Friday, November 21, 2014

Republik Meme

Setidaknya 2 tahun belakangan ini. 
Bentuk becandaan di sosial media akan banyak hal. Awalnya sekedar kata-kata manis dan bermotivasi yang unyu untuk di-share atau sekedar penampakan status terselubung.
Lama kelamaan, didukung kemudahan apps yang ada, jpg-jpg mutiara tadi bertransformasi menjadi satu becandaan, ratapan jomblo yang berkepanjangan, satir-satiran dan tentu saja sarana mengejek pemerintah. Presto! Dalam hitungan menit ketika sebuah isu sedang merebak, kita bisa langsung mendapati meme (demikian dia disebut) melucu di lini masa digital. Menit berikutnya sudah berkembang lagi. Semakin berlanjut gak karuan. Walau memang, sirkulasi informasi di digital memang punya gelombang sendiri sampai akhirnya orang punya pengetahuan yang sama di suatu titik.
Semua terbalut dalam penyampaian yang konon, diharapkan, semoga masih, jenaka.
Jenaka yang seperti apa?
Pertanyaan ini jelas membuat gue langsung kangen akan ke-Indonesia-an kita dalam becanda: Srimulat. Yang sangat lokal, pintar berkaca pada diri, nyindir kok ya pas banget, hafal sifat feodal, berani mengejek karena punya banyak bukti dan lain-lain.
Karena tidak demikian rasanya sekarang.
Orang bisa saja menerima sebuah dialog sampah (walau tujuannya becanda) yang satir dan menyematkan percakapan itu pada gambar SBY dan Johnny Depp. Gw berhenti dengan 2 contoh kontras ini. Contoh lain silakan saja.
Karena kontennya lucu, lantas orang berterima. Tapi karena terus-terusan begitu, sepertinya orang lambat laun menerima sosok yang dilabelkan pada mereka itu benar!
Sakitnya tuh di sini. Di pemahamannya.
Tidak ada proses filter yang waras. Susah waras karena arusnya sangat deras dan akhirnya diabaikan. Pokoknya SBY ya gitu. Bekasi ya gitu. Jomblo ya gitu. Syahrini ya gitu. Kacang. Ringan. Besok ada lagi. Sekarang hore aja.
(Ironisnya lagi, gak usah yang serius-serius lah. Yang gini-gini aja, lucu. Besok lupa.)
Kalau memang republik ini menggemari sekali humor, baiklah itu menghibur sekitarnya. Menjadi senang dan berdampak positif. Jadi jagoan lawak dunia sekalian.
(Seperti batik dan jargon I love Indonesia, mestinya diperdengarkan buat yang belum tau, bukan sesama teman di kampung)
Karena ‪#‎RevolusiMental‬ gak bisa becandahahahahahaha...

