Tuesday, June 19, 2007

Apalah Arti Sebuah Nama Besar...

Dalam perjalanan menuju kenikmatan Lapo Tondongta siang tadi, kami sempat berpapasan dengan sebuah mobil Mercedes tua yang masih sangat rapih dan apik. Gua dan teman-teman pun langsung mengerubung pandangan kami ke arah si sexy itu. Untuk ukuran sekinclong itu, harga maupun perawatannya bisa saja amit-amit.

Sampai ada yang menyeletuk "Anjrit, siapa sih bapaknya?!..."

Konon celetukan itu sering sekali terdengar ketika kita berhadapan dengan situasi tadi. Sirik, iri, sebal maupun kagum. Sebuah ekspresi yang biasanya terlontar kalau kita sendiri tidak mempunyai atau berada dalam posisi itu.

Mau kata ngeliat temen punya mobil keren. Si anu punya pacar yahud. Si itu kaya berat. Bisa juga si polan yang anak pejabat. Atau si doi yang juara olimpiade sains sekalipun.
Seserius apa kesirikan/kekaguman itu bisa saja berbeda-beda porsinya. Wong manusiawi kok gitu.

Lucunya memang oknum 'bapak' dalam hal ini sering disebut-sebut. Garis keturunan ini acap sekali dirunut untuk menjadi sebuah pelajaran historis atau sekedar konfirmasi bagaimana orang bisa sampai ke satu kondisi tersebut. Sering bukan? Di Indonesia ini kita dapati kalimat seperti:

"Oh pantes, bapaknya kaya..."
"Ya iyalah, anak profesor..."
"Eits, ati-ati loe... bapaknya 'jagoan'!"

Si anak (oknum penderita) cenderung tidak dapat tampil maksimal sebagaimana mestinya dirinya dengan embel-embel tadi. Sebagian bisa nyaman dengan kondisi ini, sebagian pula malah risih.
Gua sendiri -dalam lingkup yang tidak signifikan- pernah hidup dalam bayang-bayang bapak gua dan merasakan kenyamanan oleh pengaruh itu. Mulai dari mendapat perlakuan ekstra sampai akhirnya risih sendiri tidak dikenal sebagai diri sendiri melainkan anak si bapak.

Pernah gak terpikir untuk bertanya siapa bapaknya Soeharto, Soekarno, Sudirman, Sutiyoso atau Soe Hok Gie?
Suka atau tidak masing-masing nama di atas tak pelak lagi mempunyai prestasi signifikan dalam sejarah. Dan jarang sekali orang tertarik untuk membahas siapa bapaknya. Lagi-lagi anaknya yang kecipratan sorotan.

Nama besar sering sekali menomer-duakan objektif sesuatu. Butuh tanggung jawab tersendiri untuk memainkannya. Bisa menyangkut hidup, nafkah hidup, alur hidup dan untuk tetap hidup.

Walau pun masih membingungkan dan akan semakin disebut narsis, gua mau mengoptimalkan diri sendiri agar bisa bertanggung jawab atas nama sendiri.

Bukan anak si anu.
Bukan anggota kelompok.
Bukan warga kampung itu.
Bukan temennya si anu.
Boro-boro kenalannya seleb!

"Walau memang dirimu
bernasib baik.
Bapa'lo kaaaayaa...
(kata orang sih)"

Mawar Merah, Slank.

Tuesday, June 05, 2007

Manusia Kawin, (punya) Anak dan Mati.

Mbak NK adalah figur yang sangat dihormati di lingkungan gua. Selain bersuamikan seorang pendeta, nasihat-nasihat dan tutur katanya kerap membuat kami bisa sedemikian 'patuh' olehnya. Maklum, di lingkungan gua yang cenderung bengal, figur seperti ini akan sangat mudah melejit menjadi tokoh panutan.

Namun hari itu dia tampak risau sekali. Baru saja dia mendapat kabar bahwa ayahnya sedang sakit. Tapi bisa ditutupinya kekhawatirannya. Sepertinya apa yang pernah dinasihatkan kepada kami saat ini tidak begitu berlaku. Biar bagaimana pun, ketika mengalaminya sendiri rasanya di setiap relung kejujuran kita sangatlah manusia. Sangat jujur. Sangat takut.

Ada juga kisah seorang bapak yang dengan gigihnya mendidik anaknya menjadi sosok yang idaman. Dalam artian yang soleh, berbakti kepada orang tua, berguna bagi bangsa dan negara. Tidak berarti harus macho atau cantik. Jagoan berantem atau nyanyi. Atau Mas Boy dan Mbak Vera bahkan.

Yang sebenarnya ketika mau jujur, tidaklah gampang menerapkannya. Mengingat masing-masing manusia itu mempunyai perjalanannya sendiri. Tanggung jawab dan pengalaman sering sekali berbenturan dalam pelaksanaannya. Kondom sudah harus mendapat tempat pada sebuah pembahasan orang tua dan anak sebelum akhirnya ditempatkan pada tempatnya.

Sahabat gua, teman dekat gua dan beberapa orang yang gua kenal juga sampai sekarang masih dihantui isu klasik. Di umur yang sudah sangat umum dipertanyakan, mereka belum -mau, pengen, bisa- kawin. Tak perlu kita yang menanyakan, bagi yang belum menyeberangi fase hidup yang satu ini pasti sudah terngiang di kepalanya. Kalau pun ada teori yang bisa membenarkan keberadaan mereka sekarang, sudah pasti itu pembenaran. Atau paling nggak teori manusialah.

Karena Tuhan tidak punya teori.

Nggak pernah kita tahu kapan kita akan mati. Hanya Dia yang berkehendak.
Seberhasil-berhasilnya kita mendidik anak mau pun anak didik, pun tidak lepas dari kesediaan Dia merestui apa yang kita rencanakan.
Apalagi kawin! Jodoh memang di tangan Tuhan. Jadi jangan berserah.

Kalau udah begini, rasanya celoteh si Ringgo di iklan itu jadi ngada-ngada ya...

"And I find it kind of funny
I find it kind of sad

The dreams in which I'm dying

are the best I've ever had

I find it hard to tell you
I find it hard to take
When people run in circles

It's a very very ..."
Mad World, Tears For Fears.