Thursday, September 29, 2005

Ruang Kosong

Image hosted by Photobucket.com“Lorong Jiwa” orang-orang menyebutnya. Ruangan itu memanjang ke dalam seperti lorong. Di kanan-kirinya terdapat rak-rak buku.
Dari situ Pendeta Ken sering ‘mengambil’ petuah kata dan nasihat. 'Seperti tertulis di kitab ini... Seperti tercatat di kejadian ini... Seperti arti dari lukisan ini...' Banyak sekali pengetahuan dari lorong itu. Juga kedamaian.
Siapa saja yang memasuki ruangan itu seperti mendapat penyegaran hidup. Walau tidak pernah terjadi mujizat mata dan hal-hal lain seperti acara di televisi. Semua senang, semua penuh, semua semangat.

Tapi hari ini bukanlah hari yang biasa. Ruangan itu terkunci. Sudah 4 hari dia berada di dalam ruangan itu. Hanya beberapa staf gereja saja yang diizinkan masuk. Pun untuk mengantarkan makanan. Tidak lebih dari itu. Pendeta Ken terlihat bungkam. Senyum kesehariannya digantikan oleh cambang putih di sekitar rahangnya. Lantainya berserakan oleh buku-buku. Rak buku itu pun terlihat lengang dan kosong.
Hanya itu yang bisa diceritakan seorang penitua ketika keluar dari ruangan itu.

Jemaat pun mulai bertanya-tanya apa gerangan. Beberapa jadwal rutin gereja tertunda oleh ketidakhadiran Pendeta Ken. Mereka mulai khawatir akan perubahan yang begitu drastis ini. Ironisnya, untuk bertanya langsung saja sepertinya berat sekali. Wibawa Pendeta Ken mampu mengalahkan keragu-raguan mereka. Jemaat itu terlalu mengagungkan sosok pendeta itu. Dia adalah bapak, pemimpin, mentor, sahabat bagi semua orang. Hanya saja mereka menempatkannya lebih tinggi dari biasa.

Hingga diutuslah Pendeta Rick, sahabat dekatnya, untuk datang menemui Pendeta Ken. Sahabatnya yang temperamental ini dipercaya bisa memecahkan teka-teki yang sudah hampir seminggu ini membuat risau banyak pihak. Pendeta Rick terkenal ‘straight forward’ dalam bertutur. Keras, cenderung membentak. Sering sekali tidak terbantah dan mengundang kontroversi. Hanya Pendeta Ken yang mampu berbicara dalam bahasa yang sama dengannya yang kemudian mengejawantahkan pendapat-pendapatnya ke dalam bahasa yang lebih dimengerti awam.

Tapi kali ini justru situasi berbalik. Pendeta Rick harus memainkan peran yang tidak biasanya dia lakoni. “Menjadi si baik ??” guraunya dalam hati.

...

Pendeta Rick tiba 1 hari kemudian setelah panggilan itu. Sudah hampir seminggu artinya.
Ketukan pintunya saja sudah membuat Pendeta Ken tersenyum. Siapa lagi yang mengetuk pintu dengan irama “Hallelujah-Handel”.. pasti si Rick!

“Kau tahu kenapa aku di sini, kawan?” kalimat pertama yang terucap Pendeta Rick. Si straight forward. Pendeta Ken menjawab dengan senyuman kuyu. Mukanya memucat kurang matahari. Di keningnya selalu ada keringat dingin. Dan kerutan itu bertambah, menurut Rick.

“Kau tidak seperti ini Ken. Kau selalu punya jawaban. Kau selalu tahu segala hal. Orang-orang selalu datang padamu dan sekarang pun mereka datang padamu untuk mengetahui keadaanmu…” Rick mulai emosi “ keadaanmu yang bungkam ini..”

Muka Ken mulai berubah. Tak kuasa ditahannya lagi. “Rick, kita sudah berapa lama menjadi pendeta..30 tahun bukan? 30 tahun melayani umat Tuhan. Menjawab panggilanNya. Memberikan inspirasi bagi mereka yang putus asa. Memberi dorongan bagi yang berduka. Bergelut dengan problematika manusia. Bergumul dengan kepercayaan. Diancam. Dipertanyakan. Dituntut untuk selalu benar. Zero error..

