Friday, October 26, 2012

Kakek di Penghujung Waktu

Aku menemuinya teronggok di ujung buk taman.  Bukan hari yang sama, bukan waktu yang sama.  Tapi kekesalanku akan suaranya yang mengganggu tiap kali dia berbicara.  Atau melenguh.  Atau sesekali terdengar menyenggak.  Menyampah. Atau pun sebenarnya dia ingin bernyanyi.  Dalam tangisnya.

Ya. Semua nada yang terdengar dari suaranya hanyalah lolongan tangis.  Beberapa kali memang terbukti dengan air matanya yang meleleh.  Tapi suara itu... Suara itu terlalu benar untuk sebuah tangis. Mungkin itu yang membuat orang-orang di sekitarnya hanya bisa menjauh.  Tak mampu mengerti, anggap saja dia gila. Toh sudah tua.  Sebagian memang menjauh karena tak ingin merasakan kejujuran lolongan tadi.  Terlalu benar, sekali lagi.  Manusia sesekali saja mau mendengar hal-hal yang benar.  Benar kan?

Maka sekarang, di hari yang tidak sama dengan kemarin ketika aku menjauhinya, di hari yang tidak sama ketika aku hanya berani mendengarnya dari kejauhan,  di hari yang tidak sama ini aku beranikan diri untuk mengenalnya.

Tidak perlu berjabat tangan, dia pun sungkan.  Dia hanya memangku kedua tangannya dengan rapi.  Mirip Don Corleone di episode terakhirnya di rumah Tuscany.  Namun dia tersenyum.  Matanya mengernyit mencoba meyakinkan bahwa itu adalah senyum.  Aku membalas dengan mengangguk senyum.  Khas sopan santun anak muda kepada setiap orang tua.

Sesaat berikutnya terdengarlah lolongan si kakek seperti biasanya. Mirip kambing pada frekwensi tertentu.  Lirih dan berusaha terus keluar dipompa dadanya yang kembang kempis.  Kemudian matanya berkaca-kaca.  Dia kecapaian.  Aku mengutuk keberadaanku di situ yang sepertinya menjadi penyebab semua ini.  Ingin rasanya menyudahi saja 'kunjungan' ini.  Dan konyolnya, iya.  Dengan meringis aku beranjak pelan pergi meninggalkannya.

Pengecut! Kataku dalam hati.  Sekilas aku melirik ke arahnya. Pengecut! Matanya berkata hal yang sama.   Setidaknya rasa bersalahku yang meyakinkan kalimat itu keluar dari mulut eh, matanya.

...

Maka hari itu, di hari yang tidak sama, seperti aku menamakan hari yang lain, rasa penasaranku membawaku kembali berkunjung kepada si kakek.  Memang kali ini sudah bersama rasa bersalah meninggalkan dia begitu saja kemarin itu.

Tapi aku mulai mengenalnya. Suara kambing itu.  Dia pun tak kan mengerti kalau aku menjulukinya kambing, pikirku.  Pelan-pelan dia mulai bersuara.  Raut mukanya lebih tentram.  Dia pun sudah mengenali aku.  Aku anggap saja dia sedang berbicara dengan cucunya.  Seperti gambaran umum yang orang suka ceritakan dalam cerita.  Sebuah keintiman yang klasik.  Walau jauh di kemudian hari aku mengerti arti dari perkumpulan dua manusia generasi itu.  Si tua rindu ditemani, si muda biasanya bingung tidak ada yang menemani (baca: mengerti).  Iya. Memang sesimpel itu artinya.

Lama-lama aku mulai menyukai berbincang dengan kakek ini.  Tidak lagi aku menamakannya kambing.  Kami seperti sudah sepakat untuk bekerja sama. Si tua berbicara, si muda mendengarkan.  Harmonis.  Walau berhari-hari aku dengannya hanya mendengar bunyi "Aaaaa..." terputus... "Aaaaa..." demikian seterusnya.
Aku mulai akrab dengan gelombang suaranya. Seperti meditasi.  Perlahan menentramkan.  Dia, tentu saja dia senang ada yang mau menemani.  Ada yang mau mendengar.  Ada yang mau berdekatan dengan dia.  Mendengar suara benar itu.

