Monday, May 22, 2006

Ajep-Ajep-Ajep..*

Mungkin cuma generasi anak-anak gua yang tidak mengenal siapa figur Pak Harto. Presiden ke dua Indonesia yang memerintah selama 30 tahun lamanya. Dan selama 3 dekade masa kepemimpinannya, tentu saja, sudah banyak yang terjadi. Dari larangan PKI, potret-potret pembangunan (baca: traktor kuning tampak sedang membangun sesuatu di sebuah lahan, diiringi lagu keroncong, dapat dinikmati di acara penghabisan TVRI), kemenangan Golkar berturut-turut dalam Pemilu dan mestinya masih banyak lagi istilah/trend/fenomena yang pernah ada dalam kurun waktu segitu.

Dari semua potret-potret pembangunan yang terlihat, memang banyak hal-hal tidak terlihat yang menjadi permasalahan rakyatnya. Setelah turunnya beliau di tahun 1998, barulah satu per satu mulai mengorek kembali apa yang dulu dianggap tidak pantas.

Hingga sekarang, ketika beliau dikatakan krisis dan tidak layak untuk memenuhi panggilan pengadilan, orang-orang tampaknya semakin gemas dengan ketidakpastian ini. Semakin terlihat menghindar, semakin rasanya ingin membenarkan bahwa beliau memang bersalah dan harus dihukum.

Seminggu belakangan ini sering gua melamunkan issue Pak Harto ini. Apa iya dia sebersalah itu? Apa iya sudah separah itu hancurnya? Apa iya yang begituan gak bisa dimaafkan? Apa iya maaf itu tidak berlaku bagi dia?

Terus terang gua gak kenal Pak Harto. Gak pernah berjabat tangan atau berbincang. Tidak pernah secara langsung gua merasa dirugikan oleh beliau. Cuma pernah dengar cerita-ceritanya. Pun dirugikan, yang berbuat tuh so called kroni-kroninya.

Jadi menurut gua kasus Pak Harto ini gak gitu penting.
Lebih penting ngelanjutin apa yang dia udah wariskan ke kita. Mau itu yang beres kek, yang gak beres kek. Dibilang apes, so be it! Karena toh yang paling penting sekarang adalah begitu.

Ada saatnya memang kita mengidamkan keadilan, kebenaran yang tegak dan kehidupan yang pantas. Tapi bukan melulu itu saja yang selalu kita impikan dan hadapi.

Masih ada iPod. MacBook Pro. Dugem. Ngopi. MNG-Zara. Mobil ceper dengan spinning wheels yo! *sowatgituloh*. Rock N Roll. Infotainment. Playboy. RUU Porno aksi. Buruh. World Cup 2006.

Kita. Anak kita. Besok.

Masih banyak.

* Judul tersebut terinspirasi dari gaya tripping jaman dulu. Tentang ketidakpastian. Mau ini mau itu. "Be this, be that,.. triping..tidak. triping..tidak. Putri.. pudar. Putri..pudar" Hanya saja sekarang begitu modifikasi bunyinya.

4 Comments:

Blogger Bucin said...

Gw suka sama pendapatnya Amien Rais. Supremasi hukum tetap harus didahulukan. Jalankan peradilan sebagaimana mestinya. Jadi jelas apakah beliau bersalah/tidak. Kalau nantinya setelah itu beliau mendapat pengampunan, itu urusan nanti. Yang jelas, supremasi hukum harus dijunjung tinggi. Jadi kroco-kroco dan kroni-kroni yang dulu cuma numpang hidup sama beliau dan lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya, bisa ikut kegeret. Sebenernya ini kan yang lebih dahsyat eksesnya ketimbang sekedar peradilan Soeharto (menurut gw lho ya).

Monday, May 22, 2006 9:21:00 pm  
Anonymous Anonymous said...

Justru karena demi anak-anak, hukum harus ditegakkan. Gue sih gak rela ya anak-anak gue nanti hidup di alam yang gelap hukum kayak yang dialami emak babe-nya. Amit-amit. Buat gue, itu lebih penting dari pada sekadar RUU APP atau Liverpool juara Champions ke 6 kali tahun depan. Seperti kata suaminya Ayu Azhari... "When the children cry..." :P

Tuesday, May 23, 2006 11:31:00 am  
Anonymous Anonymous said...

Soeharto harus dihukum.. kenapa? biar jadi contoh untuk pemimpin masa depan jgn coba-coba kayak soeharto ato bahasa kerennya Supremasi Hukum.

Orang ngebunuh bisa aja di maafkan, tapi bukan berarti dia gak dipenjara kan?

Tuesday, May 23, 2006 7:25:00 pm  
Blogger Stevie Sulaiman said...

"Apa iya maaf itu tidak berlaku bagi dia?"

Emang kapan dia pernah minta maaf? Kompas Sabtu kemarin? Itu mah anaknya yang minta maaf atas nama dia. Reformasi udah ulang tahun ke-8, waktu masih sehat dia nggak pernah minta maaf.

Sedangkan sudah minta maaf pun bukan berarti nggak ganti rugi. Hitung aja nilai KKN selama 3o tahun lebih itu, not to mention genocide dan kerusakan budaya dan infrastruktur yang diakibatkan oleh ulahnya. Tidak pernah sekali pun ada niatan dari pihaknya untuk mengganti kerugian.

Selama pemerintah tak pernah serius menyelesaikan perkara hukum Suharto, percayalah sistem negara kita akan selalu sakit dan cacat.

Tuesday, May 23, 2006 7:55:00 pm  

Post a Comment

<< Home