Friday, August 26, 2005

Yang Goblok Ngacung!

“Dasar goblok!”
Kalimat sakti itu akhirnya keluar juga dari mulut gua. Baru saja ada kejadian yang mutlak
membuat gua harus bereaksi seperti itu. Ada orang yang tidak bisa membedakan kaca dan kertas. Ah sudahlah. Apa masalahnya menjadi tidak begitu penting lagi sekarang.

Goblok. Bodoh. Bego. Satu kalimat yang sangat gua hindari untuk keluar dari mulut gua, untuk didengar dan (sayangnya lagi) dialamatkan kepada orang lain. Walau jujur, kata-kata itu sering sekali bersliweran di pikiran gua setiap kali sesuatu yang mengesalkan terjadi. Tapi kan dalam hati. Biarlah gua sendiri yang tau, ya kan?

Dulu seorang mentor gua pernah bertukas “Menyebut orang goblok hanya akan membuat diri kita terlihat sedikit lebih pintar!”. Itulah yang jadi alasan kenapa gua pelit sekali memakai kata-kata tersebut. Selain tidak baik. Gua juga nggak ingin jadi orang yang terlihat sedikit lebih pintar tadi.

Tapi tidak dengan saat tadi gua mengumpat kata tersebut.
Ada suatu perasaan lega. Perasaan nyata. Seakan-akan kata itu menjelma menjadi satu sosok yang hidup. Bisa dipegang, bahkan ditempeleng. Plak! Puas. Ternyata ada fakta lain dari sekedar nasihat mentor gua tadi.

Bahwa, sesekali goblok itu harus dinyatakan. Untuk suatu fungsi yang benar dan diperlukan. Kalau memang goblok ya bilang goblok. Supaya jangan goblok (lagi). Atau jangan malah makin goblok.

Katakanlah dengan keyakinan dan tujuan yang baik. Terkadang sebuah nasihat tidak hanya keluar dari kalimat bijaksana yang memanjakan telinga dan hati untuk lantas dibawa menjadi semangat di hari Senin.

Dan sesekali, ada baiknya juga kita membuka diri kita untuk dibilang goblok. Secara orang lain akan terlihat sedikit lebih pintar, gituloch!!

Wednesday, August 17, 2005

Bila Saatnya Nanti

Kalau aku jatuh nanti hendaknya jasadku saja yang kau tangkap.
Sebab ruhku tetap berdiri.
Dan kata-kataku mengepak terbang jauh.
Hinggap di hatimu.
Melekang bagai rahasia.

Dan di nisanku,
Tak perlu kau tulis pahlawan.
Hanya pahlawan yang mati!
Aku tidak ingin mati.
Biar umurku saja yang kau kubur.

Rampas saja milikku.
Semuanya.
Memang untukmu.
Bertahun-tahun aku hidup, untuk apa?
Untukmu.

Dan takkan pernah ada yang menyamaiku.
Seorang anak hanya mewariskan bakat, harus lebih baik dari pendahulunya.
Jadi, baiklah aku jadi lawanmu saja, kawan.

Jangan bilang aku sombong.
Kalau ternyata kau yang rendah diri.
Jangan ingat namaku.
Kalau nostalgia yang kau ceritakan.

Jangan biarkan aku mati.
Dalam semangatmu.

Tulisan ini akan saya dedikasikan kepada seseorang. Bila saatnya nanti..

Tuesday, August 16, 2005

Mari Tidak Merayakan Hari Kemerdekaan

Image hosted by Photobucket.comMari tidak merayakan hari kemerdekaan
Kalau kita masih mengeluh atas ‘urunan 17an’ di kompleks rumah
Atau terganggu dengan goyangan speaker pentas dangdut

Mari tidak merayakan hari kemerdekaan
Kalau acara perayaannya itu-itu saja. Panjat pinang, makan kerupuk, masukin paku ke botol dan lain-lain kalau di akhir acara tidak mau ikut membersihkan sampah-sampah hasil pesta poranya.

Mari tidak merayakan hari kemerdekaan
Kalau masih mengeluhkan pemerintah dengan segala macam kesalahan manusiawinya. Seperti kita juga manusia. Rocker juga.

