Wednesday, May 18, 2005

Janjimu apa, Jon?

Janji Joni. Film nasional yang lagi happening. Dibicarakan di mana-mana. Disemangati. Diulas. Posternya terlihat di mana-mana. Yang pasti gaung kepopuleritasannya tidak diragukan lagi. Janji Joni sudah berhasil mendapat perhatian ramai. Setelah dulu, Arisan. Dan dulunya lagi AADC.

Seperti biasa, pro-kontra selalu timbul. Ada yang bilang, niru inilah, niru itulah. Perputaran pemain-pemainnya yang itu-itu lagi, Nico, Suryo, Rachel. Ada juga yang berspekulasi film itu terinspirasi Cinema Paradiso bahkan. Mengingat Alfredo dalam film itu adalah pengantar film untuk diputar di bioskop juga. Atau penggunaan trik deretan selebriti yang diselipkan di sela-sela adegan, mau pun berperan. Maklum, banyak singa lapar di hari gini. Tampil gitu loh.
Ada juga yang selalu membanding-bandingkan dengan film Hollywood. Dan tak ketinggalan, membandingkannya dengan film-film independen dari yang radikal sampai tidak masuk akal. Entah itu sebagai pujian sudah disandingkan dengan genre-genre itu, atau komentar-komentar itu salah alamat. Tauk deh. Gua sendiri belum nonton.

Kurang lebih faktor-faktor di atas yang sering gua dapati sesaat setelah keluar menonton film nasional. Dan beberapa diantara alasan-alasan itu pun gua sangat setuju. Terserah sih, mau menyikapi dari sudut pandang mana. Yang pasti gua mau menghargai effort yang sudah dibuat. Daripada sekedar berkomentar.

Kalo kerjaan udah ngga gitu banyak, gua pasti akan nonton.

Jadi Joko..eh.. Joni.. Apa janjimu?

Friday, May 13, 2005

Jakarta, kapan?..

Sore tadi hujan deras sekali. Dan gua terpaksa stuck di dalam taxi selama kurang lebih 1 jam untuk jarak yang tidak tergolong jauh, Kuningan – Warung Buncit.
Pemandangan lazim pun terpampang di depan -tentu saja macet-. Mobil-mobil berebutan jalur, pengendara motor berlindung di halte-halte bis dan juga fly over, pinggiran jalan mulai menggenang air. Sudah tak terelakkan lagi di Jakarta ini bahwa kalau hujan, pasti macet.

Awalnya gua selalu kesal dengan keadaan ini. Kenapa dalam keadaan hujan begini, mendadak sepertinya orang-orang menjadi semakin panik lantas membuat lalu lintas ruwet. Tidak hujan saja ruwet, apalagi hujan!

1 jam berada di kemacetan dan hujan akhirnya memberikan , at least dalam kesimpulan gua, jawaban bagi gua. Jawabannya adalah banjir. Air yang tadinya di pinggiran saja sekarang sudah mulai merembet ke tengah. Akan terlihat gila kalau ada orang yang bisa mengemudi dengan kecepatan yang tidak lambat dalam situasi seperti itu. Pastilah harus pelan-pelan. Antara menjaga untuk tidak menyembur orang, atau berhati-hati dengan ranjau lubang di jalanan. Tidak ada jalan yang tidak berlubang, bukan begitu?

Di jalanan saja banjir. Gimana dengan pemukiman dan daerah-daerah lain ya?
Mereka yang sering terkena jatah banjir pasti lebih tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin mereka sudah bersiap-siap dengan perahu karet darurat. Menaikkan segala barang-barang agar tidak terkena air. Dan hajatan gotong royong pun segera terlaksana tanpa komando.

Kaya, miskin, tua, muda sama saja. Kalau urusan begini semua bisa kena. Tinggal pertanyaannya, kenapa bisa kena?

Mungkin bikin selokannya kurang gede, sehingga saluran air tidak terakomodir dengan baik.
Mungkin membangun bangunan di tempat yang tidak seharusnya, sehingga saluran air pun tidak terakomodir dengan baik.
Mungkin sampahnya udah kebanyakan, sehingga saluran air pun tidak terakomodir dengan baik.
Mungkin orang-orangnya juga harus berbenah juga, sehingga saluran air pun tidak terakomodir dengan baik.

Beberapa waktu lalu Aceh dan Nias disiram punah oleh air begitu saja dalam waktu sekejap. Tidak sampai 1 jam. Tidak juga 1 tahun. Tidak pula 1 periode masa jabatan gubernur.

Tidak ada aba-aba.

Jakarta?
Image hosted by Photobucket.com

Wednesday, May 11, 2005

Buteeeeeeet..!!

Di seberang kubikal meja gua, Pak Djoko sedang memasang lagu/sinden Jawa. Secara spontan gua langsung memimikkan "Mas..Mas.. Ikan guramenya tadi tambah satu lagi..! Oh ya.. Es teh manisnya diganti jadi teh tawar aja.."

Ketika mendengar nada-nada itu otomatis alam pikir gua terbawa ke suasana restoran-restoran yang menyajikan masakan khas daerah masing-masing. Kalo makan masakan Minang akan terdengar 'Onde-onde Larauik Sanjo'. Di restoran Sunda akan terdengar seruling mautnya. Dan tentunya, di lapo tuak akan terdengar something with "Buteeeeeeeeet..!!" on it.

Lagu-lagu daerah itu sekarang berkumandang di restoran khas daerah. Ironis ya?