“Apa maksudmu? Kau mulai kehilangan kepercayaan oleh pekerjaanmu?” Rick menyambar tidak sabar. Cemas sahabatnya kehilangan keyakinan. Setelah sejauh ini.

“Bukan.” bibir Ken mulai bergetar. Suaranya parau “Bertahun-tahun aku berdoa padaNya. Berbicara padanya. Akan segala hal. Tentang menjadi pendeta. Tentang menjadi manusia. Beribu-ribu doa sudah. Beribu-ribu AMEN. Tapi sekarang aku merasa ada yang hilang. Ada yang tak kudapat lagi belakangan ini.”

“Kau sudah lupa berdoa?” tebak Rick khawatir.

Ken mulai menangis.

“Ya. Kurang lebih. Aku kehilangan doaku. Aku kehilangan baiknya doa. Aku kehilangan apa artinya berdoa. Semua kuucapkan saja. Semua kuceritakan saja. Semua kumohon saja. Tak kudapat lagi harapan sebuah doa itu. Aku malu. Banyak orang kuajarkan berdoa. Kuajarkan pada mereka untuk memuji dan meminta juga berharap. Doaku hilang!!”

“Kenapa tak kau minta saja padaNya? You know.. berdoa!”

“Aku lupa.”

“Mari kawan.. mari kita berdoa..”

...

Keesokan harinya, dan hari-hari berikutnya, Pendeta Ken kembali melayani umatnya di gereja itu. Tidak ada lagi ruang terkunci. Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan tentang doa. Dia semakin giat mengajak orang berdoa.

"And in the naked light I saw
Ten thousand people, maybe more.
People talking without speaking,
People hearing without listening,
People writing songs that voices never share
And no one deared
Disturb the sound of silence.."
Simon & Garfunkel, Sound of Silence


*Thanks to Jaja atas judulnya.

Tuesday, September 27, 2005

Melamun

Di pekarangan rumah. Rumput hijau. Bunga-bunga. Nemenin Kiara lagi makan. Mengganggu tepatnya. Wong lagi makan kok dicium-cium terus.

Di pantai. Kuta, mungkin. Pasir. Kiara main air. Mamanya mungkin udah bilangin supaya jangan berlama-lama di air. Mungkin tangannya mulai keriput. Ah Papa juga gitu dulu. Mama juga.

Suatu sore yang acak. Nonton di 21. Belum tentu film anak-anak. Bedua aja ama Kiara. Nanti dijemput sama Mama.

Jam 2 pagi. Terbangun. Papanya berisik banget nonton Arsenal. Kiara ikutan nonton. Sampai akhirnya tertidur. Biasanya juga Papanya yang ketiduran duluan.

Hari Minggu di depan piano sama Kiara. Kalau bisa ngga usah lagu-lagu "Pada Hari Minggu". Langsung aja ke “Til There Was You”.. atau “I Will”. Tapi jangan “Blackbird”. Terlalu dini. Terlalu dalam.

“Papa, who is Sting?”. Mungkin gua akan melanjutkan cerita Piglet tadi.
Dan suatu hari nanti gua toh akan belajar hal-hal baru lagi. Dari yang dia pelajari. Mungkin Mandarin, French, Kumon, dan yang pasti hidup.

...

5 menit lamunan yang menyenangkan sampai seseorang membuyarkan dengan:

“Dik, lay outnya udah jadi. Tolong di cek.”

Huh.

Monday, September 26, 2005

Priwiiiiiiit, Merah loe!!

Robin van Persie dari Arsenal terlibat duel dengan salah seorang pemain Westham United ketika hendak merebut bola. Pluit wasit segera berderit. Para pemain pun segera mengerubungi wasit sembari memberi argumennya. Dan ‘priiit!’ sekali lagi dibarengi dengan kartu kuning buat Teddy Sheringham. Lho?
Iya, ternyata Teddy terlalu bersemangat protes sehingga menurut si wasit dia berhak mendapat peringatan atas attitudenya tadi.
Beberapa waktu lalu Wayne Rooney dari MU juga begitu. Dikeluarkan dari lapangan karena aksi tidak senonohnya mengejek wasit dengan bertepuk tangan di hadapan wasit sebagai bentuk protes terhadap keputusan yang dia anggap sok asik.