Matinya Demokrasi

Demokrasi Mati?
Di mana kuburannya?
Tahun 90an, sebelum 1998, di Mesir pernah diadakan konferensi dunia membahas praktek demokrasi negara-negara.
Delegasi dari Indonesia kebetulan beragama Kristen. Sehingga tak pelak lagi mengundang pertanyaan, bagaimana bisa delegasinya justru beragama Kristen dari negara yang mayoritas Islam.
Pemerintahan Singapura, Malaysia, Thailand dan negara Asia lainnya umumnya berisi dari mayoritas suku/agama yang ada. Walau Indonesia pun sebenernya begitu. Dan bahwa mereka yang minoritas memang biasanya mendapat berbagai perlakuan umumnya minoritas.
Kembali pada konferensi tadi, dengan berdirinya si delegasi tadi di situ, cukuplah membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya mempraktekkan demokrasi, sekecil apa pun bentuknya. Kalau ditilik lagi, pun insiden itu bisa menjadi pelajaran besar; pada saat itu, 20 tahun yang lalu.
Jadi kita perlu lebih mengerti lagi apa hestek ‪#‎RIPDemokrasi‬.
Kalau dibilang "RIP hak masyarakat untuk memilih wakilnya untuk menjadi pemimpin", benar saja.
Atau hanya kekesalan masyarakat akan dirampoknya pemahaman “Sekarang memilih pemimpin dengan kesadaran mumpuni”, iya, saya setuju.
Tapi untuk mematikan demokrasi…mana kuburannya?
Pagi itu, kita dibangunkan dengan berita keputusan RUU Pilkada dipilih oleh DPRD, tidak lagi oleh rakyat langsung.
Secara metafora seharusnya benar kita dibangunkan. Dibangunkan dari keterlenaan, si baik yang menang, akhirnya harapan yang baik pun datang, dan segala macam bunga mimpi yang katanya tertidur lagi 16 tahun setelah 1998.
Nyatanya? Ada saja pihak yang bisa melencengkan. Dengan segala kesempatan dan kepentingan.
Kita jelas punya kepentingan, sekarang dan besok. Kepentingan tersebut pernah dimenangkan akan sebuah usaha; beberapa bulan lalu.
Tapi, seperti rusaknya sebuah jalan; ketika jalan tersebut rusak kita mengeluh. Ketika sudah selesai dibenahi, kita tetap serampangan merusak.
Lupa. Lupa. Seringnya begitu. Lupa.
Menjadi oposisi seperti mereka sekarang tidaklah cukup tidur. Mereka akan berupaya segenap tenaga menjadikan tujuan mereka tercapai, sampai titik di mana mereka bisa menang, (dan sukur-sukur tenang). Segenap cara yang mereka mampu, karena dengan berdemokrasi, siapa pun boleh punya cara toh? Come on, de-mo-kra-si.
Kita gak bisa terlena akan sebuah kemenangan. Sadarlah kemenangan yang dipinjamkan sekarang harus dikawal kayak surat suara kemarin. Lengah sedikit, ini yang terjadi.
Jadi kalau dibilang demokrasi mati, mungkin karena kita gak memakai sepenuhnya.

"Hosanna! Hosanna!”

"Hosanna! Hosanna!”
(Selamatkanlah kami! Selamatkanlah kami!)
Pada suatu khotbah oleh Joas Adiprasetya, gw baru mengetahui arti kata “Hosanna” yang selama ini gw kira adalah pujian yang umum untuk Tuhan. Save us! Selamatkan kami!
Yesus -Nabi Isa-, datang ke Jerusalem dan disambut oleh rakyat yang merindukan keselamatan pada penderitaan yang berlangsung pada saat itu, di cerita Alkitab.
Dia pun sengaja meminta muridnya untuk mengambil seekor keledai sebagai kendaraan yang dia pakai untuk memasuki kota itu. Lambang sebuah kesederhanaan.
~
Jakarta 20 Oktober 2014.
Sebuah arak-arakan menyambut pemimpin baru. Dari perjuangan yang dirasa tidak mungkin. Rakyatnya rela berpanas-panas di jalan menyaksikan langsung orang yang mereka tampukan segala doa dan harapan.
Kalau mau menyamakan 2 kejadian di atas terserah.
Yang berbeda hanya kekiniannya.
Dalam cerita tersebut kita tidak begitu mengetahui seluk beluk penderitaan rakyat pada zaman itu.
Tapi sekarang, kita adalah pelaku dari segala yang terjadi. Secara langsung atau sekedar kena imbasnya (atau yang terus menolaknya).
Manusia internet yang sudah hidup berbicara dan mendengar, berbagi paham dan memahami. Manusia yang terus menerus menjadikan hidupnya lebih baik dari pikiran dan pelaksanaannya.
Kita bisa apa?

