Yesterday Once More
Hari Minggu sore gua nerima telepon dari Titis, AE gua. About some urgent situation yang bikin cerita ini terjadi. Turns out kiriman untuk klien di Singapur tidak dapat ditepati karena keterlambatan dalam mengirimkannya ke jasa pengiriman. Sementara bahan tersebut harus berada di Singapur besok Senin. Singkat cerita gua lah yang mendapat kriteria tepat dalam melaksanakan mission impossible itu. Punya paspor dan cowok (lho???) So for those who made this happen, many many thank you!
Jadilah gua berangkat flight pertama ke Singapur. (Setelah sebelumnya begadang nggak tidur. Untungnya ada Boy dan Kenny yang setia menemani bermain WE. It was a tough game. But that’s another story.)
Taksi, jalan toll ke bandara, bandara, check-in, boarding pass, boarding, lorong-lorong airport, gate sekian, Executive Lounge (yang ini baru aja ada) selalu memberi suasana romantis sendiri bagi gua. Terngiang lagi lagu-lagu Alan Parsons Project (khususnya “The Traveller” cieeee…) dan lagu-lagu lain yang cukup membangun suasana perjalanan. ‘Here I go again!’ I said to myself. Entah kenapa, udah sering banget gua bepergian sendiri dan setiap hal itu terjadi selalu menjadi excitement yang istimewa bagi gua. Entah itu bis, kereta api, pesawat. Banyak elemen-elemen perjalanan yang selalu bikin gua merasa hidup. Ketemu stranger, basa-basi dengan stranger, asking direction, ngejar-ngejar jadwalnya, keeping eye on your belongings, mencurigai orang, menimang-nimang harga, lokal ato bukan, sangat berhati-hati atau bahkan sangat acuh. Hal-hal seperti itu yang menjadi greget tersendiri bagi gua.
Di dalam pesawat adalah bagian yang datar-datar saja. Hare-hare gene pesawat kecil-keciiiil. Kebeneran gua dapat pesawat yang berformat 3-3. And it was very stupid of me to ask for a window seat!! That’s the condition where: if you want to go to toilet you have to go thru 2 other passangers. Repot kan? Dan satu hal lagi, gua menyadari bahwa pesawat sekarang itu kecil. Or is it me who gets bigger. Dan untuk dapat pesawat yang nyaman, tentu saja elu kudu bayar mahal. OK.
1,5 jam. Jakarta-Singapur.
Akhirnya mendarat juga di Changi, salah satu tempat favorit gua, ever. Gua dulu sering pergi ke Changi tanpa alasan tertentu. Cuma pengen liat-liat aja, trus pulang. Bahkan gua pernah gak turun dari bisnya. Cuma lewat tok. Hehe..
Dulu?
Ya. Dulu. Ini alasan kenapa gua nulis cerita ini. Gua pernah sekolah di Singapur. Tahun 1990-1992an. Waktu itu umur gua masih 15 tahun. Di sinilah jaman ABG gua. Jaman tau bolos, mulai ngerokok, berantem geng-geng-an, ke disco, drugs and everything that comes between (hehe..). Jadi Singapur memang punya tempat khusus di hati gua. Di sinilah awal perjalanan gua (sebagai penyendiri, mungkin.) 15 tahun dan tinggal sendiri. Ngga ada orang tua/keluarga yang ngawasin. Ngga ada aturan rumah. Terserah mau ngapain. Terserah mau pulang jam berapa atau sekalian ngga pulang. Bebas deh. Gua ingat, satu-satunya waktu di mana gua ngga bebas adalah waktu orang tua gua nelfon. Atau kalau kiriman terlambat. (yeee culun.) Dan dunia merantau ini masih berlanjut ceritanya di Bandung, Sydney dan Jakarta. Dunia bebas.
Setelah urusan imigrasi beres, tuker duit, booking tiket pulang, saat yang dinanti-nanti pun tiba. Ngerokok. Hahahahaha… emang lu kira apaan.. Singapur terkenal dengan larangan dan denda sana-sininya. Khususnya masalah sampah dan rokok. (learn from it, Jakarta!) Jadi gua sangat berhati-hati dalam hal ini. Lu bisa ngerokok kalo lu liat asbak. Paling nggak gitu deh prinsip gua. Gua cuma kuat setengah batang, setelah itu pusing. Biasa, nggak ngerokok dalam interval jam pasti bikin gua pusing. Then I walked for the cab.