Kelanjutan dari kejadian tadi menjadi tidak penting. Gua lebih tertarik akan sosok seorang wasit di lapangan tadi yang bisa berbuat absolut tanpa terbantah atas segala keputusannya. Mau ngasi kartu kuning kek, mau merah kek, mau berhentiin permainan kek, apa aja lah. Selagi masih dalam kisaran 90 menit permainan itu, boleh! Kalau pun nantinya ada keputusan yang tidak bijak atau pun salah, itu soal nanti. Mungkin bisa direvisi dan minta maaf.
Manusia gitu lho.

Kebayang ngga sih? Punya kekuasaan absolut seperti itu..
Mungkin dengan bermodalkan sempriwitan kita bisa berkendara di jalanan sambil mem’prat-prit’ orang-orang yang kita anggap layak mendapat peringatan dan bisa-bisa dikartu-merahkan dari jalanan. Satu solusi mimpi yang sangat menghibur di zaman sekarang ini. Pak polisi yang di jalan pun ringan bebannya.

Atau mungkin atasan kita yang sering kita anggap menyebalkan. Secara mungkin dia juga menganggap kita sebaliknya. Kalau suatu ketika kita menemukan konflik dengan dia, tinggal di‘prit’ aja. Selesai.
Hal ini berlaku juga untuk klien-klien (mungkin topik yang ini lebih banyak peminatnya. Ngaku aja lah) yang sering membuat hidup kita menderita dari yang kita bayangkan. Daripada capek mendengar keluhan mereka atau bertengkar dengan pemikiran-pemikiran mereka, kenapa gak dipriwit aja.

Beri peringatan. Keluarkan dari lapangan.
Hebat bukan?

...

Jadi teman-teman,
Sudah berapa kartu kuning yang kita dapatkan sampai akhirnya mendapat kartu merah?

Mungkin saja dari jalan raya beserta bangsat-bangsat jalanannya.
Mungkin juga dari bos yang menyebalkan tadi. Atau temen bos yang jadi klien itu.
Mungkin juga dari klien yang selalu benar itu.
Mungkin juga dari temen sendiri. Kekasih sendiri. Keluarga sendiri.

Lebih-lebih dari Tuhan.
Tuhan gitu lho.

Friday, September 23, 2005

A Love Letter (Revisited)

My Darling,
How are you? It has been a month since I last heard from you. Are you eating well? Don't forget to wear your scarf which I have put in your bag. You always forget to wear it. Too dandy !, you always said. Please wear it. Winter is coming. There might be some storms too.

“You will receive the most beautifully written letter that you ever read” That is what you told me when you said good bye. I was not really listening to you. I was too busy kissing you. I kissed you again. I looked at you. The handsome face. I kissed and hug you over again. I know you will be gone for a long time. I was savouring my last moment with you.
Don't go, I said. I must, you told me with your eyes. Your dreams come above everything else. Even me. I will wait for you. You'll see.....you will understand later.

So who is she?
The one that made you blushed and quiet. Someone that you keep to yourself. You won't share with anyone. Is she taking good care of you ? as well as I ? Do I have to compete with her ?. It's allright. I will still wait for you here. You can even bring her with you.

My Darling,
When are you coming home? The weather has been getting colder. The neighbors are staying indoor already. No one to talk to anymore. The street is empty except for the sound of wind. Not even a whisper heard. The leaves are changing its color. I am getting old.

Please come home, darling…
Mama

(Inspired by the film "The Motorcycle Diaries (Diarios de Motocicleta)" and memories of past love letters)


(Diterjemahkan oleh Mas Yoodi. Very very tengkyu, Mas!)

Sunday, September 18, 2005

Suka Nggak Suka, Ya Suka-Suka.