Gak Manusiawi

Tidak manusiawi bukan milik binatang saja.
Seringnya “gak manusiawi” itu didekatkan dengan konsep kebinatangan.
Manusia, dalam pertahanannya, mengambil perilaku makhluk hidup lain untuk dijadikan proyeksi perlakuan yang mereka anggap mirip namun tetap menempatkan manusia dalam jenjang yang lebih mulia.
Binatang. Yang tidak punya akal budi. Keji, bisa memakan siapa saja. Yang penting makan, karena lapar. Karena lapar, harus hidup. Begitu (mungkin) binatang hidup. Walau di sebagian manusia, mereka memelihara binatang.
Begitu mudah konsep tersebut menjadi pemikiran umum dan hanya menjadi ranah binatang saja.
Kemarin gw menyaksikan satu bentuk “tidak manusiawi” yang lain.
Yang melakukan tetap manusia, karena, bagaimana mungkin itu binatang 
Tersebutlah seorang pemimpin negara yang baru dilantik untuk membawa bangsa Indonesia ini dalam perjalanan perubahan 5 tahun ke depan.
Langkahnya sampai ke kedudukan ini tidaklah gampang. Sedemikian banyak yang mendukungnya, sedemikian banyak pula yang menentang. Bahwa dia bukan keunggulan yang dominan di saat itu, di saat sekarang.
Hantaman yang dihadapi, kemarin, sekarang dan besok bukan hal yang menggembirakan dari sekedar perayaan rakyat yang membahana kemarin.
Namun satu per satu dikerjakan dengan sederhana. Merangkul siapa pun yang akan menjadi bagian masa depan itu. Kawan dan lawan.
Dengan kawan, ini hal yang mudah. Lihat saja lini masa Facebook. Hahaha.
Namun dengan lawan, ini yang menggemaskan.
Bagaimana beliau mengunjungi pihak-pihak oposisi dengan acara yang lumrah; mengucapkan selamat ulang tahun, lobby yang tidak berpanjang-panjang (cukup untuk liputan media). Bahkan menyebut mereka sebagai sahabat baik.
Dan sebagai balas, pihak oposisi pun harus menerima tamu, berjabat tangan, tersenyum. Karena tidak ada yang salah dengan kedua respon tersebut. Tidak cela. Tidak mengundang kegunjingan yang berlarut. Tidak meng-entertain khalayak yang suka keributan.
(Setidaknya) buat gw, ini tidak manusiawi!
Manusia yang umum akan merasakan sakit ketika disakiti. Akan melindungi dirinya dengan upaya agar dirinya tidak tersakiti (lebih jauh). Self defence mechanism-nya akan melawan, membalas. Bahkan dengan akal budi yang tidak dipunyai binatang tadi, manusia akan merancang sebuah respon untuk itu. Apa pun caranya. "Punya otak kok gak dipake!”
Makdarit, manusiawi.
Sedemikian sering “gak manusiawi” itu didekatkan dengan kebinatangan membuat kita mengesampingkan kebaikan sebagai salah satu yang “gak manusiawi”. Karena, ternyata memang sulit menempatkannya di situ. Lebih gampang membicarakannya. Lebih seru mengagumi kebaikan (dan menyebarkan lagi di lini masa), tentu.
Segala bentuk kebaikan dalam kulit luar memang membuat nyaman.
Tapi ketika pemahaman kebaikan dipakai menjadi alat lain dalam sebuah tujuan, kenapa tidak?
Entahlah ini konsep baru atau orang itu hanya melakukan sesuatu yang sederhana. Yang gak kepikiran (sebenernya kalau dipikirkan bisa). Yang gak sophisticated (karena sederhana itu tidak trendy).
Yang jelas kita tuh ribet amat :))

