Rahasia si Udin
Apa reaksi pertama kita ketika pertama kali mendengar sebuah rahasia?
Membeberkannya lagi ke orang yang belum mengetahuinya dengan prolog “Eh tapi lu jangan bilang-bilang ya..”?. Atau tersenyum-senyum sendiri sambil membayangkan hal-hal yang bersifat layaknya infotainment-infotainment sekarang? Atau juga berlari terbirit-birit tanpa busana sambil meneriakkan “Eureka!..Eureka!!” seperti Archimedes dulu?
3 opsi ekspresi tadi belum sempat terjadi dengan gua. Paling nggak masih menjadi opsi.
Beberapa waktu lalu gua mendapat jawaban dari sebuah rahasia. Sebenarnya sudah lama gua amati tingkah polahnya dan baru kemarin saja semuanya merunut menjadi satu jawaban yang konkrit. At least konkrit buat gua.
Udin adalah sebuah sosok yang selama ini menjadi sebuah figur dambaan orang-orang di sekitarnya. Seperti malaikat penolong. Seperti sahabat yang setia. Seperti hal-hal baik yang terlalu sulit untuk diterima menjadi kenyataan. Semua kriteria tersebut sebenarnya masih berfungsi apa adanya. Hanya saja dibalik semua itu Udin hanyalah manusia biasa. Itulah yang menjadi rahasia besarnya selama ini. Dan tentunya, tidak banyak yang tahu. Atau tidak banyak yang mau tahu.
Pakaian yang dikenakan cukup memperkenalkan dirinya sebagai orang yang biasa saja. Tidak seperti kampiun lainnya yang berseragam feodalisme sebuah achievement. Kendaraan yang dia punya juga tak pantas dikatakan kendaraan orang sukses. Tutur katanya pun selalu berirama bahkan jenaka. Sesekali sombong tak apalah. Orang-orang pasti memaklumi. Karena Udin memang pantas bertutur seperti itu. Paling tidak mungkin begitu cara orang memakluminya.
Di kesempatan lain Udin juga tampak selalu sibuk dengan orang-orang di dekatnya. Memperhatikan bahkan mengingat semua nama-nama orang. Itu adalah salah satu kualitas baik seorang idola. Sehingga kemana pun dia pergi nanti. Dia takkan susah meminta tolong sekedar meminjam seribu rupiah untuk bayar parkir, misalnya. Dan dengan sedikit kemujuran, mungkin orang akan memberi lebih dari yang dia minta. Gitu dong, Diiiin.
Dalam menderma Udin juga tidak segan-segan memberikan hatinya. Memang cuma hatinya saja yang dia punya. Kalau mengandalkan materi, Udin lebih suka membeli perangkat komputer yang canggih agar bisa mendapatkan informasi-informasi yang berguna untuk nantinya diderma melalui hatinya.
Sampai suatu saat Udin terlihat murung. Ada yang tak beres. Jelas terlihat dari caranya bertutur. Dia mulai sombong. Padahal dia tak ingin terlihat sombong. Tidak langsung menyakiti tapi perlahan orang-orang di sekelilingnya mulai terganggu. Dicobanya untuk bersembunyi sementara waktu. Agar yang lain tidak terusik dengan kegelisahannya. Cukup lama dia bungkam. Lucunya, tak ada yang memperhatikan keabsenan dirinya. Sepertinya dunia bisa berotasi sendiri tanpa dirinya.
Dalam suatu kesempatan yang langka, akhirnya ada juga yang mencari si Udin. Pertanyaan-pertanyaan standar pun dilontarkan
“Kmana aja sih lu?”.
Karena masih belum pulih dari ngambeknya Udin pun sekenanya menjawab,
“Ngga ada yang mau datang ke rumah gue.”
“Rumah lu? Kan kita bisa ketemuan di luaran, ngopi kek, dungeb kek, ngga mesti ke rumah lu.”
“Iya gue tau. Tapi kalo kita habis senang-senang di luaran. Toh gue akan pulang juga. Nah di rumah gue kesepian!”
Ternyata itu jawabannya. Dia kesepian. Jadi mungkin selama ini dia menikmati lingkungannya karena dia tak ingin kesepian. Sesampainya di rumah dia hanya akan dihantui perasaan sepi itu lagi. Manusia juga si Udin ini. Bukan malaikat itu.
“Ya elaaah.. ngobrol dong kalo lu butuh temen.. Gitu aja susah amat.”
“Gengsi.”
Ya ampun Diiiiiiiiin.
