Sunday, August 20, 2006

Tertawa Lebih Baik

Pada sebuah iklan di televisi terdapat sebuah adegan sepasang kekasih sedang berbincang-bincang tentang masa depan mereka. Sang pria menanyakan mau jadi apa anak mereka kelak. Sang wanita pun menjawab "Jadi kasir." Merasa kaget dan sedikit tidak berterima dengan jawaban kekasihnya tadi, sang pria kemudian menanyakan lagi "Masa kasir? Tinggian dikit dong.." Secara spontan sang wanita malah mencoba mengulang jawaban 'kasir' tadi dengan nada yang lebih 'tinggi'. Dan sang pria pun manyun.

Lucu. Nyeleneh namun segar. Walau memang gua sudah pernah mendengar lelucon ini jauh sebelum iklan ini ditayangkan. Pun lelucon ini beredar di antara gua dan teman-teman di lingkungan pergaulan. Bukan dalam tayangan nasional.

Tapi coba pikir lagi. Apa yang ada di benak seorang kasir yang mungkin secara reguler kita temui dalam ritual belanja bulanan kita, langganan rokok, kantin tempat kita sering ngutang atau mbak-mbak dan mas-mas yang selalu kita lewati tiap harinya di pintu tol?

Tergelitikkah mereka menyaksikan tayangan tadi? Terwakilkankah mereka dengan dialog itu? Tergerakkah mereka untuk kemudian merubah 'nasib' mereka ? Iya kalau lebih baik, kalau sebaliknya? Secara negeri ini selalu mempunyai kumpulan cerita klasik akan susahnya mencari pekerjaan dan tingginya angka pengangguran dari tahun ke tahun.
Gatel sekali rasanya gua untuk mengganti kata kasir tadi menjadi 'wakil presiden' atau 'asisten 1' atau 'jurubicara' atau jabatan/kasta lain yang tidak terpandang hina -kalau melihat ekspresi sang pria di tayangan tadi- namun toh masih mempunyai jenjang yang lebih baik lagi.

Tak apalah. Menjadi ketua RT yang sering disibukkan dengan urusan KTP dan surat keterangan sekalipun masih pekerjaan yang mulia jika benar dilakukan. Toh masing-masing orang melakukan fungsinya terhadap sistemnya. Kebayang gak sih, belanja seabrek-abrek tapi gak ada yang ngitungin di kasir, namun toh kita harus tetap membayar. Karena kalau gak bayar namanya pen..cu.. (pinteeeer..)

Hanya saja sekarang, gua harus lebih berhati-hati lagi untuk tertawa.
Lebih bijak lagi menyimak mana yang benar-benar bisa membuat diri kita tertawa dan mana yang bisa ditertawakan.

Stujuu..??
(Coba, kira-kira jawaban seperti apa yang bisa bikin lucu?)

"I had a feeling that I belong
I had a feeling I could be someone
Be someone.."
Fast Car, Tracy Chapman.

Saturday, August 19, 2006

Sisi Lain Kemenangan

Mungkin dalam kurun waktu belakangan ini, mendengar kata menang adalah sebuah kata yang membawa spirit sangat orisinil dan baru buat gua.

Sebut saja kekalahan kesebelasan kesayangan gua, Arsenal, yang kalah di babak final Piala Champions. Fakta yang sama terjadi juga terhadap timnas Perancis yang gua jagokan di Piala Dunia lalu. Dan beberapa 'cerita' lain yang tak perlu disebutkan sebab musababnya. Hehe.

Menerima kekalahan adalah gampang. Tentu saja si kalah mempunyai kelebihan akan kekurangan yang si pemenang tadi tidak punyai. Sesimpel itu. Kurang latihan, kurang beruntung, kurang jago, kurang curang dan lain lain. Si kalah pasti kurang. Karena kalau menang, umumnya apa pun kekurangan dari si pemenang tak ada yang mau meniliknya lagi.

Gua tertegun dengan kekalahan ini. Bagaimana gua bisa sangat hafal dengan subjek ini? Dan bagaimana gua sepertinya sudah sangat terbiasa menerima sebuah kekalahan.