Wednesday, July 23, 2014

Dikte, Diktat dan Diktator

Dari sejak SD, saya paling benci praktek "dikte"; sang pengajar membaca/berkata sesuatu, lalu murid mencatat dengan tekun gak boleh salah. Ada semacam keseragaman menyeluruh buat seluruh murid untuk sebuah catatan, standarisasi yang sama. Entahlah apa bahasanya, saat itu saya hanya kesal karena merasa tidak nyaman.
Lalu ada diktat. Buku yang jarang sekali berbentuk buku, melainkan fotokopian (kumal). Pada zaman perkuliahan, ini telak menjadi kaki tangan dosen pengajar untuk standarisasi nilai. Kalau-kalau argumen pengajar dan mahasiswa tak bertitik temu, kembalilah ke diktat. Tat!
Diktator.
Ah sudahlah. Bukan ini yang mau saya bahas :))
Jadi begini,
Berakhirnya masa kampanye yang berujung kepada sebuah hasil telah menimbulkan sebuah ajakan rekonsiliasi damai. Kira-kira begitu rumit kalimatnya.
Ayolah, damailah, 1 + 2 = 3. Bersatulah. Ayolah pliiiis...
Namun persuasinya sering tidak kenal sikon.
Wong lagi kesel, diajak temenan. Wong kalah, diajak gabung ama yang menang. Wong lagi happy, harus ngeladeni ngeyelan yang marah.
Mungkin banyak yang melalui masa seperti saya, didikte.
Sehingga sering masa pemahaman akan sebuah proses tidak terjadi.
Tidak pernah memahami duduk soal.
Tidak pernah yakin dengan pendapatnya.
Tidak pernah dikasih kesempatan untuk berpikir sendiri, karena, di lingkungannya, mungkin itu tidak lazim, tidak boleh. Bahkan, ya ampun, dilarang agama.
"Sudahlah lah, move on."
Move on juga kalo gak dikasih ruang endapan ya paksaan. Grunjelan di hati masih ada. Diskusi 2 arah tidak akan terjadi.
Besok kita masih bertemu musuh yang terpaksa menjadi teman.
Latihan pertama di hari baru ini: kenali laten dikte :))
Mari.

Wednesday, July 16, 2014

Negri Linglung (Karena Link-Link)

Berbahagialah bangsa ini karena semakin banyak yang melek internet.

Sekarang orang sudah piawai membaca berita yang menjadi minat mereka.

Gampang: tinggal klik link-nya, baca, beri komentar, diresapi kontennya, lalu terserah. Praktek tersebut bisa jadi terbulak-balik. "Sikat dulu baru mikir" atau "Mikir dulu baru komentar", itu memang pilihan.

Pilihan tersebut memang termotivasi tujuan awal. Kalau dari sononya mau menghibur batin dengan berita ringan ya akan menjadi ringan. Serius ya serius. Hasut ya...ya sudahlah ya.

Sekarang ini kan banyak sekali tuh berita atau informasi bersliweran di internet. Saya selalu tertarik melihat pentajukan dan sumbernya. Sudah pasti headline yang seru, memikat, provoking berhasil mengusik pikiran pembaca untuk lanjut membaca isinya. Pintar-pintar yang buatlah, gak mesti wartawan yang bisa bikin headline begitu (karena infotainment sudah cukup lama melatih kepekaan pemirsa untuk mendelik berita panas hehehe).

Lalu kemudian saya akan mencermati sumbernya. Apa bagaimana dari mana 'link' tersebut tersajikan.

Sebentar, saya akan menyoroti nama-nama baru atau miring dulu, baru nanti nama-nama besar/resmi. 

Nama-nama website, blog, ID twitter dll itu seringnya unik. Biasanya ini bikinan pribadi atau organisasi yang baru saja muncul. Lihat saja keberagaman wawasannya: ada yang keminggris, alay, ke-agama-agama-an, ke-partai-partai-an sampai yang susah dibaca dan diartikan sekalipun. Yang namanya anak kemarin ya pasti butuh eksistensi agar berterima di lingkungannya, atau di komunitas yang disasar. Bak layaknya iklan produk mereka harus memikat, fantastis, bombastis, extravaganza, apa-apalicious. Ya iya dong, kalo enggak siapa yang melirik?
Demikian akhirnya konten yang disajikan sering secara kasat mata sangat gampang dicerna pada permukaan saja. Tidak ada gambaran besar dari sebuah konsep. Mungkin hanya tahan selama 5 jam. Kira-kira begitu. Kalau pun ada yang bagus, artinya memang sudah mempunyai rencana dan kesinambungan yang baik. Keminggrisnya: well planned.

Lalu ada juga sumber berita resmi dan punya reputasi. Karena sudah punya pengalaman panjang dan teruji, seyogianya mereka akan kukuh memegang integritas sebuah pemberitaan. Ini yang sering didapati, dalam pemberitaan mereka, terkesan hambar. Tidak memihak. Tidak seru. Gak ada kontras seperti sinetron; pahlawan menyelamatkan yang didzolimi. Gak ada jotos-jotosan karena dituntut menjadi wasit yang jeli. Pembaca disuruh mikir sendiri. Bukan karena gak berani beropini, tapi pembaca disuruh mandiri.