...

Musim berlalu.  Aku menjadi 'dynamic duo' si kakek.  Begitulah sekelilingku mulai menjuluki kami.  Mereka senang dengan perkembangan si kakek.  Dan tentunya karena kehadiranku sebagai perawat partikelir yang mau 'mengurusi' dia.

Bukan sombong,  aku mampu membuat dia kembali berbicara.  Seperti bayi tumbuh, dari yang tadi hanya berbunyi vokal, kini lidahnya bisa membuat konsonan. Aaa...kh...kh...

"Aku."

Dan aku pun bersorak girang seperti orang tua di hadapan bayinya. Gemas ingin mendengar kata-kata yang lebih canggih.  Kebanggaanku bertambah: perawat partikelir plus guru bicara.

Kini aku sudah setiap hari bercengkerama dengan dia. Tidak lagi suatu hari yang tidak sama. Sudah terpupuk persahabatan yang kental secara universal.  Ketika rasa sayang tersebut tumbuh, ketakutan akan perubahan pun muncul.  Dia seorang kakek. Sebentar lagi pergi. Tentu saja.

Intensitas tersebutlah yang mendorong aku secara naluri untuk memberi konsep dari hubungan 'kakek - cucu' ini. Jengah menyebutnya begitu, biar bagaimana pun dia bukan darahku.  Tidak juga bisa dikatakan sahabat kalau berbagi rokok atau minum kopi bersama saja tidak bisa.  Lalu apa?

...

Perbendaharaan kata kakek dengan sabar aku kumpulkan hari demi hari.  Karena kau akan membantuku memberi arti dari perkumpulan kita ini, kek.  Aku mulai terbiasa bercerita banyak hal kepadanya.  Ingat kan? Si tua rindu ditemani, si muda bingung tak ada yang mengerti.  Hari itu, ya, aku mengerti.
Beragam cerita yang aku perdengarkan memang tak banyak membuat dia membalas.  Namun dia selalu berusaha merespon.  Salah satu kata andalannya adalah "lupa". Dan itu ampuh untuk membuat kami tertawa tiap kali sebuah cerita berakhir.

Jangan mati dulu, kek.
Pintaku dalam hati.

Lupa.

...

Inilah hari yang tak mau kulupakan.

Kakek mati?

Kata yang sama kutanyakan kepadanya ketika dia hendak berbicara. Dia menjawab dengan senyum. Diam sejenak. Menarik nafasnya lalu mencoba mengatur kata-kata yang hendak diucapkannya:

"Ahu. Holan. Mambege. Portibi..on"

"Lupa. Ahu. Mandok."

"Aha. Na. Di ahu. Unang. Ahu."

Selama ini aku hanya mendengar apa yang dunia ceritakan. Aku lupa untuk berbicara. Aku lupa mengutarakan apa yang ada padaku. Jangan seperti aku.
Demikian aku mencoba mengartikannya.

Dia pun menutup matanya. Menangis. Terisak, tak lagi terdengar seperti lolongan. Tangannya menggenggam-genggam tanganku. Mauliate, lanjutnya. Samar kudengar kata itu, tapi itu yang kumengerti: Terima kasih.

Menerima kasih. Memberi kasih.
Aku terobsesi mencari arti kata itu, sejak kepergiannya hari itu. Menerima, memberi.

Kenapa tidak boleh hanya kasih saja?
Kenapa dia selalu mendengar dan tak pernah berbicara?
Kenapa aku tak pernah mendengarnya bercerita?

Cukup lama aku mendebat sendiri konsep itu. Sampai aku lupa akan kepergiannya. Aku lupa akan konsep hubungan yang kemarin aku coba rumuskan. Terjebak sendiri dengan arus pertanyaan yang aku buat-buat sampai pada titik yang rumit untuk kembali.  Mungkin itu yang dia lalui dulu.

Hanya menerima. Tak pernah memberi. Entah di mana kasih itu.

...

Terima kasih, Kakek.