Friday, November 21, 2014

Republik Meme

Setidaknya 2 tahun belakangan ini. 
Bentuk becandaan di sosial media akan banyak hal. Awalnya sekedar kata-kata manis dan bermotivasi yang unyu untuk di-share atau sekedar penampakan status terselubung.
Lama kelamaan, didukung kemudahan apps yang ada, jpg-jpg mutiara tadi bertransformasi menjadi satu becandaan, ratapan jomblo yang berkepanjangan, satir-satiran dan tentu saja sarana mengejek pemerintah. Presto! Dalam hitungan menit ketika sebuah isu sedang merebak, kita bisa langsung mendapati meme (demikian dia disebut) melucu di lini masa digital. Menit berikutnya sudah berkembang lagi. Semakin berlanjut gak karuan. Walau memang, sirkulasi informasi di digital memang punya gelombang sendiri sampai akhirnya orang punya pengetahuan yang sama di suatu titik.
Semua terbalut dalam penyampaian yang konon, diharapkan, semoga masih, jenaka.
Jenaka yang seperti apa?
Pertanyaan ini jelas membuat gue langsung kangen akan ke-Indonesia-an kita dalam becanda: Srimulat. Yang sangat lokal, pintar berkaca pada diri, nyindir kok ya pas banget, hafal sifat feodal, berani mengejek karena punya banyak bukti dan lain-lain.
Karena tidak demikian rasanya sekarang.
Orang bisa saja menerima sebuah dialog sampah (walau tujuannya becanda) yang satir dan menyematkan percakapan itu pada gambar SBY dan Johnny Depp. Gw berhenti dengan 2 contoh kontras ini. Contoh lain silakan saja.
Karena kontennya lucu, lantas orang berterima. Tapi karena terus-terusan begitu, sepertinya orang lambat laun menerima sosok yang dilabelkan pada mereka itu benar!
Sakitnya tuh di sini. Di pemahamannya.
Tidak ada proses filter yang waras. Susah waras karena arusnya sangat deras dan akhirnya diabaikan. Pokoknya SBY ya gitu. Bekasi ya gitu. Jomblo ya gitu. Syahrini ya gitu. Kacang. Ringan. Besok ada lagi. Sekarang hore aja.
(Ironisnya lagi, gak usah yang serius-serius lah. Yang gini-gini aja, lucu. Besok lupa.)
Kalau memang republik ini menggemari sekali humor, baiklah itu menghibur sekitarnya. Menjadi senang dan berdampak positif. Jadi jagoan lawak dunia sekalian.
(Seperti batik dan jargon I love Indonesia, mestinya diperdengarkan buat yang belum tau, bukan sesama teman di kampung)
Karena ‪#‎RevolusiMental‬ gak bisa becandahahahahahaha...

Matinya Demokrasi

Demokrasi Mati?
Di mana kuburannya?
Tahun 90an, sebelum 1998, di Mesir pernah diadakan konferensi dunia membahas praktek demokrasi negara-negara.
Delegasi dari Indonesia kebetulan beragama Kristen. Sehingga tak pelak lagi mengundang pertanyaan, bagaimana bisa delegasinya justru beragama Kristen dari negara yang mayoritas Islam.
Pemerintahan Singapura, Malaysia, Thailand dan negara Asia lainnya umumnya berisi dari mayoritas suku/agama yang ada. Walau Indonesia pun sebenernya begitu. Dan bahwa mereka yang minoritas memang biasanya mendapat berbagai perlakuan umumnya minoritas.
Kembali pada konferensi tadi, dengan berdirinya si delegasi tadi di situ, cukuplah membuktikan bahwa Indonesia sebenarnya mempraktekkan demokrasi, sekecil apa pun bentuknya. Kalau ditilik lagi, pun insiden itu bisa menjadi pelajaran besar; pada saat itu, 20 tahun yang lalu.
Jadi kita perlu lebih mengerti lagi apa hestek ‪#‎RIPDemokrasi‬.
Kalau dibilang "RIP hak masyarakat untuk memilih wakilnya untuk menjadi pemimpin", benar saja.
Atau hanya kekesalan masyarakat akan dirampoknya pemahaman “Sekarang memilih pemimpin dengan kesadaran mumpuni”, iya, saya setuju.
Tapi untuk mematikan demokrasi…mana kuburannya?
Pagi itu, kita dibangunkan dengan berita keputusan RUU Pilkada dipilih oleh DPRD, tidak lagi oleh rakyat langsung.
Secara metafora seharusnya benar kita dibangunkan. Dibangunkan dari keterlenaan, si baik yang menang, akhirnya harapan yang baik pun datang, dan segala macam bunga mimpi yang katanya tertidur lagi 16 tahun setelah 1998.
Nyatanya? Ada saja pihak yang bisa melencengkan. Dengan segala kesempatan dan kepentingan.
Kita jelas punya kepentingan, sekarang dan besok. Kepentingan tersebut pernah dimenangkan akan sebuah usaha; beberapa bulan lalu.
Tapi, seperti rusaknya sebuah jalan; ketika jalan tersebut rusak kita mengeluh. Ketika sudah selesai dibenahi, kita tetap serampangan merusak.
Lupa. Lupa. Seringnya begitu. Lupa.
Menjadi oposisi seperti mereka sekarang tidaklah cukup tidur. Mereka akan berupaya segenap tenaga menjadikan tujuan mereka tercapai, sampai titik di mana mereka bisa menang, (dan sukur-sukur tenang). Segenap cara yang mereka mampu, karena dengan berdemokrasi, siapa pun boleh punya cara toh? Come on, de-mo-kra-si.
Kita gak bisa terlena akan sebuah kemenangan. Sadarlah kemenangan yang dipinjamkan sekarang harus dikawal kayak surat suara kemarin. Lengah sedikit, ini yang terjadi.
Jadi kalau dibilang demokrasi mati, mungkin karena kita gak memakai sepenuhnya.