Eh tapi kan ada tuh korporasi berita yang besar tapi memihak. Iya, ada.
Namun hanya segelintir orang yang bisa melakukan itu. Yang artinya hanya beberapa orang yang punya kemampuan finansial (atau kekuasaan) bisa menyetir sebuah perspektif opini.

Ingat, hanya beberapa orang. Ciri-cirinya biasanya mereka tajir melintir. Karena di negri ini gak banyak-banyak amat yang kaya, mending kita mikir lagi deh untuk mau mendengar, setuju, mengikuti atau ngefans dengan mereka. Biar gimana pun, setidaknya saya, kita adalah rakyat. Nah dia?

Tapi apakah link-link tersebut akan bertahan lama? Masih enak dibaca dan perlu?

Pemirsa yang menentukan. Kembali lagi ke paragraf sebelumnya, niatan orang untuk membaca itu yang menjadi kunci. Akan susah mengajak orang yang sama sekali tidak tertarik dengan intrik untuk membaca berita intrik. Logikanya begitu. Di sisi lain, kalau memang doyannya berita intrik ya hanya mau dengar intrik. Kenyataannya? Entar dulu. Intrik dulu. Yang penting itu.

Lalu kenapa ngasi judul tulisan seperti ini?

Aaah ngaku aja deeeeh... :))








Tuesday, July 15, 2014

#SaveRRI


Sunday, July 13, 2014

Mendik Dagdigdug...

Siapa Menteri Pendidikan kabinet berikutnya?

Ini tak kalah penting dari hasil 22 Juli 2014 nanti.

Penantian sangat panjang untuk sebuah hasil siapa yang menjadi pemimpin republik ini semakin menunjukkan kualitas pendidikan negri ini.

Akan bagaimana menyikapi sebuah masukan/inputan.
Bagaimana menyelidik kebenaran berita.
Bagaimana menyuarakan sebuah pendapat.
Bagaimana membedakan Kompasiana versus Kompas.
Bagaimana bersopan-santun, beretika dan bertepo-saliro dalam berbahasa.
Bagaimana berbagi dengan sesama (bukan menggurui).
Dan banyak lagi...

Memang ajaran dari rumah pun sangat punya andil dalam hal ini. Tapi kan gak ada kementerian rumah akhlak di Indonesia. Ada juga kementerian agama, yang...ya gitu deh.

Ada keterkejutan mental yang dialami bangsa ini sebulan terakhir. Masing-masing dihadapkan dengan 2 pilihan yang sangat kontras. Tidak ada pilihan ke 3 (karena golput sudah tidak masuk hitungan). Berlatar belakang sensasi dadakan, berpengetahuan seadanya (karena sebelum ini, masing-masing sibuk dengan urusan non bernegara, apa pun lah itu) semua lebur dalam pertikaian sebuah kemenangan.

Taunya cuma menang.

Apa dan bagaimana gimana nanti. Gimana temen/sodara/atasan ngomong aja, nanti contek, pakai sebagai alasan yang umum. Sukur-sukur untung. Sukur-sukur trendi. Kayak semua orang pergi ke mal.

Kalau ditanya kenapa pilih si anu, jawabannya bisa semirip orang cari di Google. Semua ada link-nya. Jadi-jadian atau tidak, ah kan itu 'resmi'. Liat deh namanya, V-O-A. Kira-kira begitu. Dan masih banyak nama plesetan lain. Suara dan Merdeka aja mirip/familiar kan? Hahahaha.

Tapi tidak banyak yang mendasari pilihannya dengan alasan yang, kalau tidak bisa dibilang rasional, setidaknya dia yakini sepenuhnya dan bisa dipertanggung-jawabkan.
Mungkin malas. Mungkin takut salah. Mungkin takut tidak berterima dengan lingkungan. Mungkin tidak terbiasa berdiskusi. Alhasil tidak ada pemahaman yang mendasar.