Masih dengan mobil-mobil Crown-nya. Masih dengan odor yang gua ingat. Masih dengan meteran argo yang kalo speednya tinggi bakal bunyi. Masih dengan giok laughing Buddha (kalo supirnya Chinese. Kalo dapet yang orang indonesia biasanya ada garuda jigraknya.) Masih solar. Ada sih taxi yang Mersi, Cuma gua kurang beruntung ngantrinya.
Gua sampe di Shangri-La 20 menit kemudian. No. I don’t stay here lah. Haiyaa.. so rich you think I am ah? No laaah.. I was only sending this silly package of my client so that my client can do their pameran later tomorrow. That way my office won’t kena scold from them lah.. Like that lah. (yes, I’m getting back my singaporean accent. Lah.) By the way, Shangri-La di Singapur miriiip plek ketiplek sama yang di Jakarta. Eksterior mau pun interior (paling nggak sampe lobby ya. Gua cuma sampe lobby soalnya.).
So I went to the concierge. Gave them the package, the name, the room number and job done. Yoiii.. done. I just made myself one of the expensive courier. That’s all the task was all about. To deliver the package.
Now is the real one. Kick ass one.
Talk about the life in Massachusetts,
Speak about the people I have seen,
And the lights all went out in Massachusetts
And Massachusetts is one place I have seen.
Bee Gees - Massachusets
Akhirnya gua menjejakkan kaki di Orchard Road. Meeeen… it’s been 12 years since rock n roll. Sejak gua harus menyanyikan “Majulah Singapura” setiap harinya di awal jam pelajaran. Sejak gua menyanyikan Sweet Child O’ Mine di jalan ini waktu independence day mereka. Sejak gua botak samping niru-niru si Mike Patton. Sejak sepatu Dock Marten’s. Sejak muntah di jalanan. Sejak Newton Circus. Sejak nasi Hainam Mandarin. Wuhuuuu..!! gokil cooooy!! Gua haru banget. Asam di perut gua naik, perasaan pengen muntah langsung kejadian. Mata berkaca-kaca (nahan muntah lho..). hehehe bolehlah.. kalo bilang karena terharu juga bolehlah.
Orchard is just Orchard. Orang-orang sliweran. Sangat beragam, locals, tourist, shoppers and Mt. Elisabeth Hospital’s visitors. Hahaha.. paling gak menurut gua kategori itu ada! Mt. Elisabeth Hospital’s visitors. Cara mengenalinya, biasanya orang yang berusia cukup berumur berjalan didampingi anaknya,umumnya perawakan istri. Berikut tentengan yang mereka bawa. Biasanya tidak fancy. Terus ada aja bule yang bercelana pendek gaya Magnum PI. Dari tahun ke tahun pasti kita temukan pemandangan begini. Kategori Singaporean bisa dikenali dengan cara mereka berpakaian. Biasanya sangat modis, tapi nggak se-berani Hong Kong atau Jepang. Cenderung cute side-nya. Well, to actually proof my opinion we can actually go ask them. Ya nggak?
Gua mulai dari Orchard Hotel, lantas ngelewati Hard Rock Café (that place never interest me) trus nyebrangin Scott’s Road. Di Tang’s sekarang udah ada tunnel yang nyambung ke Isetan (apa dari dulu emang udah ada ya?). Gua mutusin untuk ngambil sisi kanan dulu, untuk nantinya berbalik pulang ke sisi kiri.
Isetan masih seperti dulu. Makin sepi malah. Mungkin karena kehadiran si Takashimaya yang segede-gede bagong itu ya. Gua naikin sampai level 3, trus turun lagi keluar. Cukup deh. Next, Takashimaya. Gede banget ya cing! Gua cuma jalanin seperlunya ajalah. Yang penting udah. (mungkin karena waktu gua di sini dulu, tempat ini belum ada. Jadi kandungan nostalgianya gak ada.)
