Friday, July 28, 2006

Kembalinya Si Anak Hilang

"Please, just this once."

Telepon terputus. Beberapa saat kemudian aku menerima e-mailnya. Data, foto, tempat dan kapan. Aku menarik nafas panjang. Gugup.

Oh well, just this once. Gambar-gambar itu kembali berkelebatan di benakku. Ibunya menangis. Adiknya sesunggukan. Ayahnya seperti tak mampu melihat wajahnya. Wajah-wajah tangis itu.

Sudah bertahun-tahun aku tidak melakukannya. Mengambil posisi, bergerak cepat, menjadi tak terlihat dan tiba-tiba langsung berhadapan dengan target. Sasaran. Korban. Apalah. Yang aku tahu bayarannya saja. Jutaan. Bahkan kalau aku suka, gratis!

Mataku harus awas. Satu derajat saja bisa fatal. Nafas pun harus tak terdengar. Dan jemari pun harus senyawa dengan perintah otak. "Yak, sekarang!" Tidak seperti rusa yang anggun. Mereka mempunyai pola yang terbaca. Merunduk beberapa saat, lantas melongok ke kiri dan kanan. Hanya alam yang menyuruhnya berlari. Selain itu dia hanya berputar-putar saja. Tapi ini manusia. Yang bisa bergerak secara impulsif. Yang leluasa berkehendak dan bergerak kapan saja. Dan itu, aku harus membaca pikirannya.

Ah.. di mana semua insting itu.

Dan jari-jariku semakin kaku mendingin. Kukepulkan nafas di antaranya. Kukepal-kepalkan tangan. Krtk..krtk.. jari-jariku kubuat rileks. Ritual yang selalu kulakukan sebelum beraksi. Mengembalikan lagi sensasi itu.

Di gudang, tas hitam besar itu seperti tersenyum memandangku. "Diam! Bantu aku menyelesaikan tugas ini." Ada sensasi yang menjalar ketika kembali menyentuh benda-benda metal itu. Dingin. Rugged. Masih kokoh dalam genggaman. Tak bisa kupungkiri bagaimana aku memang sangat merindukannya. Kucoba menutup mata dan merakit mereka satu sama lain. Masih bisa! Walau sedikit lamban. Tak apa, aku masih punya seminggu untuk menyempurnakannya. Kali ini kudapati mereka tertawa seraya mengejek. "Aku bilang, diam!!"

Kali ini mungkin tidak setelan hitam-hitam. Terlalu menyolok. Security zaman sekarang sudah semakin awas dengan penampilan yang eksentrik. Setelan batik saja. Agar lebih gampang menyelinap dan saru dengan intel.

Kupelajari lagi semua file-file tadi sekedar mengulang. Sekedar meyakinkan lagi agar aku benar-benar bisa melakukannya. Taksiku sudah menunggu bak mobil pengantin.

Sejenak sebelum menutup pintu, kutatap bayanganku di kaca. Kali ini dia berkata "Ayolah, kau fotografer handal!"

Ah ya.. fotografer kawinan!

Tuesday, July 25, 2006

Coba Lagi

Coba lagi.
Biasanya dipakai untuk satu tujuan yang belum tercapai. Satu, dua, tiga kali dicoba masih dalam taraf yang wajar untuk sebuah attemp. Konon sering menjadi frustrasi ketika kita mencoba berkali-kali.

Butuh waktu 2 kali untuk gua akhirnya diterima di perguruan tinggi negri. Walau akhirnya dropped out, itu lain cerita. Butuh berkali-kali pula untuk akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan setelah itu. Enak tidaknya pekerjaan itu, pun lain cerita. Dan masih banyak lagi proses kehidupan yang mesti dilalui berkali-kali.
Sebagian sudah menjadi rutinitas yang akhirnya menjadi kebiasaan sampai mulai kehilangan esensinya. Sebagian lainnya pula menjadi suatu impian yang belum kesampaian. Menjadi obsesi, cita-cita dan tak ketinggalan... frustrasi.

Tapi semua itu pastinya mempunyai proses yang bisa kita lihat progressnya. Selagi dicoba terus, pasti ada hasilnya. Anjing yang bukan manusia saja bisa dilatih walau sekedar duduk, tidur dan mendoyongkan tangannya untuk bersalaman.