Membeberkannya lagi ke orang yang belum mengetahuinya dengan prolog “Eh tapi lu jangan bilang-bilang ya..”?. Atau tersenyum-senyum sendiri sambil membayangkan hal-hal yang bersifat layaknya infotainment-infotainment sekarang? Atau juga berlari terbirit-birit tanpa busana sambil meneriakkan “Eureka!..Eureka!!” seperti Archimedes dulu?
3 opsi ekspresi tadi belum sempat terjadi dengan gua. Paling nggak masih menjadi opsi.
Beberapa waktu lalu gua mendapat jawaban dari sebuah rahasia. Sebenarnya sudah lama gua amati tingkah polahnya dan baru kemarin saja semuanya merunut menjadi satu jawaban yang konkrit. At least konkrit buat gua.
Udin adalah sebuah sosok yang selama ini menjadi sebuah figur dambaan orang-orang di sekitarnya. Seperti malaikat penolong. Seperti sahabat yang setia. Seperti hal-hal baik yang terlalu sulit untuk diterima menjadi kenyataan. Semua kriteria tersebut sebenarnya masih berfungsi apa adanya. Hanya saja dibalik semua itu Udin hanyalah manusia biasa. Itulah yang menjadi rahasia besarnya selama ini. Dan tentunya, tidak banyak yang tahu. Atau tidak banyak yang mau tahu.
Pakaian yang dikenakan cukup memperkenalkan dirinya sebagai orang yang biasa saja. Tidak seperti kampiun lainnya yang berseragam feodalisme sebuah achievement. Kendaraan yang dia punya juga tak pantas dikatakan kendaraan orang sukses. Tutur katanya pun selalu berirama bahkan jenaka. Sesekali sombong tak apalah. Orang-orang pasti memaklumi. Karena Udin memang pantas bertutur seperti itu. Paling tidak mungkin begitu cara orang memakluminya.
Di kesempatan lain Udin juga tampak selalu sibuk dengan orang-orang di dekatnya. Memperhatikan bahkan mengingat semua nama-nama orang. Itu adalah salah satu kualitas baik seorang idola. Sehingga kemana pun dia pergi nanti. Dia takkan susah meminta tolong sekedar meminjam seribu rupiah untuk bayar parkir, misalnya. Dan dengan sedikit kemujuran, mungkin orang akan memberi lebih dari yang dia minta. Gitu dong, Diiiin.
Dalam menderma Udin juga tidak segan-segan memberikan hatinya. Memang cuma hatinya saja yang dia punya. Kalau mengandalkan materi, Udin lebih suka membeli perangkat komputer yang canggih agar bisa mendapatkan informasi-informasi yang berguna untuk nantinya diderma melalui hatinya.
Sampai suatu saat Udin terlihat murung. Ada yang tak beres. Jelas terlihat dari caranya bertutur. Dia mulai sombong. Padahal dia tak ingin terlihat sombong. Tidak langsung menyakiti tapi perlahan orang-orang di sekelilingnya mulai terganggu. Dicobanya untuk bersembunyi sementara waktu. Agar yang lain tidak terusik dengan kegelisahannya. Cukup lama dia bungkam. Lucunya, tak ada yang memperhatikan keabsenan dirinya. Sepertinya dunia bisa berotasi sendiri tanpa dirinya.
Dalam suatu kesempatan yang langka, akhirnya ada juga yang mencari si Udin. Pertanyaan-pertanyaan standar pun dilontarkan
“Kmana aja sih lu?”.
Karena masih belum pulih dari ngambeknya Udin pun sekenanya menjawab,
“Ngga ada yang mau datang ke rumah gue.”
“Rumah lu? Kan kita bisa ketemuan di luaran, ngopi kek, dungeb kek, ngga mesti ke rumah lu.”
“Iya gue tau. Tapi kalo kita habis senang-senang di luaran. Toh gue akan pulang juga. Nah di rumah gue kesepian!”
Ternyata itu jawabannya. Dia kesepian. Jadi mungkin selama ini dia menikmati lingkungannya karena dia tak ingin kesepian. Sesampainya di rumah dia hanya akan dihantui perasaan sepi itu lagi. Manusia juga si Udin ini. Bukan malaikat itu.
“Ya elaaah.. ngobrol dong kalo lu butuh temen.. Gitu aja susah amat.”
“Gengsi.”
Ya ampun Diiiiiiiiin.
1 Comments:
Kok Udin lu sama ama Udin gue ya, tapi Udin gue nama aslinya Dini.
Post a Comment
<< Home