Gua keluar lagi. Di sepanjang pelataran sidewalk sekarang udah banyak resto-coffe shop yang fangki-fangki. Jaman gua blum ada tuh! Sirik. Di depan ada Meritus Mandarin (bener gak sih nulisnya? Dulu namanya cuma Mandarin doang). Tadinya mau masuk ke hotel itu buat makan Hainamnya. Entah kenapa tiba-tiba males. Stralah.
Berhenti dulu di depan asbak. Ngerokok. Sambung lagi.
Trus ada “Californian Health Centre”. Gua nggak ingat tempat ini dulunya apaan. Tapi yang pasti ngingetin gua akan Celebrity Fitness yang di EX. Orang olahraga kok ya diliatin. To see and to be seen. Ck..ck..ck. (yang di PI ntar katanya gak gitu lho).
Udah agak di ujung, akhirnya gua ganti sisi. Sisi kiri sekarang. Centerpoint. Dulu gua belajar bahasa Inggris di sini nih. In Lingua. Dalam Centerpoint masih segitu-segitu juga. Dari dulu gua di sini tempat ini memang salah satu yang agak lama. Walau ngga setua Far East dan Lucky Plaza. Palingan yang menarik “S11”nya. Format modern dari traditional hawker center. Dan 24 jam. Next time kayaknya asik nih nongkrong di sini.
Gua sambung lagi ke arah Douby Ghout. Ke arah istana. Gile, ini kaki udah kerasa kenceng sih. Mana belum cukup tidur lagi. Tapi nggak pa-pa. Ini Singapur Dik! Singapur! Nggak banyak juga yang berubah ataupun menarik untuk dilihat. OK then, fall back!
OG. Orang gile! Gua nggak pernah tau kepanjangannya apa. Yang gua tau, itu gedung kayaknya mau dikosongin jadi isinya pada di-sale semua. Jadilah gua beli 2 dasi for $10. Lumayanlah.
Berikutnya gua agak lupa ngelewati tempat apa aja. Yang pasti gua udah di depan HMV. Masuk. Ngubek-ngubek CD-CD dan nemuin my long lost memorable album. Album yang gua denger jaman di Singapur juga. It is the lovely Belinda Carlisle – Runaway Horses. Akhirnya ketemu lagi. Setelah berapa kali hilang-beli albumnya. Mudah-mudahan kali ini enggak. Mahal tau, belinya kudu ke Singapur.
Abis beli oleh-oleh buat Sarah, my wife, trus gua keluar lagi. Lagi-lagi gua nemuin coffee shop keren di sepanjang jalan. Rese. Next is Paragon. Buset deh tempat ini. Dari dulu sampe sekarang teteeeeup kelihatan mahal. Only selective brands get inside, although I know others also do but I just sense that this particular Paragon manages to keep their chin up. Gua hanya masuk lobby sebentar, ngeliat bentar, ngecek merk-merknya (mahal tentunya) dan ciao.
Lucky Plaza!
Hebat nih tempat. Masih idup. Tempatnya udah tua banget. Dagangannya juga nggak hype-hype banget. Bisa dibilang paling old school. Tapi tetep aja rame. Orang Cina dengan dagangan elektroniknya, orang India dengan dagangan tas/kopernya, money changernya, orang Filipino dengan toko kelontongnya. Oh ya, jarang orang Malay. Gak tau kenapa. Ada yang tau?
Next is Tang’s. I used to know this place as CK Tang. Nggak banyak berubah. 1st Fl perfumeries+cosmetics, 2nd ladies, 3rd men’s. Only the collections is like everything you desire. (iye..iye.. gua metromini..). Tapi gua mulai panik. Dari tadi gua nggak ngeliat barang anak-anak. Buat Kiara, bayi kecilku yang gemesin. Gimana nih? I just hoped I’d find it at the airport. Which was right.
Trus belok ke kanan. Scotts. Dulu di bawah hotel Hyatt ini ada bar namanya Branigan’s (sekarang Bricks). Hehe.. satu lagi tempat nongkrong ‘anak2 Indo’ pada waktu itu. Tapi gua bukan mau cerita ‘anak2 Indo’ di sini. Nanti sajalah.