Adalah Aceh, Nias, Yogyakarta (Merapi?), Pangandaran dan sekitarnya yang telah menjadi bencana kita. Korbannya banyak. Nyawa, materi, juga harapan. Dalam hitungan menit saja bisa terjadi perubahan yang signifikan.
Belum lagi konyolnya letusan bom di Bali, Kuningan, Marriot dan tempat-tempat lainnya. 1 detik ledakan itu menghancurkan ribuan nyawa. Membuahkan amarah yang semakin rumit. Dan menjadikannya beban buat masing-masing nyawa yang masih hidup. Kita.

Beberapa menit saja, bahkan 1 detik saja, cobaan itu datang.
Kalau saja setiap harinya menit-menit itu terpakai untuk sebuah renungan yang baik. Seperti ibadah. Seperti tepekur untuk sejenak 'idle' dari kesibukan yang menjadi rutinitas (yang mulai kehilangan esensinya itu). Walau tak menghalau gempa untuk terjadi, atau bom untuk meledak, paling tidak manusia ingat kembali akan keberadaannya sebagai manusia. Bukan anjing yang dilatih tadi.

Semua fenomena keprihatinan ini seperti lebih jelas lagi gua rasakan beberapa hari lalu. Ketika Jakarta digoyang gempa. Dari lantai 5 gedung kantor saja, nyata sekali goyangan yang gua rasakan. Membuat pusing dan mual.

Terbersit di pikiran manusiawi gua untuk sebuah teori.

Bukannya nggak mungkin Dia yang di atas sana sedang berpikir: "Coba lagi!"

"Barangkali di sana ada jawabnya
mengapa di tanahku terjadi bencana
Mungkin Tuhan mulai enggan
bersahabat dengan kita
Yang selalu salah dan bangga
dengan dosa-dosa.."
Ebiet G Ade

Tuesday, July 18, 2006

Y2K, Y3. Y?

Ketika sebuah brief menyematkan sebuah kata 'modern' atawa 'trend', tidak sedikit asosiasi pikiran orang yang mengarah suatu gambaran: rumah minimalis, pakaian silver, potongan rambut ajaib, musik techno (atau semakin susah dirasionalisasikan sebagai harmoni musik yang baik, akan semakin disebut musik yang bagus. Mmm.. maksudnya modern).

Dulu di bangku SD, ketika tersebut tahun 2000. Semuanya mengacu pada gambaran Tugu Monas diseliwerin piring terbang. Alat angkutan yang semakin canggih. Teori U.F.O seolah-olah dibenarkan oleh obsesi manusianya sendiri.

Sekarang 2006.
Celana jins kembali dipakai secara sobek. Tempelan sana-sini. Masih agak gengsi (mungkin) untuk kembali memakai terlalu banyak ice-wash.

Musik apalagi. Sebagai pacar setia zaman, selalu berevolusi membentuk dirinya sesuai waktu. Mulai twiggy, cutbrai, jaring-jaring, kulit.. apa saja udah dipakai. Yang penting eksis mewarnai dunia.

Gelombang "New Wave" agak tidak terlalu sukses bergaung, malah kembali ke nuansa vintage. Semakin terlihat seperti pegawai tata usaha era SD dulu, semakin cool! Sepertinya adik-adik sekarang mendapat warisan langsung dari udara yang mereka hirup ketika lahir di tahun itu.

Memang padanannya sudah beserta PDA, iPod dan laptop-laptop wi-fi. Dari bentuk yang paling besar, sampai kita tahu nantinya akan menciut menjadi ukuran yang sangat sulit dikenakan sekalipun. Berikut dengan ke-gaptek-an sana-sini.

Namun tetap saja segala sesuatu yang eksis sekarang ini akibat gagasan dari masa yang dilalui. Dari semua penjabaran di atas sudah bisa disimpulkan bahwa akan terus terjadi perubahan. Entah itu sesuatu yang mirip dengan "breakthrough", "new" atau "original". Atau sekedar "re-mix" dan "cover version". Semua berpola seperti itu. Berulang-ulang saja.

Jadi Jeng*,
Jangan lagi pakai kata 'modern' untuk kemasakinian. Jangan terhenti di zaman millenium silver. Y2K sudah usang. Sekarang ada Y3. Jangan juga menunggu Amerika untuk menamai kita Generasi X, S, M, L. Itu bisa-bisanya orang marketing aja. Seperti kita.

Oh iya, metroseksual itu bukan homoseksual.

*tulisan ini didedikasikan buat seorang kenalan yang tak perlu disebut namanya.