Karena gua akhirnya menang.
Di sebuah pertandingan 17an di kantor, walau terseok-seok pada awalnya, gua dan partner gua Kemal bisa memenangkan turnamen biliar secara.. tidak bisa juga dibilang gemilang.

Memang tidak bisa dibandingkan dengan Piala Dunia atau Piala Gubernur, namun sensasinya tetaplah sama. Menanti waktu pertandingan seperti menanti persidangan kasus terberat. Melaju ke babak selanjutnya seperti dihadiahi karung-karung harapan yang orang-orang titipkan kepada kita. Dan ketika partai puncak pun tiba, perasaan seperti hampa. Satu-satunya pikiran hanya bagaimana harus menjalani prosesnya dan kemudian bangun keesokan harinya. Biar bagaimana pun kekalahan dan kemenangan itu sudah terlewati. Hari ini, hari baru lagi.

Gua mau mempelajari lagi subjek kemenangan ini. Apa saja kelebihan dan kekurangannya. Bagaimana harus menang lagi. Bagaimana menempatkan diri sebagai petarung, bukan pemenang. Dan bagaimana gua tidak harus mempermasalahkan menang atau tidak.

Gak penting!

To Thierry and Zizou, this is for you. But my daughter has all the prize.

"Though I saw it all around
never thought that I could be affected
thought that we'd be the last to go
it is so strange the way things turn"
Don't Give Up, Peter Gabriel

Monday, August 14, 2006

Gua Bukan Brad Pitt

Masih segar di ingatan gua betapa geramnya gua ketika pertama kali mendengar lagu "Tak Akan Ada Cinta Yang Lain" oleh Dewa19 dikumandangkan di radio. Huh! Intro lagu itu sangat mirip dengan lagu "The Other Side"-nya Toto*. Memang pada saat itu warna musik Dewa19 kerap sekali dibandingkan dengan Toto. Dan konon pada awal-awal karir mereka, Dewa19 memang sering membawakan lagu-lagu dari Toto. Sejak saat itu gua selalu memandang Dewa19 dengan sebelah mata.

Sampai akhirnya Once menggantikan Ari Lasso. Warna musik Dewa -yang kali ini lebih terdengar Queen, sesekali Genesis dan Led Zeppelin- pun semakin 'kaya'. Meski orang-orang semakin menuduhkan plagiarisme Dhani dalam berkarya, namun tidak seorang pun sekarang yang bisa membuktikan bahwa lagu-lagu mereka sekarang hanyalah contekan. Pengembangan dan adaptasi kekinian mereka sudah sangat baik diejawantahkan ke dalam musik Dewa. Terinspirasi, memang. Mengambil elemen musik dari grup tertentu, memang.

Mencoba menjadi Freddie Mercury? Peter Gabriel? Rhoma Irama?
Gua rasa Dhani dan Dewa19 sangat senang menjadi dirinya sendiri.

Enough about them lah. Mari kita bahas diri sendiri.

Sudah sejauh apa kita menjadi diri kita sendiri. Menjadi turunan dari bapak-ibu kita tanpa menjadi bapak-ibu kita sendiri. Bagaimana pohon itu harus berbuah lebih baik. Seperti menabung dan bunganya.
Sejauh apa kita mau menghargai diri sendiri tanpa harus membeo kepada orang lain. Sekolah lain. Kantor lain. Musik lain. Negara lain.
Dan sejauh mana kita mau memahami bahwa konsep 'orisinalitas' hanya datang dari jati diri kita sendiri.
Mustahil gua bisa menjadi Sting, Arsene Wenger, Brad Pitt dan Jojon sekarang ini. Namun baik buruknya inspirasi yang telah mereka berikan bisa menjadikan jati diri gua yang lebih baik.

Menjadi diri sendiri bukan sebuah perbuatan cela. Yang tidak perlu malu kalau tidak sama dengan si A. Yang tidak merasa kekurangan ketika si B berlebihan. Yang bisa mengetahui keunggulan lain yang si A dan si B tidak punya. Dan ketika menyebutkan namanya pun, tidak perlu membubuhkan 'aku anak (kepala) desa'.