Berikutnya adalah…. Far East Plaza!! Sengaja gua save the best for last. Dulu gua suka nongkrong di McDonald’s-nya (sekarang jadi Burger King). Pernah dipelototin polisi dikira anak berandal. Pernah diincer polisi gara-gara seragam sekolah gua. (East Payoh, one of the most high rated young criminals katanya). Waktu gua di situ, lucunya, ada juga ABG-ABG yang nongkrong dengan attitude yang menurut gua mirip dengan gua dulu. Sok asik, gaya 10juta, songong kalo rame (kalo sendiri cari temen). Lantas gua masuk. Masih agak mirip Lucky Plaza. Cuma positioning mereka sudah berubah. Gua nemuin banyak distro-distro di sini. Tampilan toko-tokonya mirip dengan kios-kios di ITC Fatmawati. Cuma lebih gede aja dan lebih ‘berwarna’. Atau pun.. lebih asik. 77th Streetnya juga masih ada! Tapi lebih segeran dari yang gua inget dulu. Toko ini jual asesoris-asesoris funky gitu deh. Dulu kita-kita ng-update penampilan pasti gak jauh ke sini.
Tapi yang paling bikin gua shock adalah LIPS. Gila. Pojok yang sama. Lay out yang sama. Berantakan yang sama. DAN PENJAGA YANG SAMA. Gokiiil gokil. Akhirnya gua cerita ke mereka bahwa gua dulu pernah di sini dst, dst. She may not remember me but that girl still remembers my time, my gang, our damages, our records. She even came up with some names, only not mine. I wonder does she actually live through out these 12 years. Same spot. Same activity. Year after year.
Gua?
Here and there. This and that. Gain this, lost that. Change this, just don’t loose your mind. Memang betul kata orang. You can’t turn back the clock. Bahkan kalau dipaksakan pun rasanya tetap tidak sama. Seperti saat ini gua berada di LIPS ini. Sekangen-kangennya gua akan Singapur, setelah mendapatinya ternyata nggak bisa seperti dulu. Dulu itu cuma ada di sanubari kita. Itu pun kalau kita mau menyimpannya.
Lu mau?
(di depan Paragon)
(“…what t’hell am I doin here
I don’t belong here..
I don’t belong here.”
Radiohead, Creep.)
Jadilah gua berangkat flight pertama ke Singapur. (Setelah sebelumnya begadang nggak tidur. Untungnya ada Boy dan Kenny yang setia menemani bermain WE. It was a tough game. But that’s another story.)
Taksi, jalan toll ke bandara, bandara, check-in, boarding pass, boarding, lorong-lorong airport, gate sekian, Executive Lounge (yang ini baru aja ada) selalu memberi suasana romantis sendiri bagi gua. Terngiang lagi lagu-lagu Alan Parsons Project (khususnya “The Traveller” cieeee…) dan lagu-lagu lain yang cukup membangun suasana perjalanan. ‘Here I go again!’ I said to myself. Entah kenapa, udah sering banget gua bepergian sendiri dan setiap hal itu terjadi selalu menjadi excitement yang istimewa bagi gua. Entah itu bis, kereta api, pesawat. Banyak elemen-elemen perjalanan yang selalu bikin gua merasa hidup. Ketemu stranger, basa-basi dengan stranger, asking direction, ngejar-ngejar jadwalnya, keeping eye on your belongings, mencurigai orang, menimang-nimang harga, lokal ato bukan, sangat berhati-hati atau bahkan sangat acuh. Hal-hal seperti itu yang menjadi greget tersendiri bagi gua.
Di dalam pesawat adalah bagian yang datar-datar saja. Hare-hare gene pesawat kecil-keciiiil. Kebeneran gua dapat pesawat yang berformat 3-3. And it was very stupid of me to ask for a window seat!! That’s the condition where: if you want to go to toilet you have to go thru 2 other passangers. Repot kan? Dan satu hal lagi, gua menyadari bahwa pesawat sekarang itu kecil. Or is it me who gets bigger. Dan untuk dapat pesawat yang nyaman, tentu saja elu kudu bayar mahal. OK.
