Saturday, November 25, 2006

Revisi #31

Inilah momen yang sering bikin gua gugup setiap kali menghadapinya: ulang tahun.

Setiap jam 12 malam, awal dari hari spesial itu, gua pasti akan tersenyum kikuk. Biasanya akan dimulai dari ucapan orang-orang terkasih, terdekat, tercinta. Demikian seterusnya di pagi harinya. Melalui ucapan langsung, kiriman kartu, telepon interlokal, pesan-pesan di penyeranta, email dan SMS.

Gua selalu kesulitan mencari jawaban yang pantas untuk membalas ucapan-ucapan tersebut. Entah kenapa. Tentu saja yang mereka ucapkan adalah doa akan segala sesuatu yang baik. Semoga panjang umur. Murah rejeki. Berada dalam perlindunganNya selalu. Tercapai apa yang dicita-citakan. Semuanya pasti bermuara kepada hal yang baik. Menuntut sebuah traktiran pun masih dalam niatan baik lho. Berkumpul bersama, haha-hihi, perut kenyang dan dibayarin. Baik toh?

Namun mungkin gua terlalu 'manusia' untuk semua itu. Segala ucapan doa nan baik tadi seakan-akan menjadi sebuah cermin dari pencapaian umur yang bertambah ini. Gua seperti dihadapkan kepada gambaran akan hal baik tadi dan kemudian membandingkannya dalam realitanya. Apakah sudah tercapai keinginan ina-inu? Sudah semakin baikkah gua terhadap sesama? Apa saja yang bisa dilakukan menuju perbaikan-perbaikan itu? Dan seterusnya...dan seterusnya. Seakan-akan semuanya berubah menjadi beban tersendiri. Kegelisahan tersendiri.

Demikian pula dengan doa di akhir hari baik itu (sebuah aktifitas yang kerap gua lakukan ketika hari ulang tahun itu akan berakhir, merenung, flash back.) Dari banyak sekali doa tiap tahun yang bisa gua ingat, meski (lagi-lagi) segala yang gua doakan adalah segala kebaikan, ternyata beragam sekali pernak-perniknya dari tahun ke tahun. Semuanya mengalami evolusi. Tahun ini minta itu. Tahun lalu minta ini. Tahun itu minta yang ono. Beberapa tahun lalu pengen ntu.

Revisi. Revisi. Revisi.

Ternyata ini biang kerok si muka kikuk itu! Ternyata perdebatan ini yang selalu mengawali detik-detik hari ulang tahun itu.
Kesetian akan suatu tujuan dipertanyakan.
Kemauan untuk selalu punya harapan, diingatkan kembali.
Kebesaran hati untuk sebuah perubahan terasa selalu kurang lebar walau seluas lapangan Emirates Stadium sekalipun.
Mungkin singkatnya, gua tuh harus menjadi manusia 'utuh' lagi, baru deh tuh pesta pora haha-hihi dapet kado dll.

Ini kali pertama gua memahami sisi lain dari sebuah kata revisi. Tidak melulu sesuatu yang salah harus diperbaiki. Tidak melulu harus ada yang salah. Tidak ada juga yang mengatakan salah kepada kita. Ternyata kata kuncinya adalah: berkembang. Dan yang lebih seru lagi, semuanya itu buat diri kita.

Ih, rasanya kayak hari kedua setelah gajian, rasanya pengeeeeen deh ulang tahun lagi.

Ya Tuhan, ini revisiku. Terimakasih. Amin!

Friday, November 24, 2006

Mauliate

Anindita>Rangga>Kak Rita>Odre Onad>Citra>Vena>Mami>Ramses>
Arga>Bapak>Mama>Kak Helen>Glenn>Novi>WaCin>Jootje>Dyah>
HVS>Ola>Mezmo>Putri>Alia>Dinadonk>Bimo>Julia>KD>Alex>Anne>
Coki>Bucin>Iksaka Banu>Sashie>Randa>Yomi>Togar>Sesek>Oca>Pronky>
OmBud>Ika>Bibie>Adela>Miranda>Boy>Mella>Ime>Siwi>Angga>Burat>Esjepe>
Jaja and Grey Worldwide>Ria>Mbak Mitha>Sapi>Mala>Ambar>
my belle>Nobon>Wiwis>Kresti>Sonia>Kenny>Rizkan>Adit>
DDB Brainstorm>Findrie Nawi Figo>Tata>Ridwan>Troy>Djito>Aswin>
Ririn>Riri Ronas>Wury>Grace>Garry>Anisinam>Dita Wasis>Meli>Iwuk>Dyah: Thank You.