Gua pernah tinggal di Medan, Singapur, Bandung, Sydney dan sekarang di Jakarta. Dari kota-kota tersebut, di setiap tempat ibadah yang gua datangi selalu saja ada pendeta yang menjadi favorit. Biasanya yang masuk kategori favorit tersebut adalah pendeta yang berkhotbah dengan alur cerita yang menarik, mungkin jenaka, gampang dimengerti, dan yang pasti, pendeta tersebut pintar.

Setiap kali pendeta-pendeta tersebut yang akan berkhotbah, pastinya gua akan dengan tekun mendengarkan. Layaknya pelajaran matematika yang sedang menerangkan jalan pemecahannya ketimbang permasalahannya. Dibarengi senyum-senyum sumringah dan posisi duduk yang agak gelisah karena terlalu bersemangat.

Sebaliknya, kalau kebetulan pendetanya tidak begitu menarik atau bahkan tidak berkenan di hati, dengan ogah-ogahan gua mendengarkannya sambil berharap khotbah tersebut selesai dengan cepat. Dalam kesempatan lain, kalau tidak ngantuk, juga biasanya gua akan berargumentasi di dalam hati akan topik-topik yang diketengahkan. Entah itu protes, mengupas sendiri permasalahannya, atau bisa jadi akhirnya gua membuat teori sendiri.

Secara tidak sadar dua hal ‘like and dislike’ tadi sudah memberi buah pikiran sendiri buat gua. Hal yang disukai langsung dicerna dengan baik dan menjadi semangat tersendiri, sementara hal yang tidak begitu disukai menjadi bahan diskusi yang menarik juga. Dan diharapkan berbuah baik. Untuk tujuan yang baik, tentunya.

Jadi teringat buku “Lanturan Tapi Relevan”nya Budiman Hakim. Djito Kasilo pernah berucap kurang lebih begini: “Yang mendapati buku ini baik semoga berguna. Yang tidak suka buku ini, semoga berguna juga.” Bise aje lu, Mas!

Demikian juga halnya hasil Citra Pariwara tahun ini. (Penganugerahan karya iklan terbaik Indonesia, kurang lebih begitu.). Satu kabar menggembirakan telah menjadi kepunyaan teman-teman di McCann Erikson yang mendapat penghargaan Best of The Best.
Sebuah hal yang tidak begitu umum terdengar di kalangan industri iklan. Tanya kenapa? Hehehe..

Mungkin dari buku ngelantur itu, atau dalam keputusan best of the best tadi, ada saja pihak-pihak yang merasa kurang dan/atau tidak setuju akan hasil tersebut. Bahkan kalau mau ditarik lebih jauh lagi, kecewa. Silakanlah kecewa. Silakanlah protes. Silakan buat sendiri teorinya.

Kalau dari situ akan berbuah satu buah pemikiran yang lebih baik, bukankah itu baik?

Nikmatnya kalau ide-ide, ingatan-ingatan, pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, bisa keluar." yogaadh@yahoo.com

Saturday, September 17, 2005

Onca Mora

“Tapi lu kan temen gue! Dari kapan tau juga lu udah ngeliat gua manggung, nyanyi jejingkrakan gak karuan. Kenapa mesti sekarang lu histeris ngeliat aksi panggung gua?? Mending manggung, kalo musik gua dipasang di radio aja lu masih ngikut nyanyi kayak fans-fans pada umumnya. Tereak-tereak histeris bahkan bisa lebih cewek dari fans cewek, mewek-mewek gitu. Plis dong.. lu bikin gua rikuh aja jadi temen lu. Lu masih temen gua men, bukan fans-fans banget.”

“Hahaha.. gak bisa ‘Ca!.. Gak bisaaa!.. Lu tuh semenjak gabung ama Dewo jadi gokil bangeeet. Vokal lu maksimal, di Indonesia mana ada penyanyi punya jenis suara kayak lu, coba? Siapa coba? Ngga ada meeeen. Vokal lu tuh matching banget ama lagu-lagunya si Deni. Dulu-dulu mah gua kagak mau ngedengerin bandnya si Deni. Sok asik, lagu-lagunya masih cemen, niru-niru TOTO, sekarang-sekarang aja si Deni makin bagus, itu juga karena doi ketemu ame luuu.. makanya.. Elu ama si Deni bikin gua termehe-mehe.. Hahahahaha..Tob dah ah!!”