1,5 jam. Jakarta-Singapur.
Akhirnya mendarat juga di Changi, salah satu tempat favorit gua, ever. Gua dulu sering pergi ke Changi tanpa alasan tertentu. Cuma pengen liat-liat aja, trus pulang. Bahkan gua pernah gak turun dari bisnya. Cuma lewat tok. Hehe..
Dulu?
Ya. Dulu. Ini alasan kenapa gua nulis cerita ini. Gua pernah sekolah di Singapur. Tahun 1990-1992an. Waktu itu umur gua masih 15 tahun. Di sinilah jaman ABG gua. Jaman tau bolos, mulai ngerokok, berantem geng-geng-an, ke disco, drugs and everything that comes between (hehe..). Jadi Singapur memang punya tempat khusus di hati gua. Di sinilah awal perjalanan gua (sebagai penyendiri, mungkin.) 15 tahun dan tinggal sendiri. Ngga ada orang tua/keluarga yang ngawasin. Ngga ada aturan rumah. Terserah mau ngapain. Terserah mau pulang jam berapa atau sekalian ngga pulang. Bebas deh. Gua ingat, satu-satunya waktu di mana gua ngga bebas adalah waktu orang tua gua nelfon. Atau kalau kiriman terlambat. (yeee culun.) Dan dunia merantau ini masih berlanjut ceritanya di Bandung, Sydney dan Jakarta. Dunia bebas.
Setelah urusan imigrasi beres, tuker duit, booking tiket pulang, saat yang dinanti-nanti pun tiba. Ngerokok. Hahahahaha… emang lu kira apaan.. Singapur terkenal dengan larangan dan denda sana-sininya. Khususnya masalah sampah dan rokok. (learn from it, Jakarta!) Jadi gua sangat berhati-hati dalam hal ini. Lu bisa ngerokok kalo lu liat asbak. Paling nggak gitu deh prinsip gua. Gua cuma kuat setengah batang, setelah itu pusing. Biasa, nggak ngerokok dalam interval jam pasti bikin gua pusing. Then I walked for the cab.
Masih dengan mobil-mobil Crown-nya. Masih dengan odor yang gua ingat. Masih dengan meteran argo yang kalo speednya tinggi bakal bunyi. Masih dengan giok laughing Buddha (kalo supirnya Chinese. Kalo dapet yang orang indonesia biasanya ada garuda jigraknya.) Masih solar. Ada sih taxi yang Mersi, Cuma gua kurang beruntung ngantrinya.
Gua sampe di Shangri-La 20 menit kemudian. No. I don’t stay here lah. Haiyaa.. so rich you think I am ah? No laaah.. I was only sending this silly package of my client so that my client can do their pameran later tomorrow. That way my office won’t kena scold from them lah.. Like that lah. (yes, I’m getting back my singaporean accent. Lah.) By the way, Shangri-La di Singapur miriiip plek ketiplek sama yang di Jakarta. Eksterior mau pun interior (paling nggak sampe lobby ya. Gua cuma sampe lobby soalnya.).
So I went to the concierge. Gave them the package, the name, the room number and job done. Yoiii.. done. I just made myself one of the expensive courier. That’s all the task was all about. To deliver the package.
Now is the real one. Kick ass one.
Talk about the life in Massachusetts,
Speak about the people I have seen,
And the lights all went out in Massachusetts
And Massachusetts is one place I have seen.
Bee Gees - Massachusets
Akhirnya gua menjejakkan kaki di Orchard Road. Meeeen… it’s been 12 years since rock n roll. Sejak gua harus menyanyikan “Majulah Singapura” setiap harinya di awal jam pelajaran. Sejak gua menyanyikan Sweet Child O’ Mine di jalan ini waktu independence day mereka. Sejak gua botak samping niru-niru si Mike Patton. Sejak sepatu Dock Marten’s. Sejak muntah di jalanan. Sejak Newton Circus. Sejak nasi Hainam Mandarin. Wuhuuuu..!! gokil cooooy!! Gua haru banget. Asam di perut gua naik, perasaan pengen muntah langsung kejadian. Mata berkaca-kaca (nahan muntah lho..). hehehe bolehlah.. kalo bilang karena terharu juga bolehlah.
