merasa haus. Dengan malas gua beranjak dari tempat tidur dan secara tidak sengaja tombol remote tertekan, OFF.

*ceklik*. Mati.

Apa yang terjadi?
Gua tertegun sejenak. Ternyata semudah itu saja.

Sebagai seorang yang bekerja di periklanan, dengan lembur tak henti-hentinya, brainstorming sampai muak, klien yang unbelievable, weekend-weekend yang terkorbankan, dan masih pembenaran lainnya.. Ternyata semudah itu saja bisa dimatikan. Diabaikan. Bahkan tak perlu dilihat.

Dan bisa dibayangkan, ratusan juta penduduk Indonesia pada saat itu. Tertidur. Tidak menonton iklan.

Ironis? Tidak.
Gua kembali ke tempat tidur, ada istri dan si kecil gemetin yang udah tidur dari tadi.

TV tadi tetap mati.

*ceklik*

Picture perfect!

Monday, July 18, 2005

Surat dari Tahun 2005

Image hosted by Photobucket.comGie, setelah masamu sudah banyak yang berubah. Tidak lagi kaisar Hirohito. Tembok Berlin sudah rubuh. Soviet pun sudah bubar berantakan. Dan masih banyak lagi perubahan dunia yang menjadi sejarah.

Tidak lagi Soeharto. Ada Habibie. Ada Gus Dur. Ada Megawati (putrinya Soekarno, presiden yang kau kritik itu). Dan sekarang Yudhoyono. Namun selain Soeharto, tidak ada yang pernah menjabat selama 5 tahun penuh. Jadi masing-masing sibuk dengan rencana ke depan yang selalu terputus oleh alih jabatan yang harus dimulai lagi dari nol. Dan sistem baru lagi. Dan orang baru lagi. Dan idealisme yang baru pula. Dan lagi-lagi dari nol.

Mahasiswa? Keren banget, Gie. Kalau dulu hanya dominasi UI dan perguruan tinggi negri lainnya, sekarang sudah sangat banyak mahasiswa yang mau turun ke jalan menyuarakan suara rakyat. Berikut dengan agenda yang beragam-ragam tiap minggunya.
Dari sekedar memaki pemerintah, mencoba-coba merubah peraturan, atau sekedar ikut-ikutan berpawai menyaingi badut yang mereka pertentangkan. Terkadang menjadi sangat sulit untuk membedakan duduk permasalahannya.

Rakyat kita pun sekarang sangat beragam, Gie. Tidak sepenuhnya seperti dulu, semuanya miskin. Jadi tidak semuanya juga peduli akan kemiskinan. Atau kesama-rataan. Atau persamaan hak. Atau apapun itu dalam dalil adil. Masih banyak koruptor, itu pasti. Tapi masih banyak juga yang memilih untuk tetap miskin. Biasanya mereka lebih memilih protes ketimbang berjuang memerangi kemiskinan itu sendiri.

Koe hebat ya, Gie. Perjalanan hidupmu di filemkan! Hanya saja kali ini idungmu mancung! Tetapi dengan referensi dan riset yang mendalam, kami-kami yang muda ini bisa kurang lebih menangkap apa yang dulu kamu teriakkan, walau pun teriakan itu lebih terdengar dari dengung hatimu. Bukan toa-toa sember.

Gua jadi mikir, Gie. Sekiranya kau hidup di zaman sekarang, di mana kau berada? Di ruang-ruang kampuskah? Di gunung-gunung sepikah? Atau masih bersembunyi dari rongrongan intel? Di hati para cecewe-cecewe kah?

Gua harap tidak sekedar tercetak di kaos-kaos pop sablonan a la Che Guavara..

Kangen abangku Yanto, 1968-1988.

Wednesday, July 06, 2005

TErORIs KONSPIRASI

Pada suatu pagi yang hiruk pikuk di ibukota terjadi sebuah keanehan. Berjuta-juta helai kertas berterbangan jatuh dari langit. Tampaknya ada beberapa helicopter dan pesawat terbang yang menjatuhkannya. Bersliweran ke sana ke mari memastikan semua kawasan mendapat edaran tersebut. Belakangan diketahui ternyata hal ini juga terjadi di seluruh daerah. Kota, desa, pulau terpencil sekalipun turut mendapat bagian.

Begini isinya:

Ditujukan kepada para pengacau nusantara (selanjutnya disebut sebagai Teroris).