Lalu kenapa pendidikan?
Karena separuh dari waktu keseharian anak di Indonesia (yang beruntung) dihabiskan berlebur dengan sosialnya di sekolah. Ruangan yang semestinya melatih nalar, kemampuan bersosial, menerima ajaran dan membuka banyak wawasan.
Yang seharusnya menjadi menjadi pelatihan 'anak bangsa' yang ideal.

Lalu dia kembali ke rumah untuk mendapat kasih sayang orang tuanya. Kita, yang juga termasuk dari elemen itu. (Woi! Ngirim anak ke sekolah gak selesai di tugas guru lho. Plis deh.)

Karena di zaman saya bertumbuh tidak begitu. Akui saja.
Saya tidak pernah mengerti logika perkalian, saya hanya disuruh menghafal.

Saya tidak pernah kenal siapa menteri kabinet, apakah dia saudara saya atau tidak, tapi saya disuruh menghafal.

Saya diajarkan Bahasa Indonesia tanpa dibekali bagaimana melestarikannya. Lalu bahasa Indonesia menjadi kuno, bahasa prokem lebih cangcing karena 'dilarang'. Alhasil, untuk bisa mencapai standar internasional untuk berbahasa Inggris pun terseok-seok. Karena, pada zaman saya, berbahasa Inggris itu dimulai dari azas pretentious. Kasian memang.

Kemampuan berargumen pun minim. Paling terjadi pada pemilihan ketua OSIS atau senat mahasiswa. Apa yang terjadi di kelas-kelas pelajaran sering hanya satu arah. Superioritas pengajar (saya enggan menyebut guru) lebih sering benar tanpa penjelasan mumpuni (yang katanya gaji mereka minim).

Thus karena itu,
Perpecahan yang kita lihat sekarang memang beralasan. Tidak melulu karena lihainya timses capres-capres itu. Mereka juga akan terlihat bodoh kalau semua yang disiarkan ke publik tidak mendapat tanggapan positif atau negatif.
Yang mereka sangat lihai adalah mencari topik sumbu yang sangat berpotensi menjadi...perbincangan publik. Sebut saja: agama, pencitraan, komunis, bocor, blusukan, harapan dll.

Nah gimana kita menanggapinya perlu bekal pendidikan, tentu. Masa iya agama? :))

Karena itu penting sekali fundamental pendidikan kita waras.



Friday, July 11, 2014

Setelah 9 Juli 2014

"Kita sudah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Sebuah kutipan dari buku Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer. Kelak, kalimat ini dipakai banyak manusia di bumi Indonesia sebagai simbol perjuangan titik darah terakhir mereka akan sebuah usaha. Sebuah romantisme perjuangan.

Saya sendiri memang pernah memilih momen yang tepat untuk mengicaukan kalimat tersebut pada pemilihan gubernur DKI periode lalu di Twitter, sehari sebelum pemilihan. Waktu itu saya mendukung Jokowi. Lalu beliau menang. Amboi senangnya. 

Gimana tidak, ketika saya sedang berpengharapan, seakan mendapat jawaban langsung bahwa doa itu terkabul. Meski prosesnya tidak semimpi indah itu. Masih harus melalui intrik-intrik politik papan yahud sampai papan tulis. Menahan geram akan badai serangan yang logis dan tidak. Miriplah dengan kondisi beberapa waktu barusan sebelum 9 Juli 2014 ini.

Iya,sehari sebelum pemilihan presiden itu memang terpikir untuk kembali mengicaukan kalimat itu di sosial media. Sebagai simbol capek, mungkin. Soknya gitu. Hahaha.

Untung saja saya tidak jadi mengicaukannya.

Keadaan berkata lain. Hasil quick count runyam. Pun memang tidak resmi juga untuk mengandalkan hasil tersebut, tapi fenomena yang terjadi kembali meresahkan. Rauwis-uwis kalau kata hestek di sosial media. 

Gelombang persaingan menuju kemenangan kembali digelar. Medan perangnya pun berbeda. Tidak lagi fitnah yang kemarin. Tidak lagi dengan persuasi kreatif. Walau masih bisa lebih kreatif. Walau apa iya masih main fitnah? Hahahaha.