Mari tidak merayakan hari kemerdekaan
Kalau hanya merayakan 1 hari setahun untuk kemudian besok melupakannya.
seperti hari raya lainnya kenapa tidak bisa puasa setiap hari hanya untuk menahan nafsu untuk berdosa. Atau berbagi kasih layaknya Natal setiap hari. Demikian juga Nyepi dari godaan. Atau berkasih-kasihlah setiap hari layaknya Valentine’s Day.

Mari tidak merayakan hari kemerdekaan
Kalau kita sendiri tidak mengerti kemerdekaan itu apa. Buat apa. Buat siapa. Karena apa.

Di rumah saja yuk?
Nonton Pak SBY pidato. Mungkin dia bisa menjelaskan kemerdekaan itu..

Friday, August 12, 2005

Nice Dream

Image hosted by Photobucket.com
New York(e)

Tuesday, August 09, 2005

Remaja oh Remaja

“Aha! Sebuah sayembara menulis! Aku akan mencobanya.” Seraya mengacungkan jari telunjuk dan tengah membentuk huruf “V”. Gaya yang biasa kita lihat pada kontestan-kontestan di acara TV Takeshi Castle. Maklum, si Diki lagi getol-getolnya nulis. Ibarat ABG yang sedang ranum dan labil segala sesuatu yang berbau literatur bagaikan hal tabu yang menyihir hasratnya pada saat itu.

Diki pun meng’klik’ link pengumuman sayembara yang ada di bulletin board Frenster itu. Tajuk yang disayembarakan adalah membuat novel tentang remaja. Sesaat Diki terhenyak. “Eits! Usia tidak menghalangi sebuah kreatifitasan bukan?” hardiknya dalam hati. Memang untuk topik itu, bisa dibilang Diki sudah tidak remaja lagi. “lagian gua juga pernah remaja!” imbuhnya lagi. Ngotot.

Seperti biasa jabaran persyaratannya cukup banyak. Harus begini, harus begitu. Dikirim paling lambat tanggal sekian, diumuminnya berbulan-bulan kemudian.

Sampai ke satu poin yang bikin Diki tertegun. Ada suatu persyaratan yang berbunyi begini:
* Tema kehidupan remaja, isi tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD'45,
serta tidak menimbulkan masalah
pertentangan SARA.

Pelan-pelan Diki mencerna kalimat tersebut.
Tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD’45.
Yang mana aja ya? Dia kembali mengingat-ingat 5 butir Pancasila itu. Secara acak dia bisa ingat lagi walau tidak fasih. Dalam cakupan lebar kalimat-kalimat di Pancasila tersebut, dia pun mereka-reka hal-hal apa saja yang tidak menyinggung burung gagah itu.

Kalau undang-undang?? Wah undang-undang kan banyak sekali. Sejauh yang dia bisa ingat, isinya banyak berupa larangan-larangan dan ganjarannya. Kalau tidak hukuman penjara, ya denda uang. Gitu-gitu deh. Tapi lagi-lagi Diki tidak tahu kejelasan atau pun batasan-batasannya.

SARA? Si cowok Jawa ndak boleh naksir ama si cewek mBatak, gitu? Atau mungkin dilarang membahas agama ini dengan agama itu. Dalam kehidupan romantika remaja, apa iya orang sudah mempermasalahkan agama, suku dan uang?.

Mungkin yang boleh diceritain hanya sebatas nongkrong di mall. Cuwawa’an sana sini. Hepi-hepi. Pentas seni. First kiss.
Ngga deh boleh tuh ngebahas hamil di luar nikah. First drunk di pentas seni. Nilep uang ortu buat nongkrong di mall. Atau konflik-konflik lain yang bisa menyinggung negara ini. Bukan remaja itu.

Huh! Mau cerita remaja aja susah amat.
Diki pun urung ikut. Imajinasinya terkurung.

Monday, August 08, 2005

Cie..

Image hosted by Photobucket.com

Terinspirasi dari OST "GIE".

Thursday, August 04, 2005

Ponjul Naik Panggung (lagi).

Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. Sebuah panggung berlatarkan layar beludru merah. Satu lampu sorot dan satu stand mic. Ponjul harus berdiri lagi di situ.