Friday, July 14, 2006

Siapa Sih Loe?!*

Photobucket - Video and Image Hosting
"Kawinin aja orang bule. Punya anak indo, gedenya kalo ngga jadi cover boy/girl, presenter atau jadi pemain sinetron. Pokoknya pasti ngetop deh."
Sampai sekarang paham itu masih bikin gua marah. Sepertinya tampilan luar yang mencengangkan orang Indonesia pada umumnya menjadi barometer sebuah jaminan hidup dan kepopularitasan. Dalam hal ini hanya segi popularitasannya saja mungkin. Wong jadi terkenal tidak menjadikan hidup terjamin gitu lho. Koruptor tujuh turunan sekalipun masih harus berusaha untuk tidak terkenal.

"Baru! Skin Whitening Bla Bla Bla." Sampai sekarang pun iklan beginian masih beredar di media. Semakin marak malah. Entah apa yang menggerakkan negeri yang dulu sempat mempermasalahkan orang-orang berkulit putih dan sipit ini untuk bertransformasi menjadi muka-muka putih cantik (dan sipit pada umumnya) yang terpampang di tampilan iklan itu. Begitu putih, begitu alami. Konon begitu. Oh ya, bisa dalam proses kurang dari 10 minggu! 9 bulan dalam kandungan saja masih belum bisa menentukan apakah itu laki-laki atau perempuan. Kenapa harus mempermasalahkan warna?

Dan bule itu bukan monster. Bukan penjajah. Bukan meneer. Bukan tuan. Dan tidak selamanya mereka superior. Bukan tidak mungkin dia menjadi teman kita. Bukan tidak mungkin dia menjadi komoditi. Bukan tidak mungkin kita bisa mempekerjakan dia. Bukan tidak mungkin pula kita membuat dia terbata-bata ngomong bahasa Indonesia. Jadi ngga usah mikir yang bukan-bukan. Bukan begitu?

Siapa sih kita?

Cuma negeri yang kaya raya dari pulau ke pulau. 200 jutaan penduduknya. Jauh lebih banyak dari negara lainnya. Sebuah pulau kecil saja bisa terbenam paksa olehnya.
Sepantasnya jumlah itu besar.
Sepantasnya unggul.
Sepantasnya menjadi pemenang.

Kalau kita berpikir.

*terimakasih pada pembuat jargon di atas. inspiring sekali!

Monday, July 10, 2006

Bencong

"Eh k*nt*l, eh kocrot, aduh mak, k*nt*l.. yuk yak yuuuk.."

Grrrrrr... dan tertawalah pemirsa akan tingkah laku latah si bencong yang tiba-tiba kaget akan sesuatu hal tadi.

Tidak jarang kejadian itu kita temui di lingkungan sosial kita. Baik itu bencong pengamen dung-tenet, banci salon (katanya), lakon-lakon hiburan di panggung televisi maupun tujuh belasan, sampai sebuah sajian audio di radio sekalipun.

Tingkah laku seorang laki-laki (sulit sekali menempatkan kata wanita untuk predikat bencong) yang berperangai dan berdandan perempuan itu seperti menjadi komoditi hiburan andalan untuk selalu membuat orang tertawa dan terhibur.

Seakan-akan kalau kita sudah mentok menyindir isu sosial yang berkepanjangan, ada bencong. Kalau terlalu kecut menyebut nama-nama orang berkuasa, sebut saja bencong. Pelawak mati kutu karena lawakannya tidak lucu, mulailah dia berlagak bencong. Cerita dua sejoli dimabuk cinta di antara prahara miskin dan kaya, atau beda agama..ada si bencong, pasti ceria!

Pun demikian, tidak umum juga orang yang mau bersinggungan dengan bencong ini. Lihat saja ketika si bencong mulai mendekati salah seorang penontonnya, tidak jarang orang mengindar. Geli. Atau ketika si bencong balik membalas cemoohan orang yang jahil melontarkan kata-kata yang membuat si bencong terpancing. Gua sendiri terkadang suka bingung harus bersikap bagaimana ketika mereka tiba-tiba menempelkan muke atau badannya di jendela mobil gua. Entah maksudnya memberi hiburan atau meminta sedekah. Konon, mereka itu berani sekali dalam berekspresi. Alamakjaaang!

Sebut saja gua naif, sok asik atau bencong sekalipun. Tapi hal ini cukup menjadi pertanyaan yang lucu sekaligus ironis buat gua.