“Lah jadi dulu-dulu gua nyanyi, manggung gitu, lu masih datar-datar aja dong?”

“Engga siiiih. Secara suara lu dimirip-miripin Sting, okelah. Tapi itu kan dulu. Lagu-lagu yang lu bawain lagu orang.. Sekarang ini lu lebih bisa bilang ‘Ini nih..Onca. Kagak mirip sape-sape. Bawa lagu sendiri, gak perlu cover version bla bla bla..’ gituuu..”

“Rese. Bener juga lu. Hehehe.. Okelah.. tapi plis dong ah. Lu gak usah kayak gitu tiap kali ada lagu-lagu Dewo kedengaran. At least gak usah di depan gua deh. Risih gua. Lu kan temen gua. Oh iya. Satu lagi, lu gua kasih backstage pass aja deh kalo Dewo lagi manggung.. Daripada lu maksa-maksa harus di front row bareng fans yang lain.. Lu tuh udah tua meeeen.. udah gak pantes begituan..”

Cannot help it my man! Enerji yang gua dapet dari suara lu itu bikin gua gokil, sob! Hihihi.. masa lu mau ngorbanin fans. Lagian gua gak tau deh kalo suatu saat lu keluar dari band Dewo, gua masih sehisteris itu ato nggak ngeliat/ngedengerin lu.”

“Ah.. gombal lu!. Eh.. maksud lu? Gua mau dikeluarin? Eh.. serius lu?? Denger dari siapa lu? Wah.. jangan becanda lu!! Hei..hei..!! Woi!!.. Cerita dong woi!!”

Tuesday, September 13, 2005

Kamyu Yang Mana?

“Oke. Kita jalan dengan mereka. Budget 2M.” | “Geng, ngupi yuuk.. butek banget niiih” | “Cong, tau gak siiiiiiy… si itu nelpon lagi.. trus dia..” | “Ma, kok kiriman bulanan adik belum nyampe?..” | “Mas, aku nganterin titipan Tante X dulu ke Cilandak..” | “Astuti, tolong kamu siapkan materi presentasi besok.” | “Coy, kemaren lu beli velg-nya brokap? Gua mau lego nih..” | “Bos, ada barang baru nih☺” | “Nanti malam jadi?” | “Brur, gua masih stuck di tol, tolong bilangin ya..” | “Dek, kamu tadi pesen yang pake toge gak?” | “Sayang, hari ini aku lembur lagi..” | “Pak, proposalnya sudah saya kirim..” | “ Gua pegang Udinese, fur stengah ya” | “Udah makan blum?” | "Besok jangan telat. Kumpul di kantor jam 7." | “Otw” | “Bos, ada lowongan gak?” | “Kangen.” | “Tolong siapin indomi, aku udah di jalan, laper ;p.” | “ Sayang, kamu udah bayar tagihannya blum?” | “ Nomat yuk.” | “Bokapnya si Anu meninggal tolong kasi tau yang lain..” | “ Klien minta revisi lagi. “ | “Tolong hubungi saya, penting.” | "Ada salon baru di X, katanya pecahannya si Z, yuk :)" | “Besok ada rapat dewan di kantor pusat” | “ Udah di mana lu? Emak udah kebakaran jenggot :P” | “Kamu masih cinta akyu kyaaaaan?” | “Flight pertama dari Singapur.” | “Miss you too.” | “ Mbak, rok jinsnya aku pinjem ya” | “Gak bisa. Budgetnya udah segitu. Kita cuma ambil 12%.” | "Udah boarding. Ntar nyampe dikbri" | “Congki, temen lu cakep ya bo..” | “Passwordnya apa?” | “Haluuu gua lagi di Indo nih..” | “Sinyal putus2. Ntar gw telpon dari kantor” | “Kamu punya catetan IAD gak? Pinjem dong. Aku kasih coklat deh..” | “ K**tol!” | “Sob, bini gua gak ngijinin” | “NMG Sale up to 70%” | “Udah gw email. Tolong dicek. Tx” | “Antasari macet. Ambil Kemang aja.” | “Nebeng dong” | “Bukan, yang item.” | “Kamu istirahat aja dulu..” | “Temen loe reseeeee!!” | “Ati-ati aja. Reputasinya jelek.” | “Si kecil demam” | “4-3. Adu penalti” | “Majuin 1 jam. Doi suka lelet.” | “Aku mau ngomong” | “Dapetnya 2 dari depan” | “Papa, transferin pulsa dooong.” | “Gua telat. Nganter istri dulu.” | “Udah di parkiran.” | “Arisan ditunda. Pada gak bisa.” | “Lt 5. Titip ke resepsionis aja.” | “Denger2 lagi pdkt nih ;p” | “PS3 dah keluar! Sokil gob.” | “We’re down to 4.5” | “Titip mata aja. Kali ada yang lucu” | “Besok pake baju apa ke kawinannya?” | “Udah-udah. Ngga usah diterusin bacanya. Ini cuma khayalan gua tentang inbox-inbox orang di henpon ;).

