Jangan Bikin Iklan Yang Cuma Orang Iklan Yang Ngerti
Sabtu sore kemaren gua berkesempatan berkunjung ke dokter gigi. Itu pun atas desakan istri gua agar tidak menunda-nunda lagi jadwal yang sudah ditetapkan. Dan kebeneran dokter gigi-nya masih ipar-an dengan istri gua. Jadi kurang lebih memberi perasaan sedikit lebih nyaman ketika berhadapan dengan pensil-pensil bor mesin itu. Walau pun setelah dihadapi, tidak seseram apa yang sering kita ingin bayangkan. Beneran.
Maka pergilah gua, istri dan kakak ipar gua. Karena masih dalam suasana persaudaraan, kami dapat masuk ke ruangan praktek berbarengan. Sambil menunggu giliran, kami pun sibuk dengan kegiatan menunggu yang sangat tipikal : baca majalah, bengong dan nonton TV.
Ketika commercial break, ada sebuah iklan kecantikan (disinyalir bisa memutihkan kulit dengan khasiat sari bengkuangnya). Selesai tayangan tersebut, ipar gua langsung nyeletuk “Trus, apa hubungannya putih dengan membuat mertua bahagia?”. Sambungnya lagi, “Aku yang ngga ngerti atau emang gimana ya? Menurutku sih ngga nyambung aja. Masa cuma gara-gara bikin putih kulit lantas segala sesuatunya bisa jadi bahagia.” Kira-kira begitu bahasanya. Pun masih disambung dengan celotehan iklan-iklan lain.
Belum selesai ipar gua berkomentar, ipar kami yang dokter gigi itu pun ikut menambahi “Iya, aku juga suka bingung ama iklan-iklan itu. Suka ngga nyambung deh. Itu juga tuh, yang obsesi jadi pemain bola. Maksudnya gimana ya?” Untung istri gua yang sedang mendapat giliran perawatan, jadi dia hanya bisa membuka mulut tanpa bisa nimbrung juga. Yah, paling nggak dia sih udah biasa dan terkena bias suaminya yang bekerja di periklanan ini.
Yang pasti semua ocehan dan pertanyaan mereka memang tertuju kepada gua. Satu-satunya orang yang berkecimpung di dunia itu dalam ruangan itu.
Walau sedikit banyak mengerti apa-apa saja maksud dari tayangan komunikasi (umumnya) 30 detik itu, gua hanya bisa tersenyum-senyum saja menanggapinya. Gua malas berandai-andai kepada mereka semata-mata mencoba membuat mereka mengerti.
Lagipula itu bukan iklan hasil karya gua. Jadi biarkan saja teman-teman yang membuat iklan tadi yang lebih berhak menjelaskannya.
Dan kalau pun iklan bikinan gua (dan teman-teman) yang dikritik tadi, mungkin gua juga malas untuk menjawabnya.
Bisa dibilang iklan tersebut sudah gagal melaksanakan fungsinya sebagai penyampai pesan. Tayangan tersebut sudah menimbulkan pertanyaan. Kebingungan. dianggap angin lalu sebagai intermezzo dari sebuah sinetron.. Dan ironisnya lagi, rasa jengkel.
Memang oh memang. Tidak semua iklan-iklan itu jelek dan gagal. Tapi tidak sedikit juga yang perlu dibenahi.
Gua juga sangat mengerti kendala-kendala yang dihadapi dalam setiap prosesnya. Bisa jadi produknya yang begitu. Bisa jadi budgetnya ngga segitunya. Bisa jadi target audience-nya yang begini. Bisa jadi strateginya yang segitu-segitu aja. Bisa jadi kliennya yang maunya itu-itu juga. Bisa jadi tim kreatifnya yang cuma segitu. Coba, kira-kira bisa jadi apaan lagi?
Beberapa waktu yang lalu, dalam percakapan intim dengan seorang teman, dia mengingatkan gua akan satu hal. Dan satu hal ini memang sering luput dari pengamatan kita dalam mengamati sesuatu. Kurang lebih begini kalimatnya:
"Dalam kondisi yang salah, biasanya akan ada yang disalahkan sebagai penyebabnya. Dia, dia dan dia bisa jadi penyebabnya. Tapi kita sering tidak mengikutsertakan diri kita sendiri di dalamnya. Sebab ketika semua aspek sudah diteliti dan sepertinya tidak ada lagi yang salah, biasanya kita sendiri yang salah!"
