Apalah Arti Sebuah Nama Besar...
Dalam perjalanan menuju kenikmatan Lapo Tondongta siang tadi, kami sempat berpapasan dengan sebuah mobil Mercedes tua yang masih sangat rapih dan apik. Gua dan teman-teman pun langsung mengerubung pandangan kami ke arah si sexy itu. Untuk ukuran sekinclong itu, harga maupun perawatannya bisa saja amit-amit.
Sampai ada yang menyeletuk "Anjrit, siapa sih bapaknya?!..."
Konon celetukan itu sering sekali terdengar ketika kita berhadapan dengan situasi tadi. Sirik, iri, sebal maupun kagum. Sebuah ekspresi yang biasanya terlontar kalau kita sendiri tidak mempunyai atau berada dalam posisi itu.
Mau kata ngeliat temen punya mobil keren. Si anu punya pacar yahud. Si itu kaya berat. Bisa juga si polan yang anak pejabat. Atau si doi yang juara olimpiade sains sekalipun.
Seserius apa kesirikan/kekaguman itu bisa saja berbeda-beda porsinya. Wong manusiawi kok gitu.
Lucunya memang oknum 'bapak' dalam hal ini sering disebut-sebut. Garis keturunan ini acap sekali dirunut untuk menjadi sebuah pelajaran historis atau sekedar konfirmasi bagaimana orang bisa sampai ke satu kondisi tersebut. Sering bukan? Di Indonesia ini kita dapati kalimat seperti:
"Oh pantes, bapaknya kaya..."
"Ya iyalah, anak profesor..."
"Eits, ati-ati loe... bapaknya 'jagoan'!"
Si anak (oknum penderita) cenderung tidak dapat tampil maksimal sebagaimana mestinya dirinya dengan embel-embel tadi. Sebagian bisa nyaman dengan kondisi ini, sebagian pula malah risih.
Gua sendiri -dalam lingkup yang tidak signifikan- pernah hidup dalam bayang-bayang bapak gua dan merasakan kenyamanan oleh pengaruh itu. Mulai dari mendapat perlakuan ekstra sampai akhirnya risih sendiri tidak dikenal sebagai diri sendiri melainkan anak si bapak.
Pernah gak terpikir untuk bertanya siapa bapaknya Soeharto, Soekarno, Sudirman, Sutiyoso atau Soe Hok Gie?
Suka atau tidak masing-masing nama di atas tak pelak lagi mempunyai prestasi signifikan dalam sejarah. Dan jarang sekali orang tertarik untuk membahas siapa bapaknya. Lagi-lagi anaknya yang kecipratan sorotan.
Nama besar sering sekali menomer-duakan objektif sesuatu. Butuh tanggung jawab tersendiri untuk memainkannya. Bisa menyangkut hidup, nafkah hidup, alur hidup dan untuk tetap hidup.
Walau pun masih membingungkan dan akan semakin disebut narsis, gua mau mengoptimalkan diri sendiri agar bisa bertanggung jawab atas nama sendiri.
Bukan anak si anu.
Bukan anggota kelompok.
Bukan warga kampung itu.
Bukan temennya si anu.
Boro-boro kenalannya seleb!
Sampai ada yang menyeletuk "Anjrit, siapa sih bapaknya?!..."
Konon celetukan itu sering sekali terdengar ketika kita berhadapan dengan situasi tadi. Sirik, iri, sebal maupun kagum. Sebuah ekspresi yang biasanya terlontar kalau kita sendiri tidak mempunyai atau berada dalam posisi itu.
Mau kata ngeliat temen punya mobil keren. Si anu punya pacar yahud. Si itu kaya berat. Bisa juga si polan yang anak pejabat. Atau si doi yang juara olimpiade sains sekalipun.
Seserius apa kesirikan/kekaguman itu bisa saja berbeda-beda porsinya. Wong manusiawi kok gitu.
Lucunya memang oknum 'bapak' dalam hal ini sering disebut-sebut. Garis keturunan ini acap sekali dirunut untuk menjadi sebuah pelajaran historis atau sekedar konfirmasi bagaimana orang bisa sampai ke satu kondisi tersebut. Sering bukan? Di Indonesia ini kita dapati kalimat seperti:
"Oh pantes, bapaknya kaya..."
"Ya iyalah, anak profesor..."
"Eits, ati-ati loe... bapaknya 'jagoan'!"
Si anak (oknum penderita) cenderung tidak dapat tampil maksimal sebagaimana mestinya dirinya dengan embel-embel tadi. Sebagian bisa nyaman dengan kondisi ini, sebagian pula malah risih.
Gua sendiri -dalam lingkup yang tidak signifikan- pernah hidup dalam bayang-bayang bapak gua dan merasakan kenyamanan oleh pengaruh itu. Mulai dari mendapat perlakuan ekstra sampai akhirnya risih sendiri tidak dikenal sebagai diri sendiri melainkan anak si bapak.
Pernah gak terpikir untuk bertanya siapa bapaknya Soeharto, Soekarno, Sudirman, Sutiyoso atau Soe Hok Gie?
Suka atau tidak masing-masing nama di atas tak pelak lagi mempunyai prestasi signifikan dalam sejarah. Dan jarang sekali orang tertarik untuk membahas siapa bapaknya. Lagi-lagi anaknya yang kecipratan sorotan.
Nama besar sering sekali menomer-duakan objektif sesuatu. Butuh tanggung jawab tersendiri untuk memainkannya. Bisa menyangkut hidup, nafkah hidup, alur hidup dan untuk tetap hidup.
Walau pun masih membingungkan dan akan semakin disebut narsis, gua mau mengoptimalkan diri sendiri agar bisa bertanggung jawab atas nama sendiri.
Bukan anak si anu.
Bukan anggota kelompok.
Bukan warga kampung itu.
Bukan temennya si anu.
Boro-boro kenalannya seleb!
"Walau memang dirimu
bernasib baik.
Bapa'lo kaaaayaa...
(kata orang sih)"
Mawar Merah, Slank.
bernasib baik.
Bapa'lo kaaaayaa...
(kata orang sih)"
Mawar Merah, Slank.