Orchard is just Orchard. Orang-orang sliweran. Sangat beragam, locals, tourist, shoppers and Mt. Elisabeth Hospital’s visitors. Hahaha.. paling gak menurut gua kategori itu ada! Mt. Elisabeth Hospital’s visitors. Cara mengenalinya, biasanya orang yang berusia cukup berumur berjalan didampingi anaknya,umumnya perawakan istri. Berikut tentengan yang mereka bawa. Biasanya tidak fancy. Terus ada aja bule yang bercelana pendek gaya Magnum PI. Dari tahun ke tahun pasti kita temukan pemandangan begini. Kategori Singaporean bisa dikenali dengan cara mereka berpakaian. Biasanya sangat modis, tapi nggak se-berani Hong Kong atau Jepang. Cenderung cute side-nya. Well, to actually proof my opinion we can actually go ask them. Ya nggak?
Gua mulai dari Orchard Hotel, lantas ngelewati Hard Rock Café (that place never interest me) trus nyebrangin Scott’s Road. Di Tang’s sekarang udah ada tunnel yang nyambung ke Isetan (apa dari dulu emang udah ada ya?). Gua mutusin untuk ngambil sisi kanan dulu, untuk nantinya berbalik pulang ke sisi kiri.
Isetan masih seperti dulu. Makin sepi malah. Mungkin karena kehadiran si Takashimaya yang segede-gede bagong itu ya. Gua naikin sampai level 3, trus turun lagi keluar. Cukup deh. Next, Takashimaya. Gede banget ya cing! Gua cuma jalanin seperlunya ajalah. Yang penting udah. (mungkin karena waktu gua di sini dulu, tempat ini belum ada. Jadi kandungan nostalgianya gak ada.)
Gua keluar lagi. Di sepanjang pelataran sidewalk sekarang udah banyak resto-coffe shop yang fangki-fangki. Jaman gua blum ada tuh! Sirik. Di depan ada Meritus Mandarin (bener gak sih nulisnya? Dulu namanya cuma Mandarin doang). Tadinya mau masuk ke hotel itu buat makan Hainamnya. Entah kenapa tiba-tiba males. Stralah.
Berhenti dulu di depan asbak. Ngerokok. Sambung lagi.
Trus ada “Californian Health Centre”. Gua nggak ingat tempat ini dulunya apaan. Tapi yang pasti ngingetin gua akan Celebrity Fitness yang di EX. Orang olahraga kok ya diliatin. To see and to be seen. Ck..ck..ck. (yang di PI ntar katanya gak gitu lho).
Udah agak di ujung, akhirnya gua ganti sisi. Sisi kiri sekarang. Centerpoint. Dulu gua belajar bahasa Inggris di sini nih. In Lingua. Dalam Centerpoint masih segitu-segitu juga. Dari dulu gua di sini tempat ini memang salah satu yang agak lama. Walau ngga setua Far East dan Lucky Plaza. Palingan yang menarik “S11”nya. Format modern dari traditional hawker center. Dan 24 jam. Next time kayaknya asik nih nongkrong di sini.
Gua sambung lagi ke arah Douby Ghout. Ke arah istana. Gile, ini kaki udah kerasa kenceng sih. Mana belum cukup tidur lagi. Tapi nggak pa-pa. Ini Singapur Dik! Singapur! Nggak banyak juga yang berubah ataupun menarik untuk dilihat. OK then, fall back!
OG. Orang gile! Gua nggak pernah tau kepanjangannya apa. Yang gua tau, itu gedung kayaknya mau dikosongin jadi isinya pada di-sale semua. Jadilah gua beli 2 dasi for $10. Lumayanlah.
Berikutnya gua agak lupa ngelewati tempat apa aja. Yang pasti gua udah di depan HMV. Masuk. Ngubek-ngubek CD-CD dan nemuin my long lost memorable album. Album yang gua denger jaman di Singapur juga. It is the lovely Belinda Carlisle – Runaway Horses. Akhirnya ketemu lagi. Setelah berapa kali hilang-beli albumnya. Mudah-mudahan kali ini enggak. Mahal tau, belinya kudu ke Singapur.
