Tuesday, May 02, 2006

Mati Gaya

Belakangan ini sangat susah buat gua untuk mencari bahan tulisan di blog kesayangan ini. Menjadi susah karena gua pernah berjanji kepada diri sendiri untuk menulis paling tidak 1 tulisan setiap minggunya sejak blog ini ada.

Sirik juga sama Alia yang bisa dengan sangat produktif menulis setiap ada kesempatan atau inspirasi apa saja yang kebetulan nyamber ke kepala dia. Walau gua agak berteori sedikit bahwa tipis bedanya produktif dengan bawel dalam hal ini. Hi hi hi hi. Becanda Al!

Padahal ada kasus buruh, yang dari seminggu yang lalu ramai dibicarakan. Kasus kekerasan di Tuban. Pramoedya meninggal. Inul ‘diusir’ FBR. Arsenal ke final Champions!! Sepatu baru dari Taman Puring. Pitching-pitching berkepanjangan dan masih banyak juga hal-hal happening yang mestinya bisa memberi inspirasi buat gua untuk dituliskan menjadi suatu bahan pembahasan (yang diharapkan.. menarik untuk dibawa pulang).

Tak satu pun mengusik pikiran gua.
Sepertinya hal-hal tersebut di atas lewat begitu saja bagai sebuah rutinitas yang tidak ada dinamikanya.

Kekerasan sudah lumrah. Terlalu lumrah hingga bisa diabaikan hampir di setiap siaran jam 12 siang.
Demo, kok ya udah biasa. Paling-paling macet dan apa yang didemokan biasanya tidak terdengar lagi seminggu kemudian.
Orang sudah pasti mati. Apalagi memang sudah tua.
Arsenal ke babak final toh masih menunggu harinya untuk benar-benar jadi juara. Jadi jangan takabur. Pun juara, jangan takabur!
Inul?.. Inul apa Rhoma nih? Yang mana nih? Yang jelas dong..
Kalau pitching mah jangan ditanya. Konsekwensi mutlak menjadi buruh. He he.

Tapi lantas terpikir oleh gua, kenapa nggak nulis aja tentang ke-mati-gaya-an ini. Iya toh? Ini toh sebuah issue. Mentokness adalah suatu hal yang perlu dipahami. Bukan malah dihiraukan lantas menjadi kebiasaan. Apalagi nyerah. Lebih jelek lagi, menyerah dan mencari kambing hitam. Dan kita pun berputar-putar di situ saja.

Teringat sebuah cerita tentang perumpamaan batu.
Seorang anak diperintahkan bapaknya untuk menggeser sebuah batu karang yang sangat besar sekali. Setiap hari tugas itu harus dijalankannya. Si anak walau jenuh dan putus asa tetap mencoba menggeser karang tersebut. Setiap harinya.
Hingga pada bulan ketiga di hari itu si anak lantas memberanikan diri untuk protes pada bapaknya. Sang bapak lantas tersenyum dan menjawab, “Memang mustahil karang itu bisa kau geser dengan tubuh kecilmu. Tapi lihat, kini badanmu tegap dan sehat. Tak pernah sakit karena disiplin yang kau terapkan sendiri pada tubuhmu.”

Gua? Tegap? Ya enggak juga.

Tapi kalau kita bisa berhenti sejenak dan berpikir. Tanpa beban tenggat waktu. Tanpa beban janji. Tanpa lawan. Tanpa kawan. Hanya kita dan ruang waktu itu.

Mestinya kita waras-waras saja!

"The only thing these agents often fear is.. that stillness."
(dari film "Munich")

5 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Walau gua agak berteori sedikit bahwa tipis bedanya produktif dengan bawel dalam hal ini. <<<< !!?!?!?!?!??!?!?!?!!

Huhuhuhu Bawel-bawel gini, banyak yang ngangenin weeeksssss...

Tapi kalau kita bisa berhenti sejenak dan berpikir. Tanpa beban tenggat waktu. Tanpa beban janji. Tanpa lawan. Tanpa kawan. Hanya kita dan ruang waktu itu. >>> Yups. Kadang-kadang enak juga menikmati saat waktu berhenti. :)

Tuesday, May 02, 2006 11:00:00 am  
Blogger dikisatya said...

Makanya kita ada di sini Al..
di pelipir zaman.

hihihi

Tuesday, May 02, 2006 11:11:00 am  
Anonymous Anonymous said...

huehuehe...jadi bawel dan produktif itu ibarat benci dan cinta ya...sama2 beda tipis aja.. :)

Wednesday, May 03, 2006 6:01:00 pm  
Blogger dikisatya said...

Fisto: jangan salah, bego ama pinter juga beda tipis.. keliatannya.. Hahahaha..
Sering2 mampir, Fis!

Kenny: Jadi keinget era Mama Anna. Oh.. ke mana zaman keemasan itu..

Friday, May 05, 2006 3:33:00 pm  
Blogger loucee said...

mentok, dik?
sama dong... gue lagi berasa 'maju kena-mundur kena' nih. bentar lagi bisa bikin warkop. *apa seeehhh?* :D

Monday, May 15, 2006 6:04:00 am  

Post a Comment

<< Home