Dia dan Rahasia (untuk) Sejuta Umat
Kesetiaan. Hanya itu yang aku punya.
Setiap pagi aku pergi berkerja kata-kata itu yang selalu terucap dalam doa. Doa agar tidak terganggu dari segala godaan. Yang selama berpuluh-puluh tahun telah kuemban.
Ritual sakral dengan fasih kulakukan. "Mengantar dokumen penting" hanya itu yang mereka tahu. Aku pun lantas pergi ke toilet. Berganti pakaian. Menyusup dari pintu belakang. Lantas menuju ke dalam mobil container itu. Di dalamnya aku memakai lagi topeng penutup wajah dan setelah itu meringkuk masuk ke dalam peti kemas yang sudah disediakan.
Tak lama kemudian supir pun datang dan membawa mobil itu ke tempat tujuan. Aku pun tak pernah tahu di mana. Tak ada yang pernah tahu. Supir yang mengantarkanku pun tidak tahu sebenarnya dia sedang membawaku di dalam peti kemas itu. "Mengantar supply barang" hanya itu yang dia tahu.
Kalau peti kemas sudah berguncang-guncang, artinya aku sudah sampai. Di sana, seperti biasa, aku pun menemui orang-orang yang bertopeng. Dari semua mereka yang bertopeng, salah satunya adalah Tuanku. Bisa kukenali dengan bahasa isyarat tubuhnya, dia suka menggaruk selangkangannya.
Mereka akan menggiringku ke dalam ruang kaca kedap suara itu. Ruangan itu seperti ruangan investigasi yang biasa terlihat di film-film polisi. Cermin satu arah, mereka dapat melihatku, namun aku tidak bisa melihat mereka.
Aku pun mulai bekerja. Meracik campuran bahan-bahan tersebut. Berpuluh-puluh tahun kulakukan ini. Tak boleh salah. Setiap sendok harus tepat. Setiap iris harus rapih. Tak ketinggalan, cara mengaduknya pun harus dengan jurus yang benar. Tak ada teknologi canggih pun yang bisa menyamai formula ini. Berkali-kali orang lain mencoba, tidak pernah berhasil. Paling hanya 60% dari aslinya.
Demikian formula itu pun selesai. Tugasku sudah selesai. Sekarang giliran tim pembagi yang akan menakar tiap-tiap kantung ajaib (begitu kami menyebutnya) itu. Untuk kemudian disebarluaskan.
30 menit yang melelahkan. Tetapi sangatlah penting. Menyangkut ribuan orang, jutaan bahkan. Pernah aku tergoda untuk sesekali melenceng dari skenario ini. Bahkan berpikiran untuk membocorkannya. Namun harga dari sebuah kesetiaan terlalu besar untuk dibandingkan dengan pikiran sesaat tadi.
Mereka pun memulangkanku. Kali ini tak lagi bertopeng. Tapi selalu bersama Tuanku. Aku akan diturunkan di suatu tempat umum. Dari situ aku akan mencari kendaraan umum untuk kemudian kembali ke kantor. Tidak lupa Tuanku memberi kantongan plastik bertuliskan "Toko Roti Djaya". Tampak seperti bungkusan roti yang lezat, tetapi dalamnya mudah ditebak, uang. Itulah gajiku sebenarnya, si peracik formula bumbu mie instan.
Setiap pagi aku pergi berkerja kata-kata itu yang selalu terucap dalam doa. Doa agar tidak terganggu dari segala godaan. Yang selama berpuluh-puluh tahun telah kuemban.
Ritual sakral dengan fasih kulakukan. "Mengantar dokumen penting" hanya itu yang mereka tahu. Aku pun lantas pergi ke toilet. Berganti pakaian. Menyusup dari pintu belakang. Lantas menuju ke dalam mobil container itu. Di dalamnya aku memakai lagi topeng penutup wajah dan setelah itu meringkuk masuk ke dalam peti kemas yang sudah disediakan.
Tak lama kemudian supir pun datang dan membawa mobil itu ke tempat tujuan. Aku pun tak pernah tahu di mana. Tak ada yang pernah tahu. Supir yang mengantarkanku pun tidak tahu sebenarnya dia sedang membawaku di dalam peti kemas itu. "Mengantar supply barang" hanya itu yang dia tahu.
Kalau peti kemas sudah berguncang-guncang, artinya aku sudah sampai. Di sana, seperti biasa, aku pun menemui orang-orang yang bertopeng. Dari semua mereka yang bertopeng, salah satunya adalah Tuanku. Bisa kukenali dengan bahasa isyarat tubuhnya, dia suka menggaruk selangkangannya.
Mereka akan menggiringku ke dalam ruang kaca kedap suara itu. Ruangan itu seperti ruangan investigasi yang biasa terlihat di film-film polisi. Cermin satu arah, mereka dapat melihatku, namun aku tidak bisa melihat mereka.
Aku pun mulai bekerja. Meracik campuran bahan-bahan tersebut. Berpuluh-puluh tahun kulakukan ini. Tak boleh salah. Setiap sendok harus tepat. Setiap iris harus rapih. Tak ketinggalan, cara mengaduknya pun harus dengan jurus yang benar. Tak ada teknologi canggih pun yang bisa menyamai formula ini. Berkali-kali orang lain mencoba, tidak pernah berhasil. Paling hanya 60% dari aslinya.
Demikian formula itu pun selesai. Tugasku sudah selesai. Sekarang giliran tim pembagi yang akan menakar tiap-tiap kantung ajaib (begitu kami menyebutnya) itu. Untuk kemudian disebarluaskan.
30 menit yang melelahkan. Tetapi sangatlah penting. Menyangkut ribuan orang, jutaan bahkan. Pernah aku tergoda untuk sesekali melenceng dari skenario ini. Bahkan berpikiran untuk membocorkannya. Namun harga dari sebuah kesetiaan terlalu besar untuk dibandingkan dengan pikiran sesaat tadi.
Mereka pun memulangkanku. Kali ini tak lagi bertopeng. Tapi selalu bersama Tuanku. Aku akan diturunkan di suatu tempat umum. Dari situ aku akan mencari kendaraan umum untuk kemudian kembali ke kantor. Tidak lupa Tuanku memberi kantongan plastik bertuliskan "Toko Roti Djaya". Tampak seperti bungkusan roti yang lezat, tetapi dalamnya mudah ditebak, uang. Itulah gajiku sebenarnya, si peracik formula bumbu mie instan.
[Terinspirasi dari tulisannya Sesek di blognya. Tengkyu Sek! hehehe..]
9 Comments:
ah... postingan formalitas. biar kagak ada yg teriak APDEEEEEEET !!!!!!
Cin, tulisan gini loe bilang formalitas?
Keren Dik.
Yog,
Bucin gitulhoooooooh... hahahahaha
thanks!
Yog, I knew him quiet well.
Believe me... ini mah tulisan formalitas. Selagi senggang nulis blog. Ngehek lu Dik!
Yog,
Bucin gitulhoooooooh...
Ooo sekarang gue ngerti maksud lo Cin. Artinya walau ini udah bagus, sebetulnya bisa lebih bagus lagi.
Tapi gue juga setuju ama Diki, Cin lo tu orangnya gituloooh.
... Diki, Sesek dan Yoga pun menggeleng-geleng kepala..
beraninya keroyokan weeeeeeeks
*geleng-geleng baca tulisan diki*
*geleng-geleng ke bucin*
GERAK TUBUH YANG SAMA KADANG MEMILIKI MAKNA YANG BERBEDA...
=)
Post a Comment
<< Home