Khayalan Tingkat Tinggi 2
Can I get you anything, mister?" tanya si waiter sok nginggris. "Ndak usah, makasih." jawabku sok njawa.
Sudah satu jam kuhabiskan waktu di sini. 1 porsi Pad Thai yang tak begitu enak, minuman soda dan 2 gelas kopi yang dahsyat nikmatnya. Menunggu dan menunggu.
Sekali lagi tombol refresh kutekan di layar monitor komputer. Header.. kerlap-kerlip promo yang jumpalitan kian ke mari.. berita utama.. menunggu lagi judul berita utama tadi.. masih belum juga ditampilkan.. dasar internet lelet!.. dan menunggu lagi.
Tak sabar kubuka WAP services dari pda phone. Meski ribetnya minta ampun, aku rela demi satu berita yang sangat ditunggu-tunggu itu. Log-in, menunggu.., dan mengetik alamat yang dicari. Skenario tadi pun berulang, Header.. kerlap-kerlip promo yang jumpalitan kian ke mari.. berita utama.. menunggu lagi judul berita utama tadi.. masih belum juga ditampilkan.. Begini ternyata rasanya disuruh untuk bersabar. Selalu dihadapkan dengan kenyataan yang itu-itu saja. Pola dan urutan yang itu-itu juga. Huh!
"Kopinya nambah lagi, bapak?" kali ini dia membumi. "Another one, yes. And get me the bill, please." lagakku bak orang New York. Dia bingung sejenak, lalu menjawab "Menejer di sini namanya Djoko, bapak." Oh well, ya sudahlah. "Minta bon!" seraya jariku membentuk gerakan kotak.
Sudah jam 4. Dua jam setelah instruksi mencari konfirmasi berita tadi. Belum juga ada titik terang. Sekelilingku seolah-olah tak perduli akan apa yang sedang terjadi. Sibuk dengan powerpoint masing-masing. Mungkin sidejob. Mungkin interview. Mungkin menunggu berita juga, seperti aku.
Ah mana mungkin! Berita ini tak boleh diketahui oleh banyak orang. Setidaknya tidak sekarang. Bisa-bisa segala plot yang sudah direncanakan gagal berantakan. Top Secret. Classified. Kaum elit. Jaringan khusus. 'Tau sama tau tapi Anda belum tentu tau apa yang saya tau dan saya akan kasi tau apa yang Anda perlu tau saja'. Konspirasi, hanya itu bentuk yang boleh diketahui. Pun oleh orang-orang yang boleh tau.
Kukeluarkan lembaran Soekarno-Hatta untuk membayar si bill tadi. Lagi-lagi dia kembali dengan wajah ragu dan sedikit takut. "Anu.. pak, duitnya.." katanya cengengesan. "Kenapa? ini duit 100 ribuan baru. Kamu tau kan?" hardikku mulai tidak sabar. "Ini uang 10 ribu, bukan 100ribu. Bon bapak Rp 87 ribu, pak". Oh. Sekali lagi aku harus salut kepada perancang uang ini. Bisa-bisanya membuat kemiripan yang sangat kasat mata. Entah apa tujuannya.
4.15.
Tidak mungkin lagi menunggu. Internet tadi masih menampilkan berita kasus Bupati. Hanya pengembangan berita saksi sebagai lanjutannya. That's it, aku telfon saja penghubungku. Dua jam waktuku sia-sia berperan sebagai laki-laki metroseksual duduk di pojokan coffee shop seolah sedang menunggu kencan diam-diam.
Open inbox, read message, options, call.
"Anda.. terhubung.. dengan.. no"
OK. Mungkin 10 menit lagi.
Si waiter tadi pun sudah kembali dengan kembalian si bill. Satu lembaran 10 ribu dan beberapa koin. Sudah tidak ada lagi permen sebagai kembalian. "Kip de ceng" kataku dalam hati. Segera kubereskan segala gadget-gadget mutakhirku untuk bergegas pergi.
Langkahku terhenti lagi oleh si waiter. Dia menyodorkan sebuat tisu kepadaku. "Dari bapak yang berdasi itu" seraya menunjuk ke arah seorang laki-laki di pojok seberang. Tampan. Rapih. Flamboyan. Lebih parlente dari penampilanku. Alarm biologisku pun langsung berdering siaga. Not again, please. Harus berapa kali aku menghadapi pandangan berarti itu. Plis de.
Dengan tenang kubuka lembar tisu tadi. Begini isinya:
"Diese sutra stabil. Tinta janda metong, bow. Aborsi ya, nek"
Oh well.
Sudah satu jam kuhabiskan waktu di sini. 1 porsi Pad Thai yang tak begitu enak, minuman soda dan 2 gelas kopi yang dahsyat nikmatnya. Menunggu dan menunggu.