Gua dan teman gua mau mencari teman yang sependapat dengan ini.
Maka pergilah gua, istri dan kakak ipar gua. Karena masih dalam suasana persaudaraan, kami dapat masuk ke ruangan praktek berbarengan. Sambil menunggu giliran, kami pun sibuk dengan kegiatan menunggu yang sangat tipikal : baca majalah, bengong dan nonton TV.
Ketika commercial break, ada sebuah iklan kecantikan (disinyalir bisa memutihkan kulit dengan khasiat sari bengkuangnya). Selesai tayangan tersebut, ipar gua langsung nyeletuk “Trus, apa hubungannya putih dengan membuat mertua bahagia?”. Sambungnya lagi, “Aku yang ngga ngerti atau emang gimana ya? Menurutku sih ngga nyambung aja. Masa cuma gara-gara bikin putih kulit lantas segala sesuatunya bisa jadi bahagia.” Kira-kira begitu bahasanya. Pun masih disambung dengan celotehan iklan-iklan lain.
Belum selesai ipar gua berkomentar, ipar kami yang dokter gigi itu pun ikut menambahi “Iya, aku juga suka bingung ama iklan-iklan itu. Suka ngga nyambung deh. Itu juga tuh, yang obsesi jadi pemain bola. Maksudnya gimana ya?” Untung istri gua yang sedang mendapat giliran perawatan, jadi dia hanya bisa membuka mulut tanpa bisa nimbrung juga. Yah, paling nggak dia sih udah biasa dan terkena bias suaminya yang bekerja di periklanan ini.
Yang pasti semua ocehan dan pertanyaan mereka memang tertuju kepada gua. Satu-satunya orang yang berkecimpung di dunia itu dalam ruangan itu.
Walau sedikit banyak mengerti apa-apa saja maksud dari tayangan komunikasi (umumnya) 30 detik itu, gua hanya bisa tersenyum-senyum saja menanggapinya. Gua malas berandai-andai kepada mereka semata-mata mencoba membuat mereka mengerti.
Lagipula itu bukan iklan hasil karya gua. Jadi biarkan saja teman-teman yang membuat iklan tadi yang lebih berhak menjelaskannya.
Dan kalau pun iklan bikinan gua (dan teman-teman) yang dikritik tadi, mungkin gua juga malas untuk menjawabnya.
Bisa dibilang iklan tersebut sudah gagal melaksanakan fungsinya sebagai penyampai pesan. Tayangan tersebut sudah menimbulkan pertanyaan. Kebingungan. dianggap angin lalu sebagai intermezzo dari sebuah sinetron.. Dan ironisnya lagi, rasa jengkel.
Memang oh memang. Tidak semua iklan-iklan itu jelek dan gagal. Tapi tidak sedikit juga yang perlu dibenahi.
Gua juga sangat mengerti kendala-kendala yang dihadapi dalam setiap prosesnya. Bisa jadi produknya yang begitu. Bisa jadi budgetnya ngga segitunya. Bisa jadi target audience-nya yang begini. Bisa jadi strateginya yang segitu-segitu aja. Bisa jadi kliennya yang maunya itu-itu juga. Bisa jadi tim kreatifnya yang cuma segitu. Coba, kira-kira bisa jadi apaan lagi?
Beberapa waktu yang lalu, dalam percakapan intim dengan seorang teman, dia mengingatkan gua akan satu hal. Dan satu hal ini memang sering luput dari pengamatan kita dalam mengamati sesuatu. Kurang lebih begini kalimatnya:
"Dalam kondisi yang salah, biasanya akan ada yang disalahkan sebagai penyebabnya. Dia, dia dan dia bisa jadi penyebabnya. Tapi kita sering tidak mengikutsertakan diri kita sendiri di dalamnya. Sebab ketika semua aspek sudah diteliti dan sepertinya tidak ada lagi yang salah, biasanya kita sendiri yang salah!"
Gua dan teman gua mau mencari teman yang sependapat dengan ini.