Bahwa kami sekarang sudah berada di mana-mana untuk melawan tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kekacauan nasional, merugikan khalayak umum bahkan merenggut banyak nyawa.

Coba lihat sekitar. Kami bisa jadi adalah tukang ojek. Sopir angkutan umum. Ibu rumah tangga. Pedagang asongan. Kasir supermarket. Pelajar dan mahasiswa. Pelacur maupun waria jalanan. Karyawan, buruh, konglomerat bahkan profil pejabat bersafari sekali pun. Di setiap sosok manusia, kami ada dalam menjalankan gerakan ini.

Kami ada di setiap percakapan yang pernah terjadi. Di setiap diskusi yang terselenggara. Di semua forum yang kecil mau pun besar sekalipun. Segala sesuatu yang dapat bersumber sebagai awal dari kekacauan akan segera kami lacak asal muasalnya. Dari obrolan tetangga
sexy sampai konspirasi politik sekalipun kami bisa ketahui dan gunakan sebagai alat. Selama hal itu mempunyai potensi yang membahayakan.

Segala bentuk komunikasi sudah kami cakup. Telepon, selular, radio, telegram, internet, televisi semua bermuara pada kami. Kami juga mempunyai fasilitas satelit yang dapat memantau segala bentuk kegiatan dari atas. Sangat terperinci sampai ke sudut gang mana pun.

Apabila anda tertangkap melakukan kejahatan. Kami tidak segan-segan melakukan apa yang semestinya dilakukan. Melumpuhkan perlawanan yang bisa mengakibatkan cacat tubuh. Dan dalam investigasi, seandainya mengalami kebuntuan, kami akan menggunakan serum ‘kejujuran’ yang dapat membantu proses investigasi.

Demikian juga dengan ganjarannya. Anda hanya akan di
hilangkan.

Kami bukan pemerintah. Kami bukan tentara. Bukan juga intelijen. Walaupun kami bisa terlihat seperti itu juga. Kami hanya manusia. Dengan nurani.

Coba lihat sekitar. Lihat lagi.

SIDIK: Kangen EPL

Image hosted by Photobucket.com

Monday, July 04, 2005

Ih, Jorok!

Image hosted by Photobucket.comDi salah satu Dictionary dan Thesaurus terbaru saat ini, iseng-iseng gua ngetik kata "FUCK". Dan *cklik!* arti kata tersebut pun keluar lengkap dengan penjelasannya berikut penggunaanya mestinya gimana. Jadi jangan juga kita dengan lantang memaki orang "Fucks you nih!". Jangan ya.

Kalo dulu kata "FUCK" tidak pernah muncul dalam kamus atau thesaurus dan juga di beberapa game seperti Hang Man, Word Puzzle mungkin karena dianggap tidak etis atau tidak baik diperdengarkan.

Tapi toh ada bukan?

Di sini serunya. Sekarang ini gua bersama teman-teman tidak sungkan-sungkan mengucapkan 'kontol', 'ngentot', 'meki' dan sejenisnya dalam konteks obrolan becanda atau pun ilmiah (memang agak sulit diterima. Ilmiah? Yang bener aja!). Dan ya, tentunya hanya di kalangan tertentu saja. Tidak di depan orang-orang yang belum cukup umur. Karena mereka belum dalam porsinya untuk mendengar kata-kata ajaib tersebut.

Menurut gua, selagi kata-kata ajaib tersebut tidak dipergunakan dalam konteks yang memaki, menyerang, merugikan orang sih, gua rasa tidak apa-apa. Dan jika kita mau memahami tanpa bersikap antipati dulu dalam menanggapi kata-kata tersebut, moga-moga hasil yang keluar tidak sekedar pendiskriminasian kata-kata ajaib tersebut dalam kategori jorok. Kata itu udah ada dan dilarang. Jadi buat apa ada kalo gitu?

Apa benar orang Batak selalu tampil sangar dan kasar? Buktinya Rinto Harahap dalam lagu-lagunya tidak begitu. Atau orang Cina kalo nyanyi selalu fales? Ada tuh Delon. Apa benar seorang banci tampil itu banci? Emangnya arti banci itu sendiri apaan?

Jadi, apa benar segala sesuatu yang sudah pernah ada selama ini tidak akan pernah berubah fungsi?

Yuk, kita ngomong jorok yang fun.