Tidak lagi di spot-spot program televisi. Tidak lagi diperlombakan untuk mendapatkan tropi walikota. Mungkin masih ada sih, sekelompok orang yang pergi ke luar negeri untuk memperdengarkan lagu-lagu tersebut yang kemudian kita hanya membaca liputannya di majalah-majalah segmented. Tapi untuk berlomba dengan infotainment, sinetron atau reality show sekarang ini rasanya susah sekali.

Gua bertanya-tanya pada diri gua. Kunokah kita? Terbelakangkah kita jika masih mendengar atau menyenandungkan lagu-lagu daerah tersebut? Atau jangan-jangan kita yang malah kuno dengan lagu-lagu pop sekarang? Selayaknya pop, hari ini kita dengarkan besok sudah terdengar usang. Ngga update lagi.

Apakah lagu daerah tersebut kuno?

Sekalipun ya, apakah kita masing-masing yang mempunyai sejarah tradisi juga kuno?

" Sian na dao hubege do sada ende
tar songon na mangandung-andung inang.."
Di Jou Ahu Mulak Inang, Nahum Situmorang

Wednesday, May 04, 2005

Jangan Mati

Mati.
Satu kata yang sulit diterima.

Image hosted by Photobucket.comKawanku mati. Bukan kematian yang menjemputnya. Melainkan dunia yang sudah mati, baginya. Tangannya sudah mati tidak berkarya. Kakinya mati untuk bertujuan. Inderanya sudah mati untuk suatu nalar. Tatapannya mati untuk kasih sayang. Mulutnya mati untuk bercerita. Hidungnya mati untuk nafas yang hidup.

Mungkin aku telah membunuhnya. Menusuknya dengan perkataan kejam. Menutup pintu ketika dia hendak mengetuk. Mendengarkannya dengan pandangan sebelah mata. Atau mendengarkan apa yang mau gua dengar saja. Mengabaikan kabar dari sms-nya atau tidak membalas miss call darinya. Atau berbohong padanya di saat aku membiarkan dia jatuh dan terjatuh lagi – waktu itu gua bilang “Ngga pa pa. Lu pasti bisa.”-

Belum tentu narkoba kambing hitamnya. Atau putau, kokain, inex, dllsb. Belum tentu bandar/bede. Belum tentu teman-teman dan lingkungan yang salah. Aku juga teman dan aku juga ada dalam lingkungan. Coba pikir lagi, belum tentu!

Aku akan datang lagi untukmu, kawan. Menjabat tanganmu, menyebut namaku dengan jelas. Menceritakan lagi bahwa kita pernah bersahabat. Kita pernah duduk sebangku di sekolah. Kita pernah contek-contekan. Kita pernah bersaing untuk 5 besar di kelas. Kita pernah hidup. Bahkan masih hidup.

Ayo, kawan!..

Jangan mati.
[untuk seorang sahabat]

Monday, May 02, 2005

Don't Judge Book By Its Cover. Just Don't..

[Mohon maaf apabila merasa kurang nyaman dengan tulisan ini]

Seorang sufi berjalan di depanku. Bongkahan bekal yang dibawanya membuat punggungnya sedikit terbungkuk. Berjalan pelan merunduk pada tanah. Aku pun tersihir untuk mengikutinya. Juga berjalan pelan.

Sehelai pakaiannya jatuh dari kantung bekalnya. Sudah lusuh dan hampir tak bisa dipakai lagi. Kupungut dan kuhampiri dia. "Coba kau kenakan, apakah kau pantas memakainya.." begitu jawabnya. Akupun menurut. Pakaian itu sudah usang. Tak cocok lagi untuk dikenakan. Dia hanya tersenyum melihatku kikuk, kemudian berjalan lagi. Melihat tanah.

Masih mengenakan pakaian itu, tetap kususul dia. Sufi gituloh. Kemudian dia duduk berteduh di dekat sumur sambil mengisi termos airnya dengan air sumur itu. Aku duduk menghampirinya. Kali ini kukembalikan padanya baju yang lusuh itu. "Tak berpadan denganku" jawabku padanya. Dia hanya tersenyum getir. Mungkin menertawakan, mungkin kasihan, entahlah. Orang-orang seperti ini selalu bersikap arif dan misterius. God knows.

"Dari tadi engkau mengikuti aku"
"Ya"
"Buat apa?"
"Aku penasaran"
"Apa yang membuatmu penasaran?"
"Haregene, kau masih berpakaian seperti ini. Tidak memakai jins, atau celana katun. Dan kau lebih memilih berjalan daripada naik taksi"
"Benda-benda duniawi itu hanya akan membutakan mata jiwamu.."
"Kenapa begitu? Bukankah kita harus selalu update dengan perkembangan. Jangan kuno dong!"
"Kau lihat aku tadi berjalan meratap tanah?"
"Kau kehilangan sesuatu?"
"Bukan. Dengan begitu aku terlindung dari tatapan orang-orang.."
"Kau seorang sufi bukan?"
"Dulu aku seorang sufir. Sekarang hanya pemulung.." sambungnya lagi "aku membawa lari mobil majikanku dan menabrak lari seorang pejalan kaki. Karena itu aku lari dan sekarang menjadi seperti ini"
"Lalu kenapa kau memberikan pakaianmu tadi ?"
"Aku kira engkau seperti ku juga, seorang sufir yang melarikan diri"
[Tuh kan..?]