Bagaimana sebuah tingkah laku yang segitu membuat orang bisa terhibur hanya berasal dari lawakan kata-kata kotor atau perangai seks. Sebuah suara tipis manits yang terpeleset menjadi bariton ketika menyebut sayur kol. Dandanan menor melebihi wanita cantik hingga bisa terlihat lebih seram dari Marilyn Manson. Berulang-ulang mereka bisa lakonkan itu, dan berulang kali kita bisa tertawa oleh itu. Dari dulu.
Sebuah ketabuan gender menjadi hal yang ditertawakan tanpa mau mengakui keberadaannya.

Jadi sebenernya siapa yang bencong?

Di akhir paragraf tulisan ini, gua tidak akan memberi konklusi, opini, atau rangkuman pendapat dari poin-poin di atas. Tsrah deh nek, eike dibilang apa.

Lebih baik gua bertanya lagi: apa pantes bencong itu lucu?

Yuuk.

Friday, July 07, 2006

Bola Pasti Berlalu..

Siapa pun yang menjadi pemenang di Piala Dunia 2006 ini, haruslah berbangga olehnya. Bagaimana pun mereka mewakili generasi baru persepakbolaan era sekarang. Konon pesta akbar dunia kali ini sarat dengan kontroversi. Tentu saja tentang diving dan gampangnya kartu kuning dan merah diacung oleh wasit.

Franz Beckenbauer, legenda sepakbola dari Jerman itu pun ikut gerah dengan fenomena di atas. Sampai-sampai dia ingin mengadakan sebuah seminar khusus membahas perilaku anak-anak nakal sepakbola itu. Bisa dimaklumi, di zamannya do'i, menerima hadiah tendangan penalti oleh wasit bisa dilihat sebagai hal yang tidak begitu penting. Cukup dilakukan sekedarnya saja. Tanpa harus ngotot menjadikan itu sebagai salah satu poin kemenangan.

Lucu juga sih. Seperti halnya Beckenbauer, gua juga mungkin pernah merasakan kegelisahan bapak tua ini. Tepatnya ketika gua berhadapan dengan fenomena-fenomena sekarang. Khususnya ketika mendapati adik-adik sekarang yang semakin advance dalam banyak hal. Bagaimana mereka bertingkah, berfesyen, bermusik dan lain-lain. Banyak juga yang tidak berterima di benak gua yang bisa dibilang.. remaja uzur.

Tapi jangan salah. Gua (atau kita!!) juga pernah mengalami phase yang sama. Bagaimana kita bertingkah aneh dengan sepatu Converse belang. Manjangin buntut rambut. Berlenggak-lenggok breakdance a la Turbo. Atau sekedar malu-malu menggandrungi Tommy Page dan Metallica!

Coba pikirkan, apa kira-kira yang ada di benak kakak-kakak pendahulu kita ketika mendapati kita berlagak seperti itu? Mungkin mereka langsung berpaduan suara : Badaaaai pasti berlaluuu..

Norma-norma sudah banyak yang berubah. Teknologi berkembang secepat kita mengerjapkan mata. Tidak lagi secepat membalikkan tangan. Sebagai hasilnya, cara berpikir kita pun lambat laun dipaksa untuk bereaksi lebih cepat.

Keperdulian Opa Beckenbauer dan segenap dunia yang bersuara sama tentu saja bukan pada kecanggihan teknologi atau ketertinggalannya oleh zaman. Ada satu esensi yang harus ditegakkan. Kebenaran.
Segala bentuk kemenangan jika dilakukan dengan benar akan terlihat pantas. Tanpa kekurangan sana-sini.
Cukup banyak pelajaran di kitab suci, ajaran agama dan dongeng-dongeng tidur yang memberikan referensi tentang itu.

Tinggal dicopy paste saja.

"Kini semua bukan milikku..
Musim itu t'lah berlalu
Matahari seg'ra berganti
Badai pasti berlalu.."
Chrisye


ps. Tulisan isi sekaligus mengakhiri bulan bola di blog ini.
Terima kasih! Ole! Ole! Ole!

Tuesday, July 04, 2006

Do or Dive

Photobucket - Video and Image Hosting
Selain keputusan-keputusan wasit di Piala Dunia 2006 yang sering mengundang kontroversi, tentu saja kita tahu juga urusan yang satu ini : diving!

Iya. Teknisnya adalah biasanya si pemain berpura-pura terjatuh atau bentuk foul lainnya untuk mendapatkan kesempatan tendangan bebas, penalti atau keuntungan lainnya buat timnya.