Dulu Einstein dianggap jenius. Mungkin pada saat itu hanya sedikit orang yang mau mempunyai jati diri.


Terinspirasi tulisan "Pretentious"-nya Yoga, "Internasional"-nya Glenn dan buku "...Opposite"-nya Paul Arden.


* Kalau ada yang punya album Sting "Bring On The Night (Live)", coba simak lagu "We Work The Black Seam". Simak juga lagu "Yogyakarta"-nya Kla Project.

Thursday, August 10, 2006

Peduli Amat!

Ini bukan pesan menakut-nakuti.

Sekedar reminder buat kita saja. Barusan, ketika sedang browsing internet, gua merasakan ada sesuatu yang bergetar di kaki gua. Secara gua pernah merasakan langsung gempa yang terjadi beberapa waktu lalu di Jakarta, pikiran gua langsung saja mengacu pada kejadian itu. Mungkin gelombang ke dua. Karena imbasan itu bisa saja terjadi sewaktu-waktu. Hare gene, disentil apa-apa tentang bau bencana, orang-orang biasanya awas. Parno mungkin.

Ternyata bukan. Baru saja lewat teman gua si Garry yang punya bobot badan cukup buesar dari rata-rata. Tinggi gua yang rata-rata saja buat dia masih setingkat dengan bahunya. Dan gua yang merasa semakin gendut saja mestinya minder berhadapan dengan dia. Oh well.

Jadi, apa kabar?

Bagaimana keadaan rakyat Indonesia yang di Yogya? Terlaksana dengan baikkah program recoverynya? Pangandaran? Aceh? Nias?

Bukan telat untuk prihatin. Tapi gua memang sengaja mengetengahkan concern ini di saat sekarang. Di saat semuanya sudah hampir terlupakan. Tidak ada lagi pundi-pundi sumbangan yang disebarluaskan di samping meja kasir rumah makan. Mahasiswa (sepertinya begitu, mereka memakai jaket almamater) peliket yang sliweran di tengah-tengah macet yang harus bersaing dengan preman/pengamen setempat. Peduli ini, peduli itu.

Masih adakah sukarelawan yang berada di tempat kejadian? Sudah berapa banyak sekarang? Masih membuat macetkah? Artis-artis mungkin?
Kalo pemerintah jangan ditanya. Mereka sudah mengusahakan sedemikian rupa. Sampai-sampai ada yang terkena kasus penyelewengan dana bencana. Bukti sebuah upaya bukan?

Minggu depan Indonesia ulang tahun. Saatnya hore-hore lagi. Foto-foto perjuangan lagi. Pesta kampung lagi. Urunan tujuhbelasan lagi. Merah putih di mana-mana. Yang merah katanya darah. Yang putih mungkin golput. Bencana banyak darah. Golput juga banyak. :)

Moga-moga di Aceh begitu juga. Dan Yogya, dan Nias, dan Pangandaran. Mereka juga harus hore-hore. Ya nggak?

As for me, gua mah merdekain diri aja lah.

"Nothing really matters, anyone can see..
Nothing really matters.. to me..
Anyway the wind blooooooooows!!*dwewewewew...*"
Bohemian Rhapsody, Queen.

Tuesday, August 08, 2006

Insomnia

"Mak, aku pergi dulu. Berperang. Saudara-saudara kita dibunuh. Martabat moyang kita diejek-ejek. Nantikan pulangku dengan darah di bajuku." Anak itu pergi dengan sejuta semangat menggegap di dadanya. Tak didengarnya juga ibunya yang mengisak tangis.

"Ayo bung, bakar tempat ini. Demi kebenaran. Demi kebencian. Demi ketidak adilan yang mereka tebarkan selama ini. Demi kulit kita." Maka terbakarlah impian seorang pengusaha kecil yang baru saja jatuh cinta dengan gadis pribumi itu.

"Baiklah. 60-40. 5 persen setiap tahunnya. Atas namakan Amerika. Beberapa Jahudi. Orang-orang itu sangat suka melawan bangsa-bangsa itu. Luncurkan saja." Dan menangislah ibu-ibu yang terbangun oleh gempuran pagi dini hari itu. Teriakan histeris itu pun memanggil "Allah.."