Monday, November 20, 2006

Mari Membaca (seperti George Bush)

Hari Minggu kemarin di gereja, terdapat sebuah ayat yang cukup panjang untuk dibacakan. Pak Pendeta membacakan ayat yang ganjil, kemudian jemaat membaca ayat yang genap. Entah sudah menjadi kebiasaan atau memang dibacakan beramai-ramai, suara yang terdengar hanya terdengar datar dan besar saja. Seperti memang harus dibaca, dan dibaca sampai habis.

Teringat akan pidato-pidato panjang atau laporan-laporan tahunan -pemerintah- yang biasa kita dengar di televisi dan biasanya kita abaikan saja. Bayangkan lembaran-lembaran tebal tersebut harus dibacakan dari satu orang, yang notabene sudah tua umur, pemimpin pula! Pun menyangkut hal-hal yang tidak begitu menarik untuk khalayak umum. Mungkin untuk kalangan tertentu akan mengerti kalau gua berteriak "Oi, siapa tuh copywriternya?! Panjang amat sih nulis bodycopy!".

Emang sih, dongeng kakek nenek kita walau sudah beribu kali diceritakan biasanya masih bisa dicerna dengan baik kalau cerita tersebut memang mempunyai alur dan struktur yang baik dan menarik. Talk about a good story telling.

Di sela-sela hebohnya kedatangan George Bush ke Bogor tadi, gua hanya bisa bekerja dan bekerja di depan komputer (sambil main game). Entah kepentingan apa yang mempersatukan teman-teman di kantor hingga akhirnya semua channel TV menyetel saluran yang ada reportasenya dia. Mulai dari mendarat di Jakarta, omelan warga Bogor, sampai-sampai Bush berceloteh perihal kunjungannya ke Indonesia ini.

Sekilas gua mendengar dia bercerita tentang pendidikan, perdagangan dan lain sebagainya dalam korelasinya pada Indonesia. Bukan lagi bahasan terorisme seperti tahun 2002 kemaren dia datang ke Indonesia.
Sekilas saja, wong gua lagi kerja gitulho!

Tapi sekilas kemudian gua melihat ke TV dan gua cukup kaget. Oh man! Oh sh*t (harap membaca dengan lagak emrik). Dari tadi dia ngoceh endeswey-endesway itu ternyata doski membaca man! Oh wow man! (masih lagak emrik)

Topik dan rencana-rencana Amerika ke Indonesia mungkin tidak begitu menarik perhatian gua. Apalagi demo-demo yang tidak jelas arah di sekitarnya. Tapi yang katanya orang nomer satu dunia dan dibenci umat ini bisa berbicara kepada gua. Walau gua tidak menyimak sekalipun!

Mungkin pilihan katanya gak terlalu sulit hingga gampang dimengerti. Bagaimana sebuah wacana politik dunia bisa dirangkum menjadi satu paragraf yang gampang.
Mungkin dia membacakan kata pada penekanan vokal yang benar.
Mungkin dia juga sesekali melihat kepada audience untuk menunjukkan perhatiannya. Tidak seperti murid yang disuruh gurunya untuk membaca kepada teman-teman sekelasnya, merunduk terus karena takut salah baca.
Mungkin juga dia benar-benar menguasai pidato tersebut sehingga kita tidak terlalu peduli dengan hal-hal kecil lainnya dan 'terpaksa' mendengar.

Satu hal yang gua yakini, George Bush punya copywriter handal.

"And when their eloquence escapes me
Their logic ties me up and rapes me
De do do do, de da da da
Is all I want to say to you
De do do do, de da da da
They're meaningless and all that's true"
De do do do, De da da da
The Police

Wednesday, November 15, 2006

Who Do We Think We Are

"Who do you think he are??"

Konon Sarah Azhari pernah berceloteh begitu pada sebuat tayangan infotainment. Beberapa waktu kemudian kalimat itu merebak luas menjadi suatu guyonan bernada cemoohan. Memang, mestinya dia mengatakan "Who do you think he is?"

Di kesempatan lain, gua juga sering tersenyum mendengar penyiar-penyiar radio yang membuka kalimat sapaannya dengan bahasa Inggris, pada kalimat pertama dan kedua, lantas kembali lagi dengan percakapan bahasa Indonesia. Menurut dugaan gua sih.. -dugaan lho ya- sepertinya dia kehabisan perbendaharaan kata-kata Inggris untuk diucapkan lalu kemudian menyerah kembali berbicara bahasa ibu.

Oh well, sepertinya bahasa Inggris ini menjadi satu isu yang cukup malu-maluin ya. Malu kalau ngga bisa, dan malu-maluin orang yang ngga (gitu) bisa.

