Satu dari Seribu Maaf
Di salah satu khotbah kebaktian Minggu yang tak diduga (baca: Gua selalu menyediakan 'ruang kejut' dalam diri tiap kali mendengar khotbah. Selalu ada yang refreshing tentang khotbah Minggu; entah itu inspiring, membosankan atau malah bikin hati bertentangan.) terkejutlah gua akan sebuah bahasan yang pendeta sampaikan kepada jemaatnya.
Begini dia berkisah:
"Sering sekali di akhir setiap doa, selalu kita meminta ampun dan memohon agar dosa-dosa kita dihapuskan dan kemudian ditutup dengan 'Amin' sebagai wujud kesungguhan doa tersebut. Tapi pernahkah terpikir oleh kita kalau-kalau Tuhan saat itu juga balik bertanya kepada kita 'Dosamu yang mana, anakKu?'..."
Akal manusia gua saat itu juga mengalami ironi yang mirip seperti es campur!
Ada perasaan geli membayangkan skenario tersebut. Bak Tarzan memergoki Alm. Mas Basuki -yang biasanya berperan sebagai pembantu- yang sedang mengeluh segala sesuatunya tentang majikannya. Tonton saja setiap episode Srimulat, pasti ada adegan yang mirip dengan itu. Atau skenario lainnya yang manusia sudah sering mencoba menempatkan keberadaan Tuhan sebagai sesuatu yang 'lebih ringan' untuk dicerna. Memanusiakan Tuhan, mungkin begitu.
Di satu sisi lagi ada sebuah sentilan tersendiri terhadap pola berdoa (paling tidak gua) yang sudah seperti rumusan pelajaran "Sebutkan Nama-Nama Menteri" atau Budi, Ibu Budi dan Bapak Budi. Membuka doa, inti doa, penutup. Selalu berpola seperti itu. Sampai sering kita tidak mengerti kesungguhan doa tersebut karena terlalu wajib dilakukan.
Tapi yang paling membuat gua tertegun adalah pertanyaan balasan tadi.
Dosa? Dosa gua yang mana?? Manusia tentu saja banyak dosanya. Tapi yang mana? Bisa disebutkan satu per satu? God is in details, so true. Apakah kita harus selalu membuat daftar dosa sehari-hari agar tidak lupa? Melupakan dosa juga tidak menghapus dosa bukan? Udah gitu, manusia kan sering juga tuh mengingat-ingat dosa orang lain :)
Runyam ya?
Wasaunyam!
Dari situ gua mendapati kebesaran dari makna khotbah tadi. Bahwa masih ada maaf. Maaf diciptakan bukan sekedar kalau kita sedang ingin memotong pembicaraan atau kata pembuka ketika ingin bertanya. Namun fungsi maaf ketika kita memang sungguh-sungguh meyakininya. Baik dalam imbuhan 'di' maupun 'me'. Dua-duanya harus dengan kesungguhan. Yang mana memang sering kita dapati itu sulit. Gua suka penasaran kalau ada orang yang mendapat gelar 'pemaaf'. Pasti sulit sekali hidupnya. Hehehe...
Jadi apa/siapa yang harus kita maafkan: dia, doi, bapak, ibu, saudara, keadaan, musuh, Pak Harto, sistem, atau malah diri sendiri??
Tapi... apanya?
:)
Begini dia berkisah:
"Sering sekali di akhir setiap doa, selalu kita meminta ampun dan memohon agar dosa-dosa kita dihapuskan dan kemudian ditutup dengan 'Amin' sebagai wujud kesungguhan doa tersebut. Tapi pernahkah terpikir oleh kita kalau-kalau Tuhan saat itu juga balik bertanya kepada kita 'Dosamu yang mana, anakKu?'..."
Akal manusia gua saat itu juga mengalami ironi yang mirip seperti es campur!
Ada perasaan geli membayangkan skenario tersebut. Bak Tarzan memergoki Alm. Mas Basuki -yang biasanya berperan sebagai pembantu- yang sedang mengeluh segala sesuatunya tentang majikannya. Tonton saja setiap episode Srimulat, pasti ada adegan yang mirip dengan itu. Atau skenario lainnya yang manusia sudah sering mencoba menempatkan keberadaan Tuhan sebagai sesuatu yang 'lebih ringan' untuk dicerna. Memanusiakan Tuhan, mungkin begitu.
Di satu sisi lagi ada sebuah sentilan tersendiri terhadap pola berdoa (paling tidak gua) yang sudah seperti rumusan pelajaran "Sebutkan Nama-Nama Menteri" atau Budi, Ibu Budi dan Bapak Budi. Membuka doa, inti doa, penutup. Selalu berpola seperti itu. Sampai sering kita tidak mengerti kesungguhan doa tersebut karena terlalu wajib dilakukan.
Tapi yang paling membuat gua tertegun adalah pertanyaan balasan tadi.
Dosa? Dosa gua yang mana?? Manusia tentu saja banyak dosanya. Tapi yang mana? Bisa disebutkan satu per satu? God is in details, so true. Apakah kita harus selalu membuat daftar dosa sehari-hari agar tidak lupa? Melupakan dosa juga tidak menghapus dosa bukan? Udah gitu, manusia kan sering juga tuh mengingat-ingat dosa orang lain :)
Runyam ya?
Wasaunyam!
Dari situ gua mendapati kebesaran dari makna khotbah tadi. Bahwa masih ada maaf. Maaf diciptakan bukan sekedar kalau kita sedang ingin memotong pembicaraan atau kata pembuka ketika ingin bertanya. Namun fungsi maaf ketika kita memang sungguh-sungguh meyakininya. Baik dalam imbuhan 'di' maupun 'me'. Dua-duanya harus dengan kesungguhan. Yang mana memang sering kita dapati itu sulit. Gua suka penasaran kalau ada orang yang mendapat gelar 'pemaaf'. Pasti sulit sekali hidupnya. Hehehe...
Jadi apa/siapa yang harus kita maafkan: dia, doi, bapak, ibu, saudara, keadaan, musuh, Pak Harto, sistem, atau malah diri sendiri??
Tapi... apanya?
:)
"Waaaaaapa apa apanya dong
Aaapanya dong
Apanya dong
Dang-ding-dong...
Waaaaaapa apa apanya dong
Aaapanya dong
Dang-ding-dong
Dyaaaaaang-ding-dooooooooong...."
Makasih Teh Euis...
Aaapanya dong
Apanya dong
Dang-ding-dong...
Waaaaaapa apa apanya dong
Aaapanya dong
Dang-ding-dong
Dyaaaaaang-ding-dooooooooong...."
Makasih Teh Euis...
Labels: maaf
2 Comments:
kita meminta maaf atas segala dosa-dosa yang kita lupa meminta maaf atasnya.
kalau masih lupa detilnya? gpp. toh Tuhan itu maha pengingat.
topik sejenis bisa dibaca di http://bucin.blogspot.com/2008/01/indonesia-bangsa-pemaaf.html
(copy paste aja address di atas)
kok saya jadi ingat prinsip pergudangan ya diki... FIFO... first in first out...
kalo discroll down aja...boleh gak? heuheuheu kaya urutan lagu karaoke di nav. pas pada gak liat, lagumu bawa naek ke atas!
srimulat, ada ada aja memang srimulat...
Post a Comment
<< Home