Wednesday, May 24, 2006

Khayalan Tingkat Tinggi 2

Photobucket - Video and Image HostingCan I get you anything, mister?" tanya si waiter sok nginggris. "Ndak usah, makasih." jawabku sok njawa.

Sudah satu jam kuhabiskan waktu di sini. 1 porsi Pad Thai yang tak begitu enak, minuman soda dan 2 gelas kopi yang dahsyat nikmatnya. Menunggu dan menunggu.

Sekali lagi tombol refresh kutekan di layar monitor komputer. Header.. kerlap-kerlip promo yang jumpalitan kian ke mari.. berita utama.. menunggu lagi judul berita utama tadi.. masih belum juga ditampilkan.. dasar internet lelet!.. dan menunggu lagi.

Tak sabar kubuka WAP services dari pda phone. Meski ribetnya minta ampun, aku rela demi satu berita yang sangat ditunggu-tunggu itu. Log-in, menunggu.., dan mengetik alamat yang dicari. Skenario tadi pun berulang, Header.. kerlap-kerlip promo yang jumpalitan kian ke mari.. berita utama.. menunggu lagi judul berita utama tadi.. masih belum juga ditampilkan.. Begini ternyata rasanya disuruh untuk bersabar. Selalu dihadapkan dengan kenyataan yang itu-itu saja. Pola dan urutan yang itu-itu juga. Huh!

"Kopinya nambah lagi, bapak?" kali ini dia membumi. "Another one, yes. And get me the bill, please." lagakku bak orang New York. Dia bingung sejenak, lalu menjawab "Menejer di sini namanya Djoko, bapak." Oh well, ya sudahlah. "Minta bon!" seraya jariku membentuk gerakan kotak.

Sudah jam 4. Dua jam setelah instruksi mencari konfirmasi berita tadi. Belum juga ada titik terang. Sekelilingku seolah-olah tak perduli akan apa yang sedang terjadi. Sibuk dengan powerpoint masing-masing. Mungkin sidejob. Mungkin interview. Mungkin menunggu berita juga, seperti aku.

Ah mana mungkin! Berita ini tak boleh diketahui oleh banyak orang. Setidaknya tidak sekarang. Bisa-bisa segala plot yang sudah direncanakan gagal berantakan. Top Secret. Classified. Kaum elit. Jaringan khusus. 'Tau sama tau tapi Anda belum tentu tau apa yang saya tau dan saya akan kasi tau apa yang Anda perlu tau saja'. Konspirasi, hanya itu bentuk yang boleh diketahui. Pun oleh orang-orang yang boleh tau.

Kukeluarkan lembaran Soekarno-Hatta untuk membayar si bill tadi. Lagi-lagi dia kembali dengan wajah ragu dan sedikit takut. "Anu.. pak, duitnya.." katanya cengengesan. "Kenapa? ini duit 100 ribuan baru. Kamu tau kan?" hardikku mulai tidak sabar. "Ini uang 10 ribu, bukan 100ribu. Bon bapak Rp 87 ribu, pak". Oh. Sekali lagi aku harus salut kepada perancang uang ini. Bisa-bisanya membuat kemiripan yang sangat kasat mata. Entah apa tujuannya.

4.15.
Tidak mungkin lagi menunggu. Internet tadi masih menampilkan berita kasus Bupati. Hanya pengembangan berita saksi sebagai lanjutannya. That's it, aku telfon saja penghubungku. Dua jam waktuku sia-sia berperan sebagai laki-laki metroseksual duduk di pojokan coffee shop seolah sedang menunggu kencan diam-diam.

Open inbox, read message, options, call.

"Anda.. terhubung.. dengan.. no"

OK. Mungkin 10 menit lagi.

Si waiter tadi pun sudah kembali dengan kembalian si bill. Satu lembaran 10 ribu dan beberapa koin. Sudah tidak ada lagi permen sebagai kembalian. "Kip de ceng" kataku dalam hati. Segera kubereskan segala gadget-gadget mutakhirku untuk bergegas pergi.

Langkahku terhenti lagi oleh si waiter. Dia menyodorkan sebuat tisu kepadaku. "Dari bapak yang berdasi itu" seraya menunjuk ke arah seorang laki-laki di pojok seberang. Tampan. Rapih. Flamboyan. Lebih parlente dari penampilanku. Alarm biologisku pun langsung berdering siaga. Not again, please. Harus berapa kali aku menghadapi pandangan berarti itu. Plis de.

Dengan tenang kubuka lembar tisu tadi. Begini isinya:

"Diese sutra stabil. Tinta janda metong, bow. Aborsi ya, nek"

Oh well.