Tapi kenapa mesti malu?

Gua tidak melihat kenapa kita harus malu untuk 'salah' berbahasa Inggris. Atau bahasa lain. Orang Rusia, Cina, Eropa dan Afrika yang tidak berbahasa ibu bahasa Inggris sering melakukan kesalahan dalam tata bahasa, pelafalan maupun dialek. Lebih menarik lagi, sesama
warga negara Inggris di Inggris sana sering tidak mengerti kawan senegaranya itu ngomong apa. Logat Scottish, Liverpool, Irish sering susah dimengerti (Parkinson, Ebet Kadarusman-nya Inggris pernah membahas ini dalam sebuah talk shownya).

Jadi kalau kita sering terdengar hanya menyebutkan "and then", "already", "that one"... biarlah itu juga menjadi ciri kita sendiri dalam berbahasa Inggris. Toh orang Thailand juga sering susah dicerna ngomong Inggrisnya.

Namun bahasa Inggris juga tidak kalah kayanya dengan bahasa Indonesia kita ini. Ketika mempelajari, mempraktekkannya, dan mencoba memahaminya, memang ada rangkaian-rangkaian pemikiran yang menarik dari bahasa ini. Tidak jarang kita temui bahasa Inggris tersebut bisa mencakupi sebuah penjelasan panjang lebar dari sebuah bahasa (bukan bahasa Indonesia saja. dll)

Mungkin itu yang membuat bahasa ini sangat universal. Bisa dimengerti banyak orang. Untuk berkomunikasi. Dan ini yang membuat kita perlu mempelajarinya dengan benar.

Jadi kenapa mesti malu?

Toh kita nggak lantas menjadi bule kalau bisa berbahasa Inggris.

• Sebuah tulisan di milis CCI.

Tuesday, November 07, 2006

Blog is Dead.

Iya. Zaman blog sudah berlalu. Setidaknya dipandang dari jendela blog gua ini, frekwensi orang ngeblog sudah tidak begitu terlihat animonya lagi. Alat pendeteksi update blog gua hanya sedikit yang mencatat adanya tulisan-tulisan baru dalam kurun waktu 6 bulan ini. Trend-kah ini?

Mungkin iya.

Kalau dulu Friendster sangat booming mendekatkan 'orang-orang hilang' dari penjuru dunia dan perjalanan hidup manusia. Berikut dengan fitur buletin dan testimoninya. Sekarang sudah sekedar menjadi alat penambah teman baru yang kita temui di lingkungan baru. Oh well, tentunya dengan testi-testi barunya. Seru sih. Namun greget dari membuka Friendster setiap harinya mungkin sudah mulai memudar ketika koleksi teman kita sudah mencapai angka ratusan. Belum lagi mulai dilarangnya membuka situs ini di kalangan pekerja kantoran. Secara dianggap merugikan bandwidth kantor.

Multiply juga demikian. Setingkat lebih advance dari Friendster, masih menyajikan ajang berkoneksi-ria. Dengan fitur yang lebih multi media, situs ini memungkinkan kita berekspresi lebih prima. Ajang tampil diri di dunia maya, mungkin begitu gua menyebutnya. Walau ujung-ujungnya sering berakhir dengan chatting layaknya sebuah debat kusir panjang di milis-milis yang... lagi-lagi wujud eksistensi sebuah komunitas masing-masing di dunia maya! :) Pun lambat laun akan menjalani pattern yang sama dengan pendahulunya Friendster. Dijamin.

Namun salah satu nyawa penting dari sebuah blog itu sudah mati. Orang tidak lagi menjadi penulis diary. Orang tidak lagi mengetengahkan sebuah pembahasan. Tidak lagi orang berkarya. Provokasi sekalipun sudah sunyi terdengar. Seperti sudah terlena dengan cepatnya jepretan kamera digital yang dengan cepat juga bisa dipertontonkan langsung ke khalayak... dunia maya. Jepret-download-upload-senang. A-B-C...D. Gampang dan cepat. Dan sesuatu yang gampang dan cepat biasanya akan terlewatkan begitu saja menurut sifat dasarnya.

Blog gua tercinta ini pun sepertinya sudah harus mencari format baru lagi. Agar tidak mati oleh zamannya sendiri. Agar tidak disamakan dengan sebuah era. Dan layaknya kecenderungan manusia, Friendster dan Multiply tadi, agar tetap eksis!

Teknologi sepertinya selalu membuat berang ibu penciptanya: berpikir.

Terima kasih Artie, atas pencerahannya.