2057
Hiruk pikuk stasiun kereta itu tidak kalah dengan gemuruh hatinya pada saat ini.
Berkali-kali ia mengusap kacamata tebalnya, memastikan lagi sosok yang di seberang sana adalah benar sosok yang... Sosok yang tidak bisa diingatnya lagi dengan jelas. Namun sangat bersuara di relung-relung hatinya sekarang.
Diingatnya kembali malam itu. Dentuman musik yang keras disertai kilatan cahaya buatan sesaat. Sesaat itu juga terselip sebuah senyum yang sangat menawan hatinya. Sedetik cahaya lampu itu berhasil merenggut semua perhatiannya. Dan hidupnya. Demikian seterusnya pada hari-hari berikutnya ia ikuti dia di setiap pesta. Hingga ia akhirnya bisa menemukan cara untuk menjumpai Indah dan berkenalan. Lalu bercinta.
Indah namanya. Wujudnya pun begitu.
Di setiap sudut ruang, di setiap ruas jalan, di setiap waktu mereka bisa, selalu bercerita tentang cinta, gairah dan rasa yang indah.
Ia kembali memegangi tongkatnya yang basah akibat keringat di tangannya. Gurauan cucunya pun terabaikan sesaat seolah membenarkan kepikunannya. Ingin rasanya berteriak memanggilnya di seberang sana. Seperti dulu mereka berteriak pada malam-malam itu. Mengalahkan suara-suara mesin kereta yang bergemetak. Mengalahkan rindu yang seketika timbul lagi.
Kereta yang berlalu lalang tidak mengubah suasana hatinya. Silih berganti pertentangan berdatangan dari segala jurusan. Segala arah dan tujuan. Dengus kereta itu bagai cibiran yang mereka tantang. Saat itu, tidak ada yang mau mengerti. Hingga peluit masinis yang menghentikan permainan. Dan mereka pun berlalu.
Namun Indah masih terpekur di seberang sana. Putrinya yang ayu sesekali membantunya membetulkan syalnya yang jatuh. Atau membisikkan kata-kata ke telinganya. Kau dengarkah aku, Indah?
Suaranya yang renta hanyalah terdengar sebagai permintaan air minum. Atau tuntunan ke kamar kecil. Bukan dahaga yang membuat kerongkongannya tercekat saat ini. Dan lenguhan itu mungkin hanya terusap oleh balsam. Tapi bukan lenguhan hati ini.
Dengan tenaga yang seadanya ia mengetuk-ngetuk tongkatnya ke lantai sambil bergumam.
Kalau kau ingat senyum ini, lihatlah padaku
Kalau kau ingat rasa ini, lihatlah senyumku
Kalau kau ingat cinta ini, lihatlah ke depan
Menolehlah sayang, sedetik saja untukku
Dan dari batas rel yang berselisih itu. Dari bisingnya suara informasi keberangkatan dan kedatangan itu. Dari semua keramaian yang ada. Yang pernah terjadi. Yang pernah mereka alami. Yang pernah mereka lalui, 50 tahun yang lalu...
Indah pun menoleh ke arahnya. Senyum diwajahnya tak kalah dari airmatanya yang mulai pecah.
Indah ingat, 50 tahun yang lalu itu, ketika ia akhirnya berani menghampirinya di keramaian itu, ia berkata "Kamu sudah memperhatikanku dari tadi, semalam, dan malam-malam sebelumnya. Kenapa baru sekarang menghampiriku?"
Dikenangnya lagi kata-kata itu. Seperti ingin mengulang lagi romansa itu. Permainan itu. Seperti tadi dia hanya pura-pura berbicara kepada putrinya.
Indah hanya menutup mukanya seraya mengusap air matanya. Tersipu.
Ia masih terdiam di duduknya. Badan tuanya terkulai oleh lambaian senyuman Indah.
Hanya mengangguk mencoba mengimbangi senyum itu. Pun mulai sedikit mengalir air matanya. Dikecup jarinya pelan dan dihembuskannya pada Indah. Mungkin tak seorang pun yang melihat. Tak seorang pun melarang kali ini.
Raga mereka tak lagi bisa mengulang cerita itu. Hanya cinta yang bisa mengulang rasa itu.