Abis beli oleh-oleh buat Sarah, my wife, trus gua keluar lagi. Lagi-lagi gua nemuin coffee shop keren di sepanjang jalan. Rese. Next is Paragon. Buset deh tempat ini. Dari dulu sampe sekarang teteeeeup kelihatan mahal. Only selective brands get inside, although I know others also do but I just sense that this particular Paragon manages to keep their chin up. Gua hanya masuk lobby sebentar, ngeliat bentar, ngecek merk-merknya (mahal tentunya) dan ciao.
Lucky Plaza!
Hebat nih tempat. Masih idup. Tempatnya udah tua banget. Dagangannya juga nggak hype-hype banget. Bisa dibilang paling old school. Tapi tetep aja rame. Orang Cina dengan dagangan elektroniknya, orang India dengan dagangan tas/kopernya, money changernya, orang Filipino dengan toko kelontongnya. Oh ya, jarang orang Malay. Gak tau kenapa. Ada yang tau?
Next is Tang’s. I used to know this place as CK Tang. Nggak banyak berubah. 1st Fl perfumeries+cosmetics, 2nd ladies, 3rd men’s. Only the collections is like everything you desire. (iye..iye.. gua metromini..). Tapi gua mulai panik. Dari tadi gua nggak ngeliat barang anak-anak. Buat Kiara, bayi kecilku yang gemesin. Gimana nih? I just hoped I’d find it at the airport. Which was right.
Trus belok ke kanan. Scotts. Dulu di bawah hotel Hyatt ini ada bar namanya Branigan’s (sekarang Bricks). Hehe.. satu lagi tempat nongkrong ‘anak2 Indo’ pada waktu itu. Tapi gua bukan mau cerita ‘anak2 Indo’ di sini. Nanti sajalah.
Berikutnya adalah…. Far East Plaza!! Sengaja gua save the best for last. Dulu gua suka nongkrong di McDonald’s-nya (sekarang jadi Burger King). Pernah dipelototin polisi dikira anak berandal. Pernah diincer polisi gara-gara seragam sekolah gua. (East Payoh, one of the most high rated young criminals katanya). Waktu gua di situ, lucunya, ada juga ABG-ABG yang nongkrong dengan attitude yang menurut gua mirip dengan gua dulu. Sok asik, gaya 10juta, songong kalo rame (kalo sendiri cari temen). Lantas gua masuk. Masih agak mirip Lucky Plaza. Cuma positioning mereka sudah berubah. Gua nemuin banyak distro-distro di sini. Tampilan toko-tokonya mirip dengan kios-kios di ITC Fatmawati. Cuma lebih gede aja dan lebih ‘berwarna’. Atau pun.. lebih asik. 77th Streetnya juga masih ada! Tapi lebih segeran dari yang gua inget dulu. Toko ini jual asesoris-asesoris funky gitu deh. Dulu kita-kita ng-update penampilan pasti gak jauh ke sini.
Tapi yang paling bikin gua shock adalah LIPS. Gila. Pojok yang sama. Lay out yang sama. Berantakan yang sama. DAN PENJAGA YANG SAMA. Gokiiil gokil. Akhirnya gua cerita ke mereka bahwa gua dulu pernah di sini dst, dst. She may not remember me but that girl still remembers my time, my gang, our damages, our records. She even came up with some names, only not mine. I wonder does she actually live through out these 12 years. Same spot. Same activity. Year after year.
Gua?
Here and there. This and that. Gain this, lost that. Change this, just don’t loose your mind. Memang betul kata orang. You can’t turn back the clock. Bahkan kalau dipaksakan pun rasanya tetap tidak sama. Seperti saat ini gua berada di LIPS ini. Sekangen-kangennya gua akan Singapur, setelah mendapatinya ternyata nggak bisa seperti dulu. Dulu itu cuma ada di sanubari kita. Itu pun kalau kita mau menyimpannya.
Lu mau?
(di depan Paragon)
(“…what t’hell am I doin here
I don’t belong here..
I don’t belong here.”
Radiohead, Creep.)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home