Monday, May 22, 2006

Ajep-Ajep-Ajep..*

Mungkin cuma generasi anak-anak gua yang tidak mengenal siapa figur Pak Harto. Presiden ke dua Indonesia yang memerintah selama 30 tahun lamanya. Dan selama 3 dekade masa kepemimpinannya, tentu saja, sudah banyak yang terjadi. Dari larangan PKI, potret-potret pembangunan (baca: traktor kuning tampak sedang membangun sesuatu di sebuah lahan, diiringi lagu keroncong, dapat dinikmati di acara penghabisan TVRI), kemenangan Golkar berturut-turut dalam Pemilu dan mestinya masih banyak lagi istilah/trend/fenomena yang pernah ada dalam kurun waktu segitu.

Dari semua potret-potret pembangunan yang terlihat, memang banyak hal-hal tidak terlihat yang menjadi permasalahan rakyatnya. Setelah turunnya beliau di tahun 1998, barulah satu per satu mulai mengorek kembali apa yang dulu dianggap tidak pantas.

Hingga sekarang, ketika beliau dikatakan krisis dan tidak layak untuk memenuhi panggilan pengadilan, orang-orang tampaknya semakin gemas dengan ketidakpastian ini. Semakin terlihat menghindar, semakin rasanya ingin membenarkan bahwa beliau memang bersalah dan harus dihukum.

Seminggu belakangan ini sering gua melamunkan issue Pak Harto ini. Apa iya dia sebersalah itu? Apa iya sudah separah itu hancurnya? Apa iya yang begituan gak bisa dimaafkan? Apa iya maaf itu tidak berlaku bagi dia?

Terus terang gua gak kenal Pak Harto. Gak pernah berjabat tangan atau berbincang. Tidak pernah secara langsung gua merasa dirugikan oleh beliau. Cuma pernah dengar cerita-ceritanya. Pun dirugikan, yang berbuat tuh so called kroni-kroninya.

Jadi menurut gua kasus Pak Harto ini gak gitu penting.
Lebih penting ngelanjutin apa yang dia udah wariskan ke kita. Mau itu yang beres kek, yang gak beres kek. Dibilang apes, so be it! Karena toh yang paling penting sekarang adalah begitu.

Ada saatnya memang kita mengidamkan keadilan, kebenaran yang tegak dan kehidupan yang pantas. Tapi bukan melulu itu saja yang selalu kita impikan dan hadapi.

Masih ada iPod. MacBook Pro. Dugem. Ngopi. MNG-Zara. Mobil ceper dengan spinning wheels yo! *sowatgituloh*. Rock N Roll. Infotainment. Playboy. RUU Porno aksi. Buruh. World Cup 2006.

Kita. Anak kita. Besok.

Masih banyak.

* Judul tersebut terinspirasi dari gaya tripping jaman dulu. Tentang ketidakpastian. Mau ini mau itu. "Be this, be that,.. triping..tidak. triping..tidak. Putri.. pudar. Putri..pudar" Hanya saja sekarang begitu modifikasi bunyinya.

Wednesday, May 17, 2006

Hadiahnya adalah...

Apa yang kita dapat dari sebuah janji?
Apa yang kita dapat dari sebuah target yang terpenuhi?
Apa yang kita dapat dari sebuah karya yang baik?
Apa yang kita dapat dari sebuah strategi pitch yang baik?

Keempat pertanyaan di atas biasanya menghasilkan sesuatu yang positif. Tepat waktu, kepuasan, apresiasi dan kemenangan.

Agak berbeda dengan janji gua yang satu ini.
Di malam-malam suntuk pitching yang sepertinya akan selalu menjadi agenda hari-hari esok gua dan teman-teman di kantor, muncul sebuah ide yang mungkin bisa memecahkan kebosanan rutinitas pitching forever ini.

Gua berjanji akan mentraktir 2 gelas Starbucks ukuran venti bagi siapa yang bisa menebak kapan semua materi pitching ini akan rampung. Siapa saja yang bisa menebak paling dekat selisih waktunya akan menjadi pemenangnya.

Bisa ditebak reaksi dari teman-teman. Semuanya 'memasang taruhannya' seprediktif mungkin. Bahkan ada yang sangat optimis kalau kita bisa kelar satu setengah jam setelah sayembara ini diumumkan. Ada juga yang memasang target paling lama. Secara mungkin dia menyisakan ruang error buat segala kemungkinan. Huh! Play safe! :)

Seperti mendapat angin surga, ada sebuah spirit kompetisi yang terjadi. Semua pihak yang terlibat menjadi semakin bersemangat ingin menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Semua menjadi atentif. Mendadak teliti dengan setiap detail. Menjadi tak rela kalau harus melihat salah satu temannya yang akan menikmati 2 gelas kopi fusion itu 2 hari berturut-turut. Dan gua juga takjub sendiri akan reaksi mereka.

