Iwan Fals dan Negri Ini
Di suatu malam saya sedang berkendara dengan taksi menuju rumah. Ketika sampai pada gardu pintu tol untuk membayar, lamat-lamat saya mendengar lagu Iwan Fals dari boks operator pintu tol tersebut. Lagu yang sama saya dengar beberapa hari yang lalu di halte bis.
"...dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal."
Seketika saja saya ikut bersenandung lagu Sore Tugu Pancoran itu. Bagaimana tidak, saya hafal sekali lagu itu. Sejak tahun 1985 lagu itu dikumandangkan - 28 tahun umurnya! - saya sudah ikut menyanyikannya dalam berbagai skenario;
Skenario 1:
Sekedar mendengarkannya dari tape kakak-kakak saya, dalam kemudaan mereka melatih kepekaan terhadap gejolak remaja, bermusik, dan Iwan Fals tentunya, sosok kritik sosial yang paling lantang pada zamannya. Dan saat itu, saya masih bocah berumur 10 tahun.
Skenario 2:
Lalu ketika saya beranjak remaja pun masih mengulangi lagu tersebut dalam konteks yang mirip dengan kakak-kakak saya. Masih sok tau, kritis, ingin berontak dan mencitrakan diri sebagai orang yang opinionated. Kegalauan remaja karbit yang mendompleng isu sosial sebagai status diri. Maklum, kala itu belum ada social media, pun Orde Baru belum berakhir.
Skenario 3:
Tiba masa lagu Sore Tugu Pancoran ini semakin lapuk maknanya ketika saya semakin bertambah umur, walau belum profesional; dianggap senior hanya dari adik-adik kelasnya di dunia mahasiswa. Saya bosan dengan isunya. Bertahun-tahun menyanyikan Iwan Fals dengan lantang namun tak tampak perubahan sikap yang nyata. Masih terdengar di sudut-sudut warung kopi; keras lantang sampai mengganggu tetangga. Jarang sekali pada panggung yang penuh apresiasi atau berkelas, apalagi bergengsi.
Lagu ini menjelma sebagai tempat pelipur lara kefrustrasian sebuah kondisi yang dibahas hanya sebatas teori. Debat kusir. Menyanyikan perlawanan tapi tak berwujud. Larut dalam nostalgia si lemah yang dikalahkan. Dan yang mengamini ini, di negri ini, siapa lagi kalau bukan mereka yang sering melabelkan dirinya sebagai rakyat kecil. Namun dalam jumlah banyak.
Skenario 4 (sekarang)
Bertahun-tahun saya lalu sudah bisa selektif menikmati musik Iwan Fals yang klasik itu. Nikmati kerennya saja. Tidak lagi terusik oleh isu sosialnya. Obsolete. Kuno. Mirip lagu "Bento" yang kerap diperankan lagi oleh nama-nama lain, tak lagi mengacu pada 'Bento yang ori'. Atau lagu "Bongkar" yang menjadi anthem setiap ada demo skala kecil maupun besar di jalanan (…menyandarkan cita-cita). Yang lantas membuat kemacetan itu, iya. Yang katanya pendemonya dibayar itu, iya? Entah apa yang dibongkar. Tidak ada. Belum. Not in a century, perhaps. Ujug-ujug sudah jadi jargon iklan pun.
-
Tentu saya gelisah dan geram mendapati fenomena ini masih terjadi. Setelah 28 tahun. 3 dekade. Entah udah berapa pemerintahan berlalu.
Yang katanya roda sekrup kapitalis terkecil itu masih mau mewakilkan dirinya dengan lagu-lagu demikian. Walau sekarang sudah berseragam batik. Menyapa orang dengan banyak prosedur sampai terdengar kaku dan templated. Atau sekedar punya cara sendiri menyebut "customer" menjadi kastamer. Pun dalam becandaannya, mimpi yang tinggi itu disuarakan dengan nada yang lebih tinggi. Menyedihkan.
Lalu, apakah saya mengajak untuk mengambil sikap dengan lagu Iwan Fals tadi?
Iya. Sikap apapun lah, kawan!
Yang pasti bukan prihatin.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home