Tuesday, August 09, 2005

Remaja oh Remaja

“Aha! Sebuah sayembara menulis! Aku akan mencobanya.” Seraya mengacungkan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf “V”. Gaya yang biasa kita lihat pada kontestan-kontestan di acara TV Takeshi Castle. Maklum, si Diki lagi getol-getolnya nulis. Ibarat ABG yang sedang ranum dan labil segala sesuatu yang berbau literatur bagaikan hal tabu yang menyihir hasratnya pada saat itu.

Diki pun meng’klik’ link pengumuman sayembara yang ada di bulletin board Frenster itu. Tajuk yang disayembarakan adalah membuat novel tentang remaja. Sesaat Diki terhenyak. “Eits! Usia tidak menghalangi sebuah kreatifitasan bukan?” hardiknya dalam hati. Memang untuk topik itu, bisa dibilang Diki sudah tidak remaja lagi. “lagian gua juga pernah remaja!” imbuhnya lagi. Ngotot.

Seperti biasa jabaran persyaratannya cukup banyak. Harus begini, harus begitu. Dikirim paling lambat tanggal sekian, diumuminnya berbulan-bulan kemudian.

Sampai ke satu poin yang bikin Diki tertegun. Ada suatu persyaratan yang berbunyi begini:
* Tema kehidupan remaja, isi tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD'45,
serta tidak menimbulkan masalah
pertentangan SARA.

Pelan-pelan Diki mencerna kalimat tersebut.
Tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD’45.
Yang mana aja ya? Dia kembali mengingat-ingat 5 butir Pancasila itu. Secara acak dia bisa ingat lagi walau tidak fasih. Dalam cakupan lebar kalimat-kalimat di Pancasila tersebut, dia pun mereka-reka hal-hal apa saja yang tidak menyinggung burung gagah itu.

Kalau undang-undang?? Wah undang-undang kan banyak sekali. Sejauh yang dia bisa ingat, isinya banyak berupa larangan-larangan dan ganjarannya. Kalau tidak hukuman penjara, ya denda uang. Gitu-gitu deh. Tapi lagi-lagi Diki tidak tahu kejelasan atau pun batasan-batasannya.

SARA? Si cowok Jawa ndak boleh naksir ama si cewek mBatak, gitu? Atau mungkin dilarang membahas agama ini dengan agama itu. Dalam kehidupan romantika remaja, apa iya orang sudah mempermasalahkan agama, suku dan uang?.

Mungkin yang boleh diceritain hanya sebatas nongkrong di mall. Cuwawa’an sana sini. Hepi-hepi. Pentas seni. First kiss.
Ngga deh boleh tuh ngebahas hamil di luar nikah. First drunk di pentas seni. Nilep uang ortu buat nongkrong di mall. Atau konflik-konflik lain yang bisa menyinggung negara ini. Bukan remaja itu.

Huh! Mau cerita remaja aja susah amat.
Diki pun urung ikut. Imajinasinya terkurung.

5 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Nulis2 aja kaleee...Pikirin amat sesuai ama peraturan apa nggak. Kalo panitia gak terima, msh byk org yg bakal nerima kan? Semangat indie, jek!

Tuesday, August 09, 2005 1:22:00 pm  
Blogger Bucin said...

seorang diki merasa terkungkung oleh peraturan yang membatasi kreativitas? it's not so you deh dik.

Tuesday, August 09, 2005 4:12:00 pm  
Blogger dikisatya said...

The P of this blog,
Hidup Indie!!

Samken,
iya nih, kalo ngga kejokul ceritanya, mending memble aje.. gitu gak sich?

Bucin,
seorang Bucin hanya melihat seorang Diki segitu saja?

Tuesday, August 09, 2005 5:51:00 pm  
Blogger ewink said...

Wah jangan lihat batasannya dong Oom Diki. Yang penting berkarya dulu, gak bisa ikut lomba. Gak bisa diterbitin orang lain. Bisa terbitin secara indie. Hidup Karya!

Friday, August 19, 2005 1:17:00 am  
Blogger dikisatya said...

Hehehe..
Wink dan teman-teman lainnya,
Hanya gara-gara tokohnya "DIKI" lantas asumsinya "DIKI" itu adalah gua.

Sebenarnya topik yang mau gua angkat di sini adalah ke'klasik'an syarat lomba2 yang udah dari kapan tau tetap seperti itu. Mau kata zaman udah reformasi teteeeeup aja kayak gitu.

Oh Ponjul... eh.. Diki.

Hehehehe

Friday, August 19, 2005 7:18:00 pm  

Post a Comment

<< Home