Perubahan Itu Pernah Ada
Lebih cocok dibaca oleh penduduk Jakarta. Dan sekitarnya.
Beberapa waktu yang lalu gua nerima e-mail dari teman kantor. Isinya tentang rencana pembangunan kereta bawah tanah di Jakarta. Tampilannya memang benar-benar menjanjikan, mengingat cakupan daerah-daerahnya sangat mengakomodir kebutuhan manusia-manusia Jakarta dan bisa membuat rugi para pedagang mobil.
Bayangkan, ada garis lurus yang menyambungkan Bogor sampai Manggarai. Serpong ke Tanah Abang. Ada juga trayek yang berputar-putar di daerah bisnis Sudirman dan sekitarnya. Walaupun sangat disayangkan, trayek menuju bandara sangatlah spesifik. Tidak mudah terjangkau dari berbagai arah.
“MRT dari Hongkong!” sontak si Diki mencibir sinis.
Ya. Sangat sulit dipercaya hal itu bisa kejadian. Di tempat tinggal gua aja, di Bintaro, butuh 25 tahun untuk sebuah master plan bisa terwujud. (Itu lho, jalan tol yang bisa nembus ke sektor 9. Nah, sebenernya itulah pintu utama Bintaro!). Dan mungkin banyak lagi contoh-contoh pembangunan yang bagi hitungan masyarakat Jakarta yang tidak sabar ini sangatlah lama. Kalau ditilik-tilik masalahnya, tidaklah sulit. Pastilah orang-orang korup itu yang jadi kambing hitamnya. Atau gubernur itu. Atau pejabat daerah itu. Jarang sekali kita yang jadi penyebab masalahnya. Si pendatang.
Tapi, okelah. Dalam hati, gua tetap berharap rencana besar itu bisa terjadi. Berharap untuk sebuah kebaikan tidak pernah ada ruginya toh?
Sebenarnya traffic Jakarta saat ini tidaklah busuk-busuk amat. Di beberapa kesempatan gua berjalan-jalan, gua mendapati sudah banyak fly over baru, underpass baru, pemindahan jalur, busway, perpanjangan jalan tol yang semakin meluas sampai-sampai bisa menyambungkan Jakarta ke Bandung hanya dengan 2 jam.
Apa yang almarhum Dono pernah katakan di film “Dongkrak Antik” ternyata kejadian di gua.
Melihat hal-hal tersebut, gua merasa terasing sendiri akan perubahan yang sudah terjadi.
Dengan kesibukan masing-masing dan beragamnya kepentingan saat ini, secara tidak sadar proses-proses menuju sesuatu yang baik itu sebenarnya sudah berjalan. Perlahan. Selambat dan secemar apa pun itu.
Mungkin kita terlalu malas untuk melihat sebuah proses dan memilih untuk mengeluh. Ironisnya lagi, lebih banyak yang mengeluh daripada bertindak.