Sekiranya saya puas dengan meminjam kalimat Pram tadi sebagai tonggak perjuangan. Kali ini jelas salah. Kali besok pun ternyata masih salah. 
Nyai Dasima, dalam cerita itu, mengatakan kalimat itu dalam sebuah keputus-asaan yang tak tertolong. Atas sebuah 'ajal' yang dia tahu akan sampai, setelah semua yang dia telah upayakan.

Tapi tidak hari ini. Siape lo?

Menang atau kalah pun hasilnya nanti, PR kita tidak selesai di perayaannya. Menang, ya, terusin semua pembenahan yang memang harus dilakukan. Nyatakan semua yang menjadi harapan di masa kampanye. Walk the talk
Kalah? Ya terus perjuangkan sampai punya kesempatan lagi nantinya.

Enggak, gak ada yang bilang dua kondisi itu gampang.

Karena perjuangan ya emang #rauwisuwis.




Wednesday, July 09, 2014

Indonesia itu Kecil

Buat saya Indonesia itu kecil.

Setidaknya hanya 1753 orang yang terhitung 'berteman' di Facebook saya. Segelintir follower di Twitter dan ratusan orang di Path.  Kalau harus berbanding dengan ratusan juta populasi negri ini.

Belum lagi dalam kesehariannya, semakin sedikit jumlah orang yang berinteraksi di rumah, pekerjaan, dan orang-orang menyebalkan di jalanan (saya kan kelas menengah ngehek, wajar dong bilang orang di jalanan menyebalkan.)

Jadi nanti saya akan datang ke TPS untuk memilih presiden, itu atas sebuah harapan yang bisa membawa perubahan lebih baik terhadap jumlah orang di atas. Dan bagi saya tentunya.

Perubahan lebih baik yang saya maksud itu realistis. Sebut saja kesejahteraan; gaji, rupa-rupa cicilan, biaya sekolah, dan segala urusan uang. Kenyamanan publik; transportasi, keamanan, lingkungan.

Semua unsur di atas selalu berinteraksi dengan kita setiap hari tanpa disadari menjadi sebuah mesin kehidupan yang dibiarkan semrawut, tak terurai, dibiarkan korup dan ironisnya diterima menjadi standar hidup. Pernah ada reformasi, tapi delay lagi 10 tahun. Se-pu-luh-ta-hun.

Itu masih hal yang mendasar.

Saya gak bicara online shopping, SALE anu itu, antrian (parkir) di mal yang berkepanjangan, motor mobil nyerempet semaunya, orang mau beribadah digangguin, macet banjir nyalahin gubernur padahal antri gak mau malah buang sampah sembarangan.
Saya gak bicara siapa yang beragama radikal, penganut komunis, musisi njiplak, melanggar hak asasi, mangkir peradilan, bukan Islam, Non Muslim, etnis Tionghoa.

Bukan.
Karena hal-hal seperti itu gak primer-primer amat sebenernya. Cenderung menjadi lapisan masalah yang sering dipinjam oleh kita untuk menjadi satu masalah penting. Seolah-olah penting.

Penting gimana coba, kalau besok setelah pemilu kita masih kembali pada kebiasaan yang gak mau kita tinggalkan?
Masalah-masalah itu hanya akan seru kalau diperdebatkan dengan lawan, siapa pun yang mau melawan. Ada aja sih. Hahahaha.

Karena memilih bukan tentang masalah di tataran itu belaka. Pun terlalu cemen karena baru dikemukakan di masa kampanye doang. Selama ini ke mana saja? Oh, iya, sibuk. Baca paragraf ke 8.

Jadi, bisa ikut melakukan perubahan dalam skala kecil di sekitar kita itu sudah menjadi langkah awal yang baik, pun nyata. Karena kesinambungannya terjadi setiap hari. Hari-hari itu terus bergulir menjadi masa depan. Masa depan pun selalu menjadi tanggung jawab. Biar jangan ngomel terus kalo melihat kekurangan sana-sini, padahal kontribusinya nol. Walau saya sangat menghargai kalau diam saja.

Ini juga bukan pertanyaan harus milih siapa.

Coba cek lagi konteks kesejahteraan dan kenyamanan di atas.

Pikirin lagi.

TPS tutup jam 13.00.