Busway Oh Busway
"Wrg Pdk Indh Ntar mlm akn mli lg pek. di metro pi. Diharapkan partisipasi warga tuk hadir guna menghentikan pek. tsb. Jam 22.00 kita kumpul di parkiran golf. Please fwd"
Demikian sebuah sms masuk malam itu ketika saya sedang konsentrasi membaca buku "Ngobrol Iklan, Yuk!"-nya Budiman Hakim sambil sesekali mengintip ke layar TV yang sedang menyiarkan Liga Inggris.
Merasa tergelitik dengan topik yang sedang panas (bukan hangat lagi) dibicarakan seantero Jakarta bahkan sempat menjadi headline sebuah koran nasional, saya kemudian membalas dengan begini:
"Saya mendukung pekerjaan (busway) tersebut. Jadi saya tidak ikut. Ngga usah ditungguin ya. Btw ini siapa ya?" (kebetulan saya tidak mengenal siapa pengirimnya. Dan nomer tersebut seperti nomer selular umum, bukan nomer-nomer premium biasanya)
Berharap mendapat balasan panas dari pengirim di seberang sana, ternyata pengirim adalah teman saya yang mengaku mendapat forward-an sms ini lalu kemudian membantu menyebarkannya saja.
Perdebatan panas pun urung terjadi. Selain cantik, teman saya ini sepertinya bukan sumber atau pelaku langsung dari 'gerakan' ajakan menghentikan busway tersebut. Jadi buat apa diteruskan?...
Baik saya teruskan di sini saja.
Saya memang mendukung proyek pembangunan busway di Pondok Indah. Dan daerah-daerah lainnya yang sudah maupun dalam perencanaan pembangunannya.
Pun demikian, saya juga tinggal di daerah pemukiman Pondok Indah. Merasakan keramaiannya yang bertambah. Bermacet-macet menuju PI Mall yang jaraknya cuma 'selemparan k*lor'.
Berjejal-jejal di jalan. Serobot sana-sini mengambil dan diambil jalurnya. Belum lagi bersaing dengan kendaraan umum yang tak pernah patuh akan kodratnya :)
Singkat cerita: saya juga bagian dari penderitaan macet Jakarta. Di bagian Jakarta mana pun!
Sejauh ingatan saya, gambaran jalanan Jakarta yang masih belum ruwet dan macet hanya terlihat di film-film tahun 70an. Ketika itu masih sering sebuah penghubung adegan digambarkan dengan Bundaran HI. Tidak macet. Bahkan lengang.
Sekarang sepertinya sudah menjadi pengetahuan yang harus umum bahwa Jakarta memang kota macet dan semrawut. Jakarta = macet. Siapa pun tahu itu. Dan bagi yang mengetahui hal ini, tidak ada satu pun yang setuju bahwa hal ini lumrah diterma apa adanya.
Namun ketika akhirnya sebuah rencana penyelesaian masalah ditawarkan, ada pula yang tidak setuju. Lah gimana ini? Setelah 30 tahun (kalau mengukur film-film tadi) menderita macet dan polusi, kok solusi seperti ini malah ditentang sih? Apa yang salah?
Apakah karena masih asyik membeli mobil-mobil dan motor-motor baru sehingga ruas jalan menjadi semakin sedikit untuk dilewati?
Menunggu orang yang baik hati dan tidak sombong untuk mengerjakan proyek ini dengan baik dan benar tanpa sedikit pun noda KKN? Konon, masalah pembangunan busway ini sarat dengan masalah korupsi atau tuduhan senada; masalah klasik itu.
Atau sebagian lingkungannya merasa terganggu akan bisingnya pekerjaan? Toh kompensasi fasilitas penghijauannya sudah disediakan.
Gengsi? Waduh.
Saya tidak menutup mata bahwa masalah-masalah tersebut maupun tidak tersebut di atas memang terjadi dan masih butuh kerja keras untuk penyelesaiannya. Namun tidak bisakah hal ini dilihat sebagai langkah awal untuk sebuah... kebaikan?
Beberapa waktu yang lalu saya juga ikutan ngomel dengan pekerjaan underpass yang terjadi di sekitar Pondok Indah. Sampai beberapa saat saya kemudian lupa akan omelan saya ketika sedang menyetir melewati jalanan itu tanpa menyadari sebuah perubahan telah terjadi menjadi suatu bentuk yang mulai teratur. Saya malu kalau harus mengingat itu.
Dan kebijakan-kebijakan lainnya yang lagi-lagi tanpa saya sadari telah lambat laun merubah pola tidak disiplin menjadi lebih baik. Sebut saja pemakaian helm buat pengendara motor. Pemakaian sabuk pengaman dalam berkendara mobil. 3 in 1, sebuah solusi mengatasi kemacetan dengan anjuran menggunakan kendaraan umum.
Sentimen yang berlarut-larut sudah semestinya dijernihkan satu per satu. Fungsi sebuah tujuan sering menjadi kabur akan faktor-faktor yang menyertai di sekelilingnya. Rancangan-rancangan itu semuanya baik. Tinggal bagaimana manusia menjalankannya dengan baik atau tidak. Lah, manusia itu kita-kita juga bukan?
Pastinya, tidak akan berjalan mulus seperti mimpi. Tapi saya tidak akan berpanjang-panjang akan sebuah gambaran ideal. Kita semua tahu dan mampu.