Berkali-kali ia mengusap kacamata tebalnya, memastikan lagi sosok yang di seberang sana adalah benar sosok yang... Sosok yang tidak bisa diingatnya lagi dengan jelas. Namun sangat bersuara di relung-relung hatinya sekarang.
Diingatnya kembali malam itu. Dentuman musik yang keras disertai kilatan cahaya buatan sesaat. Sesaat itu juga terselip sebuah senyum yang sangat menawan hatinya. Sedetik cahaya lampu itu berhasil merenggut semua perhatiannya. Dan hidupnya. Demikian seterusnya pada hari-hari berikutnya ia ikuti dia di setiap pesta. Hingga ia akhirnya bisa menemukan cara untuk menjumpai Indah dan berkenalan. Lalu bercinta.
Indah namanya. Wujudnya pun begitu.
Di setiap sudut ruang, di setiap ruas jalan, di setiap waktu mereka bisa, selalu bercerita tentang cinta, gairah dan rasa yang indah.
Ia kembali memegangi tongkatnya yang basah akibat keringat di tangannya. Gurauan cucunya pun terabaikan sesaat seolah membenarkan kepikunannya. Ingin rasanya berteriak memanggilnya di seberang sana. Seperti dulu mereka berteriak pada malam-malam itu. Mengalahkan suara-suara mesin kereta yang bergemetak. Mengalahkan rindu yang seketika timbul lagi.
Kereta yang berlalu lalang tidak mengubah suasana hatinya. Silih berganti pertentangan berdatangan dari segala jurusan. Segala arah dan tujuan. Dengus kereta itu bagai cibiran yang mereka tantang. Saat itu, tidak ada yang mau mengerti. Hingga peluit masinis yang menghentikan permainan. Dan mereka pun berlalu.
Namun Indah masih terpekur di seberang sana. Putrinya yang ayu sesekali membantunya membetulkan syalnya yang jatuh. Atau membisikkan kata-kata ke telinganya. Kau dengarkah aku, Indah?
Suaranya yang renta hanyalah terdengar sebagai permintaan air minum. Atau tuntunan ke kamar kecil. Bukan dahaga yang membuat kerongkongannya tercekat saat ini. Dan lenguhan itu mungkin hanya terusap oleh balsam. Tapi bukan lenguhan hati ini.
Dengan tenaga yang seadanya ia mengetuk-ngetuk tongkatnya ke lantai sambil bergumam.
Kalau kau ingat senyum ini, lihatlah padaku
Kalau kau ingat rasa ini, lihatlah senyumku
Kalau kau ingat cinta ini, lihatlah ke depan
Menolehlah sayang, sedetik saja untukku
Dan dari batas rel yang berselisih itu. Dari bisingnya suara informasi keberangkatan dan kedatangan itu. Dari semua keramaian yang ada. Yang pernah terjadi. Yang pernah mereka alami. Yang pernah mereka lalui, 50 tahun yang lalu...
Indah pun menoleh ke arahnya. Senyum diwajahnya tak kalah dari airmatanya yang mulai pecah.
Indah ingat, 50 tahun yang lalu itu, ketika ia akhirnya berani menghampirinya di keramaian itu, ia berkata "Kamu sudah memperhatikanku dari tadi, semalam, dan malam-malam sebelumnya. Kenapa baru sekarang menghampiriku?"
Dikenangnya lagi kata-kata itu. Seperti ingin mengulang lagi romansa itu. Permainan itu. Seperti tadi dia hanya pura-pura berbicara kepada putrinya.
Indah hanya menutup mukanya seraya mengusap air matanya. Tersipu.
Ia masih terdiam di duduknya. Badan tuanya terkulai oleh lambaian senyuman Indah.
Hanya mengangguk mencoba mengimbangi senyum itu. Pun mulai sedikit mengalir air matanya. Dikecup jarinya pelan dan dihembuskannya pada Indah. Mungkin tak seorang pun yang melihat. Tak seorang pun melarang kali ini.
Raga mereka tak lagi bisa mengulang cerita itu. Hanya cinta yang bisa mengulang rasa itu.
2 Comments:
kereta akan berganti monorail atau bahkan MRT. gak ada yg kekal... begitu juga rasa :p
bucin (mungkin) tidak pernah mengenal cinta...
Post a Comment
<< Home