Khayalan Tingkat Tinggi
"Aku bisa saja membunuhnya!" teriakku dalam hati.
Paling tidak dengan garpu makan. Atau pisau roti yang tertata di meja. Pura-pura menjatuhkan minuman yang kusaji, agar dia merunduk dan tergoroklah lehernya. Selesai! Manusia yang paling diburu dan dibenci orang itu pun bisa kuenyahkan seketika itu. 10 tahun penjara tak apalah. Mungkin juga orang-orang memaafkannya, karena toh manusia itu juga banyak yang mau membunuhnya. Atau menghukumnya. Atau apapun pilihan katanya, yang penting menderita.
Bertahun-tahun dibuatnya orang sengsara. Tertipu. Terperdaya dengan kedok-kedok rencana kemakmurannya. Memang dia makmur, kami tidak. Tidak sedikit yang sudah disingkirkan. Tidak sedikit juga yang menjadi buta. Atau yang bodoh. Atau yang tetap bodoh sekali pun. Kehancuran yang ditinggalkan pun tidak sedikit dibanding kerukan harta yang dia rampas dari masa keemasannya dulu. Dan banyak lagi. Tidak sedikit.
Walau pun demikian, dia masih santun dalam tutur katanya. Memesan makanan, bahkan menanyakan menu spesial hari ini, dan tak lupa memesan hidangan penutup. Tidak juga ramah seperti dugaanku. Kalau dia sudah tampil sangat bersahaja seperti sekarang, makan di restoranku yang juga sederhana ini, kenapa pula dia mesti arogan seperti dulu?! Namun ternyata aku salah. Air mukanya dingin saja.
Tapi mata itu. Mata itu tidak lagi mata yang mengelabui seperti dulu. Seperti yang kukenal. Seperti orang-orang takuti dan harus terkecut senyum. Mata itu padat sekali. Ruas-ruas retinanya seperti terlalu banyak untuk memancarkan ekspresi. Mungkin gambaran perjalanan hidupnya bisa terlihat di situ. Walau pun sudah kabut sekarang. Sejenak aku pun hampir tak bisa mengingat dosa apa yang membuatnya seperti sekarang ini. Terlalu banyak, aku pun malas menghitungnya.
Sekarang dia memanggilku. Akan membayar dia, pikirku.
Sekarang! Sekarang saatnya! Kau akan tentukan hidupnya. Kau bisa mengakhiri teka-teki ini. Pertanyaan, dendam, kesempatan orang untuk menjadi senang.. Sekaranglah!
Dengan limbung kuhampiri dia. Menanggapi panggilannya, menerima lembaran uang dan mengucapkan terimakasih. Kali ini balik dia yang menanggapi rasa penasaranku.
"Kau ingin mati?" tanyanya.
"Tidak" jawabku. Tentu saja kaget. Aku tidak siap dengan pertanyaannya.
"Kau ingin mati bersamaku?" dia bertanya lagi.
Sial! benar juga dia. Untuk apa aku mati bersamanya. Aku terpaku. Benar-benar membatu. Geram, marah, bingung perlahan-lahan menjadi bius yang membuat aku takut. Tak jelas takut akan apa.
Dia pun beranjak dari kursinya. Menganggukkan kepala dan berjalan keluar. Aku masih terpaku. Mulai lunglai. Pandanganku berkunang-kunang, terhuyung-huyung dan kemudian jatuh.
Sekitar satu jam kemudian aku terbangun oleh kapas alkohol yang disengatkan ke lubang hidungku. Pandanganku masih berkunang-kunang tak sepenuhnya sadar. Orang-orang di sekelilingku pun ramai. Satu-satu bertanya dan mencecar. Cukup untuk membuatku pingsan lagi. Dalam penjelasan singkat dari mereka aku pun diceritakan duduk perkaranya.
Dia ditemukan mati di depan pintu restoranku. Diagnosa mengatakan penyebab kematiannya adalah kolesterol berlebihan.
Aku? Apakah aku membunuhnya juga? Entahlah. Pemeriksaan masih akan berlanjut sampai dengan 1 bulan ini. Atau lebih. Entahlah..
Paling tidak dengan garpu makan. Atau pisau roti yang tertata di meja. Pura-pura menjatuhkan minuman yang kusaji, agar dia merunduk dan tergoroklah lehernya. Selesai! Manusia yang paling diburu dan dibenci orang itu pun bisa kuenyahkan seketika itu. 10 tahun penjara tak apalah. Mungkin juga orang-orang memaafkannya, karena toh manusia itu juga banyak yang mau membunuhnya. Atau menghukumnya. Atau apapun pilihan katanya, yang penting menderita.