Layaknya sandiwara, skenario ini harus dilakukan dengan kemampuan acting yang meyakinkan dan kesempatan atau momen yang tepat. Juga posisi wasit dalam hal ini harus sangat diperhitungkan. Maklum, biasanya wasit baru bisa benar-benar melek dengan situasi genting itu setelah akhirnya melihat video replay yang mampu merekam dari segala arah. Itu pun, sialnya, setelah pertandingan usai. Setelah keputusan dijatuhkan. Seperti cerita di film-film di mana polisi yang selalu datang ketika kejadiannya sudah terjadi. Bukan mencegah.

Sebuah majalah bola di Eropa bahkan mengiklankan majalahnya dengan menggambarkan sebuah situasi mirip camp konsentrasi a la Nazi, di mana di situ sebuat kesebelasan berjaketkan ITALIA sedang berlatih bagaimana bersandiwara diving yang baik. Misalnya berlari normal lantas tiba-tiba jatuh tanpa sebab. Atau sengaja mengantukkan sesama kepala pemain lantas terjatuh dengan ekpresi muka yang sakit teramat sangat. Dan banyak lagi adegan lucu lainnya.

Ya. Teknik diving memang sudah sangat rancu dipakai menjadi salah satu strategi bermain untuk menang. Tidak melulu strategi bertahan, ball possesion, kolektif, main hoki, samba, reagge, atau klasik disco sekalipun. Disadari atau tidak, setuju atau tidak, diving sudah menjadi bagian dari permainan. Lucunya pula, bentuk kecurangan seperti ini bukannya hal baru di dalam pertandingan sepak bola. Hanya saja baru mendapat nama yang tepat untuk bentuk aktifitasnya.

Bagaimana kita menyikapinya? Kembalikan saja kepada pelakunya. Toh konsekwensinya dia juga yang menghadapi.

Mungkin diteror oleh sekelompok mafia. Mungkin ditolak oleh klubnya sendiri. Mungkin mandeg dalam berkarir. Mungkin dimaki-maki satu negara. Bahkan seluruh dunia. Dan bukannya tidak mungkin diver tersebut bisa menjalaninya dengan senyum lebar. Belaga gila. Di dunia nyata aja banyak orang bokis, kenapa di sepak bola kita mesti tutup mata?

Tapi percaya deh, orang bokis nggak kan ke mana-mana.

Monday, July 03, 2006

Si Kalah

Bukan.

Gua tidak akan membahas kalimat-kalimat tentang kekalahan seperti: 'kemenangan yang tertunda', 'kekalahan oleh sebab', 'kami tidak menang karena mereka lebih baik', 'okelah tahun ini, tahun depan masih bisa', 'mereka pantas menang, mereka curang' dan lain-lain sebagainya.

Sekali lagi bukan.

Kalimat-kalimat di atas sudah terlalu sering terucap sebagai salah satu media pelipur lara akan sesuatu yang tidak bisa kita dapatkan. Sebuah penyemangat (mungkin) untuk bisa lebih bekerja keras lagi, entah kapan kesempatan itu akan datang lagi.

Ada baiknya menjadi 2nd best.
Bukan si jawara yang jumawa. Si nomor satu yang puas. Si pemenang yang berkuasa. Atau si culas yang curang sekalipun.

Mei 2006. Ketika itu kesebelasan kesayangan gua, Arsenal, kalah dari Barcelona di final Piala Champions. Pun di Liga Inggris mereka harus terseok-seok di urutan ke 4 dengan nafas terakhir. Oke, jadi season depan harus bermulut besar seperti Mourinho atau simply memang harus lebih jago melebihi siapa pun lawannya.

Belanda, Spanyol, Inggris, Argentina, Brasil sekalipun sudah tidak bertanding lagi di World Cup 2006 ini.

Friends, menendanglah lebih keras! Jadi kalau penalty shoot, kipernya susah nahan.
Lakukan diving cantik seperti Itali mungkin. Buat mereka yang penting menang, bagaimana pun caranya.
Be the underdog, until the dog bites. Jadilah yang tak terduga. Umur ngga bisa bohong. Begitu juga dengan pengalaman.
Dan siapa pun yang menang nanti mungkin belum tentu tahu akan hal-hal ini jika mereka tidak terlalu silau dengan kegembiraan.

Jadi ada baiknya menjadi yang tidak menang. Jauh lebih tidak puas akan keadaan. Lebih bisa merasakan keingin tahuan untuk memecahkan masalah. Masih marah akan kekurangan. Akan selalu lapar. Stay Henry, kata orang. :)

Tidak semua kekalahan itu harus dipandang dari sisi kemenangan.

Tentu saja ini sekedar teori.

Untuk menang.
Photobucket - Video and Image Hosting
*terinspirasi orang-orang cengeng akan kekalahan.