"Hosanna! Hosanna!”

"Hosanna! Hosanna!”
(Selamatkanlah kami! Selamatkanlah kami!)
Pada suatu khotbah oleh Joas Adiprasetya, gw baru mengetahui arti kata “Hosanna” yang selama ini gw kira adalah pujian yang umum untuk Tuhan. Save us! Selamatkan kami!
Yesus -Nabi Isa-, datang ke Jerusalem dan disambut oleh rakyat yang merindukan keselamatan pada penderitaan yang berlangsung pada saat itu, di cerita Alkitab.
Dia pun sengaja meminta muridnya untuk mengambil seekor keledai sebagai kendaraan yang dia pakai untuk memasuki kota itu. Lambang sebuah kesederhanaan.
~
Jakarta 20 Oktober 2014.
Sebuah arak-arakan menyambut pemimpin baru. Dari perjuangan yang dirasa tidak mungkin. Rakyatnya rela berpanas-panas di jalan menyaksikan langsung orang yang mereka tampukan segala doa dan harapan.
Kalau mau menyamakan 2 kejadian di atas terserah.
Yang berbeda hanya kekiniannya.
Dalam cerita tersebut kita tidak begitu mengetahui seluk beluk penderitaan rakyat pada zaman itu.
Tapi sekarang, kita adalah pelaku dari segala yang terjadi. Secara langsung atau sekedar kena imbasnya (atau yang terus menolaknya).
Manusia internet yang sudah hidup berbicara dan mendengar, berbagi paham dan memahami. Manusia yang terus menerus menjadikan hidupnya lebih baik dari pikiran dan pelaksanaannya.
Kita bisa apa?

Gak Manusiawi

Tidak manusiawi bukan milik binatang saja.
Seringnya “gak manusiawi” itu didekatkan dengan konsep kebinatangan.
Manusia, dalam pertahanannya, mengambil perilaku makhluk hidup lain untuk dijadikan proyeksi perlakuan yang mereka anggap mirip namun tetap menempatkan manusia dalam jenjang yang lebih mulia.
Binatang. Yang tidak punya akal budi. Keji, bisa memakan siapa saja. Yang penting makan, karena lapar. Karena lapar, harus hidup. Begitu (mungkin) binatang hidup. Walau di sebagian manusia, mereka memelihara binatang.
Begitu mudah konsep tersebut menjadi pemikiran umum dan hanya menjadi ranah binatang saja.
Kemarin gw menyaksikan satu bentuk “tidak manusiawi” yang lain.
Yang melakukan tetap manusia, karena, bagaimana mungkin itu binatang 
Tersebutlah seorang pemimpin negara yang baru dilantik untuk membawa bangsa Indonesia ini dalam perjalanan perubahan 5 tahun ke depan.
Langkahnya sampai ke kedudukan ini tidaklah gampang. Sedemikian banyak yang mendukungnya, sedemikian banyak pula yang menentang. Bahwa dia bukan keunggulan yang dominan di saat itu, di saat sekarang.
Hantaman yang dihadapi, kemarin, sekarang dan besok bukan hal yang menggembirakan dari sekedar perayaan rakyat yang membahana kemarin.
Namun satu per satu dikerjakan dengan sederhana. Merangkul siapa pun yang akan menjadi bagian masa depan itu. Kawan dan lawan.
Dengan kawan, ini hal yang mudah. Lihat saja lini masa Facebook. Hahaha.
Namun dengan lawan, ini yang menggemaskan.
Bagaimana beliau mengunjungi pihak-pihak oposisi dengan acara yang lumrah; mengucapkan selamat ulang tahun, lobby yang tidak berpanjang-panjang (cukup untuk liputan media). Bahkan menyebut mereka sebagai sahabat baik.
Dan sebagai balas, pihak oposisi pun harus menerima tamu, berjabat tangan, tersenyum. Karena tidak ada yang salah dengan kedua respon tersebut. Tidak cela. Tidak mengundang kegunjingan yang berlarut. Tidak meng-entertain khalayak yang suka keributan.
(Setidaknya) buat gw, ini tidak manusiawi!
Manusia yang umum akan merasakan sakit ketika disakiti. Akan melindungi dirinya dengan upaya agar dirinya tidak tersakiti (lebih jauh). Self defence mechanism-nya akan melawan, membalas. Bahkan dengan akal budi yang tidak dipunyai binatang tadi, manusia akan merancang sebuah respon untuk itu. Apa pun caranya. "Punya otak kok gak dipake!”
Makdarit, manusiawi.
Sedemikian sering “gak manusiawi” itu didekatkan dengan kebinatangan membuat kita mengesampingkan kebaikan sebagai salah satu yang “gak manusiawi”. Karena, ternyata memang sulit menempatkannya di situ. Lebih gampang membicarakannya. Lebih seru mengagumi kebaikan (dan menyebarkan lagi di lini masa), tentu.
Segala bentuk kebaikan dalam kulit luar memang membuat nyaman.
Tapi ketika pemahaman kebaikan dipakai menjadi alat lain dalam sebuah tujuan, kenapa tidak?
Entahlah ini konsep baru atau orang itu hanya melakukan sesuatu yang sederhana. Yang gak kepikiran (sebenernya kalau dipikirkan bisa). Yang gak sophisticated (karena sederhana itu tidak trendy).
Yang jelas kita tuh ribet amat :))