Benarkah hadiah itu adalah segalanya?
Yang bisa membuat kita bergerak. Terbangun dari kemalasan. Bersemangat menuju suatu tujuan. Termotivasi untuk menang.

Award, pamrih, kekuasaan, uang, kemenangan dan teman-teman kata yang bersahabat dengannya, menjadi ganjaran dari sekedar apa yang sudah kita berikan. Dan apa yang harus kita berikan.

Mengajak kita melihat sesuatu dari sudut pandang lain dari sekedar kewajiban.

Akankah di setiap kehidupan kita harus bertuju pada hal itu?

Mudah-mudahan semua tujuan itu haruslah tujuan yang baik.

Tuesday, May 02, 2006

Mati Gaya

Belakangan ini sangat susah buat gua untuk mencari bahan tulisan di blog kesayangan ini. Menjadi susah karena gua pernah berjanji kepada diri sendiri untuk menulis paling tidak 1 tulisan setiap minggunya sejak blog ini ada.

Sirik juga sama Alia yang bisa dengan sangat produktif menulis setiap ada kesempatan atau inspirasi apa saja yang kebetulan nyamber ke kepala dia. Walau gua agak berteori sedikit bahwa tipis bedanya produktif dengan bawel dalam hal ini. Hi hi hi hi. Becanda Al!

Padahal ada kasus buruh, yang dari seminggu yang lalu ramai dibicarakan. Kasus kekerasan di Tuban. Pramoedya meninggal. Inul ‘diusir’ FBR. Arsenal ke final Champions!! Sepatu baru dari Taman Puring. Pitching-pitching berkepanjangan dan masih banyak juga hal-hal happening yang mestinya bisa memberi inspirasi buat gua untuk dituliskan menjadi suatu bahan pembahasan (yang diharapkan.. menarik untuk dibawa pulang).

Tak satu pun mengusik pikiran gua.
Sepertinya hal-hal tersebut di atas lewat begitu saja bagai sebuah rutinitas yang tidak ada dinamikanya.

Kekerasan sudah lumrah. Terlalu lumrah hingga bisa diabaikan hampir di setiap siaran jam 12 siang.
Demo, kok ya udah biasa. Paling-paling macet dan apa yang didemokan biasanya tidak terdengar lagi seminggu kemudian.
Orang sudah pasti mati. Apalagi memang sudah tua.
Arsenal ke babak final toh masih menunggu harinya untuk benar-benar jadi juara. Jadi jangan takabur. Pun juara, jangan takabur!
Inul?.. Inul apa Rhoma nih? Yang mana nih? Yang jelas dong..
Kalau pitching mah jangan ditanya. Konsekwensi mutlak menjadi buruh. He he.

Tapi lantas terpikir oleh gua, kenapa nggak nulis aja tentang ke-mati-gaya-an ini. Iya toh? Ini toh sebuah issue. Mentokness adalah suatu hal yang perlu dipahami. Bukan malah dihiraukan lantas menjadi kebiasaan. Apalagi nyerah. Lebih jelek lagi, menyerah dan mencari kambing hitam. Dan kita pun berputar-putar di situ saja.

Teringat sebuah cerita tentang perumpamaan batu.
Seorang anak diperintahkan bapaknya untuk menggeser sebuah batu karang yang sangat besar sekali. Setiap hari tugas itu harus dijalankannya. Si anak walau jenuh dan putus asa tetap mencoba menggeser karang tersebut. Setiap harinya.
Hingga pada bulan ketiga di hari itu si anak lantas memberanikan diri untuk protes pada bapaknya. Sang bapak lantas tersenyum dan menjawab, “Memang mustahil karang itu bisa kau geser dengan tubuh kecilmu. Tapi lihat, kini badanmu tegap dan sehat. Tak pernah sakit karena disiplin yang kau terapkan sendiri pada tubuhmu.”

Gua? Tegap? Ya enggak juga.

Tapi kalau kita bisa berhenti sejenak dan berpikir. Tanpa beban tenggat waktu. Tanpa beban janji. Tanpa lawan. Tanpa kawan. Hanya kita dan ruang waktu itu.

Mestinya kita waras-waras saja!

"The only thing these agents often fear is.. that stillness."
(dari film "Munich")