Kali ini berpakaian seperti badut. Dasi motif garis-garis yang lebar dan kebesaran. Baju hijau terang dan celana polka dot merah dan kuning. Seperangkat alat musik manual sudah disiapkan; ukulele, kicringan pengamen, sempriwitan dan tabuh sember. Tak lupa ber-make-up seperti Gareng dalam lakon Ria Jenaka, acara favoritnya dulu.

Ponjul akan menyanyi dengan jenaka. Mungkin dibuat fals. Mungkin lirik-lirik satir social atau plesetan lagu-lagu. Berhari-hari dia menonton TV dan mendengar radio untuk mengetahui lagu apa yang sedang trend saat ini. Direkam, dipelajari dan kemudian dilatih lagi hingga menjadi sebuah karya baru yang dia harap akan… lucu.

Kalau kepepet Ponjul akan bergaya slapstick a la Three Stooges. “Memperbodoh diri! Orang pasti suka!” dia sangat yakini itu. Segala cara harus diperjuangkan demi penonton terhibur. Kalau tidak akan seperti teman-temannya, yang tadi baru saja turun dari panggung. Disorakin. Dicela. Dilempar tisu. Bahkan menjadi bahan tertawaan yang lebih lucu daripada lawakannya sendiri.

Tidak ada jaminan juga Ponjul akan terhindar dari perlakuan itu. Selera penonton berubah-ubah. Hari ini badut, mungkin besok bencong. Besok Charlie Caplin, mungkin bulan depan Gepeng. Begitu seterusnya dan seterusnya. Hingga keyakinan saja yang bisa membuat Ponjul tetap berdiri di situ, sampai saat ini.



Waktu yang ditunggu pun tiba. Di luar sana, terdengar suara MC menggelegar mempersembahkan pertunjukan berikutnya.

Dari samping panggung yang gelap, Ponjul pun bersiap-siap untuk melangkah masuk. Masuk lagi ke dunia yang gemerlap sinar. Dipertontonkan, mungkin dipuja. Dilakoni agar terhibur. Terhibur agar dibawa pulang.
Pulang pun, agar tersenyum.

Oh.. iklan.
Happy Birthday Adela, Alia, Andry, Agus. | 05.08.05

Wednesday, August 03, 2005

Cerita Tentang Dia

“Tuhan, uang Ade tinggal 20 ribu. Kita bagi dua aja yah. Sepuluh untukMu, sepuluh untukku, buat makan besok.”

Kurang lebih itulah yang diucapkan Ade ketika hendak memberi persembahan di gereja hari Minggu itu. Dengan kepasrahannya kepada Tuhan dia memberi segenap yang dia mampu. Walau saat itu dia sedang bokek berat.

Keesokan harinya, di hari Senin, sesuatu yang menggembirakan terjadi. Uang Ade yang tinggal 10 ribu tadi berbuah menjadi 100 ribu. Sepuluh kali lipat. Seseorang baru saja memberinya rejeki tanpa maksud meminjamkan atau pun membayar hutang.

Keajaiban? Hanya Tuhan yang tahu.

Cerita itu yang gua ingat sampai sekarang. Bertahun-tahun sudah gua tidak bertemu dengan Ade. Dan bahkan sebenarnya gua tidak begitu mengenal siapa Ade. Hingga beberapa waktu lalu kita ketemu lagi.

Gua pun menghampiri Ade untuk sekedar bersilaturahmi. Menyodorkan tangan sambil tersenyum, “Mudah-mudahan masih ingat ama gua.” Satu, dua detik dia terdiam sambil mengingat-ingat kembali siapa gua. Bak mendapat pencerahan dia pun tersenyum balik pertanda dia masih ingat muka gua. Mencoba-coba beberapa nama namun masih salah. Sambil akhirnya gua nyebutin nama gua. Pun dia tidak terlalu ngeh. Tapi yang pasti dia ingat kalau kita pernah ketemu dan saling kenal.

Gua juga tidak terlalu peduli dengan silaturahmi tadi. Yang pasti gua diingatkan kembali akan cerita 20 ribu itu.

Cerita tentang kepasrahan.
Cerita tentang berkat.
Cerita tentang Dia.

Thank you, De.