Dan kalau pun saya tidak beruntung untuk dapat menikmati perubahan baik itu. Saya berdoa agar anak-anak saya bisa.
Masa depan.
Bukan begitu?
Demikian sebuah sms masuk malam itu ketika saya sedang konsentrasi membaca buku "Ngobrol Iklan, Yuk!"-nya Budiman Hakim sambil sesekali mengintip ke layar TV yang sedang menyiarkan Liga Inggris.
Merasa tergelitik dengan topik yang sedang panas (bukan hangat lagi) dibicarakan seantero Jakarta bahkan sempat menjadi headline sebuah koran nasional, saya kemudian membalas dengan begini:
"Saya mendukung pekerjaan (busway) tersebut. Jadi saya tidak ikut. Ngga usah ditungguin ya. Btw ini siapa ya?" (kebetulan saya tidak mengenal siapa pengirimnya. Dan nomer tersebut seperti nomer selular umum, bukan nomer-nomer premium biasanya)
Berharap mendapat balasan panas dari pengirim di seberang sana, ternyata pengirim adalah teman saya yang mengaku mendapat forward-an sms ini lalu kemudian membantu menyebarkannya saja.
Perdebatan panas pun urung terjadi. Selain cantik, teman saya ini sepertinya bukan sumber atau pelaku langsung dari 'gerakan' ajakan menghentikan busway tersebut. Jadi buat apa diteruskan?...
Baik saya teruskan di sini saja.
Saya memang mendukung proyek pembangunan busway di Pondok Indah. Dan daerah-daerah lainnya yang sudah maupun dalam perencanaan pembangunannya.
Pun demikian, saya juga tinggal di daerah pemukiman Pondok Indah. Merasakan keramaiannya yang bertambah. Bermacet-macet menuju PI Mall yang jaraknya cuma 'selemparan k*lor'.
Berjejal-jejal di jalan. Serobot sana-sini mengambil dan diambil jalurnya. Belum lagi bersaing dengan kendaraan umum yang tak pernah patuh akan kodratnya :)
Singkat cerita: saya juga bagian dari penderitaan macet Jakarta. Di bagian Jakarta mana pun!
Sejauh ingatan saya, gambaran jalanan Jakarta yang masih belum ruwet dan macet hanya terlihat di film-film tahun 70an. Ketika itu masih sering sebuah penghubung adegan digambarkan dengan Bundaran HI. Tidak macet. Bahkan lengang.
Sekarang sepertinya sudah menjadi pengetahuan yang harus umum bahwa Jakarta memang kota macet dan semrawut. Jakarta = macet. Siapa pun tahu itu. Dan bagi yang mengetahui hal ini, tidak ada satu pun yang setuju bahwa hal ini lumrah diterma apa adanya.
Namun ketika akhirnya sebuah rencana penyelesaian masalah ditawarkan, ada pula yang tidak setuju. Lah gimana ini? Setelah 30 tahun (kalau mengukur film-film tadi) menderita macet dan polusi, kok solusi seperti ini malah ditentang sih? Apa yang salah?
Apakah karena masih asyik membeli mobil-mobil dan motor-motor baru sehingga ruas jalan menjadi semakin sedikit untuk dilewati?
Menunggu orang yang baik hati dan tidak sombong untuk mengerjakan proyek ini dengan baik dan benar tanpa sedikit pun noda KKN? Konon, masalah pembangunan busway ini sarat dengan masalah korupsi atau tuduhan senada; masalah klasik itu.
Atau sebagian lingkungannya merasa terganggu akan bisingnya pekerjaan? Toh kompensasi fasilitas penghijauannya sudah disediakan.
Gengsi? Waduh.
Saya tidak menutup mata bahwa masalah-masalah tersebut maupun tidak tersebut di atas memang terjadi dan masih butuh kerja keras untuk penyelesaiannya. Namun tidak bisakah hal ini dilihat sebagai langkah awal untuk sebuah... kebaikan?
Beberapa waktu yang lalu saya juga ikutan ngomel dengan pekerjaan underpass yang terjadi di sekitar Pondok Indah. Sampai beberapa saat saya kemudian lupa akan omelan saya ketika sedang menyetir melewati jalanan itu tanpa menyadari sebuah perubahan telah terjadi menjadi suatu bentuk yang mulai teratur. Saya malu kalau harus mengingat itu.
Dan kebijakan-kebijakan lainnya yang lagi-lagi tanpa saya sadari telah lambat laun merubah pola tidak disiplin menjadi lebih baik. Sebut saja pemakaian helm buat pengendara motor. Pemakaian sabuk pengaman dalam berkendara mobil. 3 in 1, sebuah solusi mengatasi kemacetan dengan anjuran menggunakan kendaraan umum.
Sentimen yang berlarut-larut sudah semestinya dijernihkan satu per satu. Fungsi sebuah tujuan sering menjadi kabur akan faktor-faktor yang menyertai di sekelilingnya. Rancangan-rancangan itu semuanya baik. Tinggal bagaimana manusia menjalankannya dengan baik atau tidak. Lah, manusia itu kita-kita juga bukan?
Pastinya, tidak akan berjalan mulus seperti mimpi. Tapi saya tidak akan berpanjang-panjang akan sebuah gambaran ideal. Kita semua tahu dan mampu.
Dan kalau pun saya tidak beruntung untuk dapat menikmati perubahan baik itu. Saya berdoa agar anak-anak saya bisa.
Masa depan.
Bukan begitu?
Labels: busway, indonesiana