"Kami tidak akan begini kalau mereka tidak begitu. Hendaklah mereka seperti itu agar kami bisa seperti ini. Sebaiknya pula orang lain seperti kami, tidak seperti mereka. Begini caranya:.." Mata-mata sipit itu berteriak tentang mata-mata sipit lawannya. Aku mencoba menjadi penerjemah muka-muka marah di televisi itu. Apa iniii, apa ituu..

Dan anak itu tadi terkesiap dari dendamnya. Segera dibayarnya mie instan tadi dan berlalu pergi. Pacarnya baru saja sms. Kangen.

Gerombolan itu sedang berlari terkencing-kencing dikejar pasukan keamanan. Yang temannya sendiri. Kulit mereka sama. Pengusaha tadi entah ke mana. Tidak ada juga yang perduli. Tetapi mereka sekarang sama lelahnya, berlari di tengah malam.

Si otak persenan itu tadi orang Cina. Kemarin orang Arab. Seminggu lalu terlihat seperti orang Amerika. Besok mungkin seperti Jahudi. Seperti FBI, KGB, Mossad, BIN, GIGN dan singkatan lainnya. Seperti nama-nama anonymous di blog. Sepertinya benar. Sepertinya salah. Seperti pengecut.

Dan 2 moyang bersaudara tadi pun masih berseberangan. Seperti agama yang mereka anut. Seperti kepercayaan dan istiadat yang mereka agamakan. Di dalam yang bumi yang sama, mereka harus ciptakan perbedaan. Seperti iklan saja.

Lalu bagaimana aku harus tidur malam ini? Mimpi ini sangat sulit.

Teringat lagu Runaway Train dan Misery, Soul Asylum.
Thanks ke Hari Prasetyo yang sudah mengingatkan.

Tuesday, August 01, 2006

Hantu Bermuka Hantu

Dalam perjalanan ke kantor yang macet tadi, di sela-sela boker yang nikmat, apalagi ketika sedang berusaha keras konsentrasi bekerja, ada satu wajah yang sering mencuri tempat di benak gua. Jangan menduga wajah itu akan mengantarkan ke suatu memori yang manis dulu. Bukan.

Wajah itu sepertinya biasa saja. Tidak jelek dan bahkan cantik pun relatif. Tetapi wajah tersebut, dalam simpanan slot memori gua, sangat berarti kekejian. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sangat mengundang perkelahian. Tatapan matanya seperti meremehkan. Membuat kita rendah. Juga seperti tidak sabar untuk memberi gua, atau kita, perintah-perintah yang menindas.

Ingin sekali rasanya gua berada dalam setting film Bram Stoker's Dracula. Di film itu, ada adegan tuan Dracul sedang berhadapan dengan si cantik Mina. Pada bayangan yang tampak di tembok, terlihat tuan Dracul seperti bergerak secara elastis menyergap bayangan Mina dalam rengkuhannya.
Hanya saja settingannya diganti. Adalah mulut gua yang menganga lebar sedang melahap kepala si wajah tadi. Lumat!

Harus gua akui lemahnya pikiran dan hati gua dalam menghadapi situasi ini. Mestinya dalam suatu pikiran bijak dan arif, gua bisa saja menghadapi hal seperti itu dengan tenang. Dan mungkin mengambil perspektif lain dalam melihatnya. Sukur-sukur bisa berada di atas wajah itu tadi. Bukan malah balik bereaksi senada dan malah terhantui ama muke itu.

Tapi ada baiknya gua share ke loe-loe pada. Sebutlah ini terapi. Anger management atau judul film lain. Dengan begini, gua sudah mengakui adanya ganjalan di dalam hati dan keluar mengakuinya. Agar tidak menjadi dendam kesumat. Agar tidak bertumpuk seperti jobreq. Dan nggak ketinggalan, bikin hari-hari loe jadi menyenangkan! (baca dengan nada iklan radio produk kecantikan remaja)

Kalau udah begini, wajah-wajah ngehe itu jadi ngga penting lagi. Boro-boro muke gua!