[Barang siapa mendapati tulisan di atas menjadi sebuah ide, maka ide tersebut sah-sah saja dan tidak perlu ada sangkut pautnya dengan tulisan ini maupun si penulis. Secara Glenn Marsalim pernah bilang: "It doesn't matter if you have a small idea. Making people have ideas will make you big."]

Friday, September 09, 2005

Hari Ini, Ke Depan.

Image hosted by Photobucket.comKiaraku hari ini ulang tahun. Yang ke-1!. Giginya sudah tumbuh 4. Dua di atas, dua di bawah. Yang satu lagi mau numbuh lagi. Mungkin itu yang bikin dia suka rewel belakangan ini. Belajar jalannya juga sudah mulai berani. Biasanya dipegang dua tangan sekarang sudah satu tangan. Dan udah mulai ngebut.

Ngomongnya ? jangan ditanya. Sudah banyak ocehan dan tereakan-tereakan bassnya. Hanya saja memang masih berkonsonan “papa” doang. Yang suka bikin sirik Mama-nya. Kok papa doang yang disebut?. Jangan siriklah Ma, kalo udah malam-malam toh papa-nya suka kalah pamor. Yoi, Kiara cuma mau bobo sama Mama-nya kalau malam-malam. Mungkin karena Papanya suka ngegangguin. Atau janggut si Papa tajem-tajem, jadi suka bikin risih kalau dicium-cium.

Setahun sudah. Nggak kerasa.
Kiara sudah tumbuh cepat. Belajar banyak hal dan akan lebih banyak lagi.
Kami, mama-papa-nya juga begitu. Sudah setahun menjadi orang tua. Dan masih banyak juga yang ditempuh.

...

Tadi sore ketika baru pulang dari meeting dengan klien di Kuningan, dengan susah payah gua dengan teman harus berjalan kaki mencari taksi yang kosong. Kami berjalan dari Menara Kuningan sampai Rumah Sakit MMC. Maklum, sudah jam 5 sore, macetnya minta ampun.

Kemacetan ternyata dikarenakan juga oleh sekumpulan mahasiwa sedang ‘berziarah’ di depan Kedutaan Besar Australia. Salah satu teman mereka adalah korban peristiwa bom Kuningan, tepat setahun yang lalu.

Setahun yang lalu, Kiara lahir bertepatan dengan meledaknya bom di Kuningan. Tangisan pertamanya berbarengan juga dengan ledakan bom itu, juga tangisan kesedihan sebagai susulannya.

Dia lahir, ada juga yang pergi.

Image hosted by Photobucket.com
Kiara sayangku,
Selamat ulang tahun.
Bawalah tawa
Gantikan yang hilang
Satu senyummu
Ceriakan setiap hariku
Peluk cium, Mama-Papa.