Sekali lagi tombol refresh kutekan di layar monitor komputer. Header.. kerlap-kerlip promo yang jumpalitan kian ke mari.. berita utama.. menunggu lagi judul berita utama tadi.. masih belum juga ditampilkan.. dasar internet lelet!.. dan menunggu lagi.
Tak sabar kubuka WAP services dari pda phone. Meski ribetnya minta ampun, aku rela demi satu berita yang sangat ditunggu-tunggu itu. Log-in, menunggu.., dan mengetik alamat yang dicari. Skenario tadi pun berulang, Header.. kerlap-kerlip promo yang jumpalitan kian ke mari.. berita utama.. menunggu lagi judul berita utama tadi.. masih belum juga ditampilkan.. Begini ternyata rasanya disuruh untuk bersabar. Selalu dihadapkan dengan kenyataan yang itu-itu saja. Pola dan urutan yang itu-itu juga. Huh!
"Kopinya nambah lagi, bapak?" kali ini dia membumi. "Another one, yes. And get me the bill, please." lagakku bak orang New York. Dia bingung sejenak, lalu menjawab "Menejer di sini namanya Djoko, bapak." Oh well, ya sudahlah. "Minta bon!" seraya jariku membentuk gerakan kotak.
Sudah jam 4. Dua jam setelah instruksi mencari konfirmasi berita tadi. Belum juga ada titik terang. Sekelilingku seolah-olah tak perduli akan apa yang sedang terjadi. Sibuk dengan powerpoint masing-masing. Mungkin sidejob. Mungkin interview. Mungkin menunggu berita juga, seperti aku.
Ah mana mungkin! Berita ini tak boleh diketahui oleh banyak orang. Setidaknya tidak sekarang. Bisa-bisa segala plot yang sudah direncanakan gagal berantakan. Top Secret. Classified. Kaum elit. Jaringan khusus. 'Tau sama tau tapi Anda belum tentu tau apa yang saya tau dan saya akan kasi tau apa yang Anda perlu tau saja'. Konspirasi, hanya itu bentuk yang boleh diketahui. Pun oleh orang-orang yang boleh tau.
Kukeluarkan lembaran Soekarno-Hatta untuk membayar si bill tadi. Lagi-lagi dia kembali dengan wajah ragu dan sedikit takut. "Anu.. pak, duitnya.." katanya cengengesan. "Kenapa? ini duit 100 ribuan baru. Kamu tau kan?" hardikku mulai tidak sabar. "Ini uang 10 ribu, bukan 100ribu. Bon bapak Rp 87 ribu, pak". Oh. Sekali lagi aku harus salut kepada perancang uang ini. Bisa-bisanya membuat kemiripan yang sangat kasat mata. Entah apa tujuannya.
4.15.
Tidak mungkin lagi menunggu. Internet tadi masih menampilkan berita kasus Bupati. Hanya pengembangan berita saksi sebagai lanjutannya. That's it, aku telfon saja penghubungku. Dua jam waktuku sia-sia berperan sebagai laki-laki metroseksual duduk di pojokan coffee shop seolah sedang menunggu kencan diam-diam.
Open inbox, read message, options, call.
"Anda.. terhubung.. dengan.. no"
OK. Mungkin 10 menit lagi.
Si waiter tadi pun sudah kembali dengan kembalian si bill. Satu lembaran 10 ribu dan beberapa koin. Sudah tidak ada lagi permen sebagai kembalian. "Kip de ceng" kataku dalam hati. Segera kubereskan segala gadget-gadget mutakhirku untuk bergegas pergi.
Langkahku terhenti lagi oleh si waiter. Dia menyodorkan sebuat tisu kepadaku. "Dari bapak yang berdasi itu" seraya menunjuk ke arah seorang laki-laki di pojok seberang. Tampan. Rapih. Flamboyan. Lebih parlente dari penampilanku. Alarm biologisku pun langsung berdering siaga. Not again, please. Harus berapa kali aku menghadapi pandangan berarti itu. Plis de.
Dengan tenang kubuka lembar tisu tadi. Begini isinya:
"Diese sutra stabil. Tinta janda metong, bow. Aborsi ya, nek"
Oh well.
4 Comments:
same wts, different hts
u really show such a craftmanship here
luv it
(kalo diakhirannya dikasih government warning: "inspired by bla bla bla... bla bla bla..." jadi gak seru ya) :p
pujanggaaaaaaaaaaa...
"Diese sutra stabil. Tinta janda metong, bow. Aborsi ya, nek"
translation pleasseeeeee.....
"Dia sudah stabil. Tidak jadi mati, jek. Batal ya, cing"
(kalau perlu dilafalkan dengan aksen abang2 preman pengkolan *nada berat, kasar, asal*)
Cia,
Kok kamu belum update yang beginian siy? Maca siy?
Post a Comment
<< Home