Bertahun-tahun dibuatnya orang sengsara. Tertipu. Terperdaya dengan kedok-kedok rencana kemakmurannya. Memang dia makmur, kami tidak. Tidak sedikit yang sudah disingkirkan. Tidak sedikit juga yang menjadi buta. Atau yang bodoh. Atau yang tetap bodoh sekali pun. Kehancuran yang ditinggalkan pun tidak sedikit dibanding kerukan harta yang dia rampas dari masa keemasannya dulu. Dan banyak lagi. Tidak sedikit.
Walau pun demikian, dia masih santun dalam tutur katanya. Memesan makanan, bahkan menanyakan menu spesial hari ini, dan tak lupa memesan hidangan penutup. Tidak juga ramah seperti dugaanku. Kalau dia sudah tampil sangat bersahaja seperti sekarang, makan di restoranku yang juga sederhana ini, kenapa pula dia mesti arogan seperti dulu?! Namun ternyata aku salah. Air mukanya dingin saja.
Tapi mata itu. Mata itu tidak lagi mata yang mengelabui seperti dulu. Seperti yang kukenal. Seperti orang-orang takuti dan harus terkecut senyum. Mata itu padat sekali. Ruas-ruas retinanya seperti terlalu banyak untuk memancarkan ekspresi. Mungkin gambaran perjalanan hidupnya bisa terlihat di situ. Walau pun sudah kabut sekarang. Sejenak aku pun hampir tak bisa mengingat dosa apa yang membuatnya seperti sekarang ini. Terlalu banyak, aku pun malas menghitungnya.
Sekarang dia memanggilku. Akan membayar dia, pikirku.
Sekarang! Sekarang saatnya! Kau akan tentukan hidupnya. Kau bisa mengakhiri teka-teki ini. Pertanyaan, dendam, kesempatan orang untuk menjadi senang.. Sekaranglah!
Dengan limbung kuhampiri dia. Menanggapi panggilannya, menerima lembaran uang dan mengucapkan terimakasih. Kali ini balik dia yang menanggapi rasa penasaranku.
"Kau ingin mati?" tanyanya.
"Tidak" jawabku. Tentu saja kaget. Aku tidak siap dengan pertanyaannya.
"Kau ingin mati bersamaku?" dia bertanya lagi.
Sial! benar juga dia. Untuk apa aku mati bersamanya. Aku terpaku. Benar-benar membatu. Geram, marah, bingung perlahan-lahan menjadi bius yang membuat aku takut. Tak jelas takut akan apa.
Dia pun beranjak dari kursinya. Menganggukkan kepala dan berjalan keluar. Aku masih terpaku. Mulai lunglai. Pandanganku berkunang-kunang, terhuyung-huyung dan kemudian jatuh.
Sekitar satu jam kemudian aku terbangun oleh kapas alkohol yang disengatkan ke lubang hidungku. Pandanganku masih berkunang-kunang tak sepenuhnya sadar. Orang-orang di sekelilingku pun ramai. Satu-satu bertanya dan mencecar. Cukup untuk membuatku pingsan lagi. Dalam penjelasan singkat dari mereka aku pun diceritakan duduk perkaranya.
Dia ditemukan mati di depan pintu restoranku. Diagnosa mengatakan penyebab kematiannya adalah kolesterol berlebihan.
Aku? Apakah aku membunuhnya juga? Entahlah. Pemeriksaan masih akan berlanjut sampai dengan 1 bulan ini. Atau lebih. Entahlah..
7 Comments:
kuerrreeeeeeeen.... love this one.
duuuuhhh...kolesterol ya, kak?! takut ahhh!!!! akyu kan paling takut gendut...
ps: akyu paling suka tulisan ini :)
element of surprise.. luv it :)
Kereenn.. tops deh Diki! :)
Teman-teman..
Terima kasih atas apresiasinya. Gua sangat menghargainya. Rasanya ucapan terimakasih yang berlebihan saja belum cukup.
wow...
jadi inget barusan makan popcorn dengan extreme butter...oh noo!!
...keren keren...
*ngelus2 dada, geleng2 kepala, keren banget yah nih tulisan.
Post a Comment
<< Home