Thursday, April 28, 2005

Pengembara dan Orang Tua

Dalam perjalananku, sampailah aku di sebuah negri. Di sana aku bertemu dengan seorang tua.

"Aku adalah pengembara. Negriku sudah hancur dan tiada", jawabku ketika ia bertanya bagaimana aku bisa sampai di sini.

Dia lantas bercerita tentang kemakmuran dan kejayaan negri itu serta jasa-jasa yang telah ia sumbangkan kepada negrinya.

"Ijinkanlah aku bermalam di sini, bahkan besok.." pintaku
"Apa yang kau punya?" selidiknya
"Yang ku punya hanya talenta, jiwa dan badan yang muda" jawabku

Orang tua itu tersenyum dan berpaling pergi. Dikenangnya kembali kejayaannya itu sampai aku tak dapat lagi mendengarnya ketika ia dikejauhan. Tak lupa ia berterima kasih telah mengenalku. Pengembara.

Esok harinya, kucari dan kutemukan lagi dia.

"Bolehkah aku tinggal di sini?" tanyaku lagi.

Kali ini dia tidak tersenyum. Bahkan kecut. Masih bermimpi dia mungkin. Diberinya aku nasihat, pandangan hidup dan hal-hal kebajikan lainnya. Untuk jiwaku yang muda, katanya. Masih banyak lagi sampai aku menjadi tak mengerti lagi. Aku pengembara, belum setua itu,pikirku.

"Baiklah aku pergi, kan kucari negri lain.." aku beranjak pergi.

Dia pun tersenyum dan berterima kasih lagi telah mengenalku.

Kutinggalkan orang tua itu, dengan maafnya.

16 November 2001
Cerita tentang seseorang yang gua ketemu baru2 ini.
(Sebuah tulisan lama yang secara tidak sengaja ketemu lagi. Ada rindu, geli, takjub bercampur-campur. Akan sesuatu yang pernah dicipta, dirasa, bahkan dikecup.)

Saturday, April 23, 2005

Catatan Pinggir Demonstran

Suryadi Negarawan
Selalu berada di garis depan demo-demo mahasiswa. Seorang teman mahasiswanya pernah menjadi korban pemukulan dari aparat ketika sedang beraksi. Merasa terpanggil untuk meneruskan perjuangan temannya itu, kini terus mengikuti demo-demo apa saja yang bernada anti pemerintah. SBY salah. Megawati salah. Gus dur apalagi. Mungkin Amien Rais yang benar. Nanti Amien Rais jadi presiden, dia pun tetap salah.

Prasetyo Harry
Dari awal semester tidak pernah mengikuti kuliah. Senang berkumpul dengan teman-teman untuk membahas konspirasi elit politik, militer dan sosial bawah. Mengidolakan tokoh demonstran seperti BS, SHG, bahkan penyair CA. Mengkikir rambutnya agar mirip dengan mereka. Atau selalu melinting kemejanya. Gambaran orang-orang kritis, pikirnya. Nilai jeblok di kampus tidak soal, selagi dapat memakai jaket almamater untuk turun ke jalan. “Lawan!” kata itu yang selalu terngiang di kepalanya.

Drajat Panji
Masih bingung ketika ditanya apa arti perjuangan mereka di jalan. Sudah hampir sebulan tidak pulang ke rumah. Di rumah dia dianggap aneh karena selalu bercerita tentang Bung Karno, Che Guavara dan lolongan garang Iwan Fals. Jalanan adalah rumahnya. Tetapi menolak disebut anak jalanan. “Aku bukan pengamen. Aku bukan pengemis” katanya. Dia juga tidak berani menyebut dirinya preman.

Sri Kartini.
Lebih senang menyebut dirinya “Arti”. Sebal diolok-olok sebagai “Kartini” maupun “Sri Kandi”. Nama-nama itu seperti tidak sesuai lagi bagi dia, orang modern. Senang membantu teman-temannya ketika sedang berdemo sebagai bagian logistik. Membagi-bagi botol mineral maupun mengkoordinir sumbangan simpatisan yang mendukung gerakan-gerakan mereka. Dulu sering. Sekarang sumbangan itu seperti sudah terabaikan. Cintanya kepada ketua senat pun mulai hambar. Ketika ketua senat yang senang berorasi itu semakin dikerubungi cewek-cewek pengikutnya.

Jawir Mat Kodak.
Terkenal dengan nama itu. Tidak begitu banyak yang tahu nama aslinya. Yang pasti dia orang Jawa dan suka memotret dokumentasi demo, selain sesekali hunting foto cewe cakep. Sesekali mengaku pers kalau sedang kepepet diidentifikasi sebagai salah satu demonstran.

Hamonangan Sianturi.
Batak murni. Bermodal dari tampang sangar dan suara lantang, dia pun didaulat untuk memegang mikropon/toa. Mengkomando barisan dengan yel-yel atau nyanyian satir tentang pemerintah, atau orasi-orasi singkat tentang kecemburuan sosial. Yang mana semua orang juga tahu. Dia akan terus memegang mikropon itu, bernyanyi, berorasi sampai harus ada yang menghentikannya. “Batak Tampil” teman-temannya menyebut begitu.


Mereka ingin didengar. Mereka ingin dilihat. Mereka ingin diakui. Mereka ingin membuat perubahan.

Mereka jangan ditembak. Mereka penerus bangsa, suka atau tidak. Mereka juga yang kemudian jadi presiden.

Kita?
Apakah kita lebih baik dari mereka?
Apakah kita juga mereka?

Wednesday, April 20, 2005

Kenalkan, Cinta. (Part 2)

15 menit kemudian datang sms balasan

"Yuk"


Mmmati lu! Bego deh gue! Kenapa gua mesti ngajak nonton sih? Nanya kabar dulu kek, pura-pura nanya nomer telepon siapa kek, ngucapin selamat ulang tahun kek.. apa kek! Kenapa gua nekat ngajak ketemuan! Dan dia mau!! Mmmampus gua.

Terus nanti kalo udah ketemu mau ngomong apaan? Nyari topik apaan? Belum kalo dia pasang muka jual mahal. Kan gua mesti cari-cari topik yang bisa mencairkan suasana. Apa gua bikin telat aja kali ya? Biar nanti masuk gedung bioskop langsung nonton, ngga perlu ngobrol dulu. Ntar aja dipikirin pas lagi nonton mau ngomong apaan. Yang penting dia udah mau gua ajak ketemuan. Walau gua belum siap. Entah kapan gua siap.

Kira-kira dia jutek ngga ya? 2 minggu gua ilang dari permukaan. Gua harus bilang apa selama gua ngilang. Sibuk di kantor? Tugas di luar kota? Nemenin nyokap ke mall? Atau jangan-jangan dia ngira gua udah punya gebetan lain? Aaaah sudahlah! Gimana ntar!!..

Gimana ntar?
Terakhir gua ketemu dia kebanyakan diam aja. Gimana nggak diam, dia seperti punya sihir yang bikin gua hanya bengong mandangin dia. Rambut poninya, lipgloss yang bulak-balik ditambahin yang bikin gua jadi ngeliatin bibirnya mulu. Duh.. bibir itu. Suaranya yang lucu kalau manggil waiter restoran. Serta gerak-gerik salah tingkahnya kalau dia salah ngomong. Salah ngomong kalau ternyata tertarik juga ama gua. Either dia yang gengsi atau gua yang ke-GR-an terserah deh. Yang ginian selalu seru.

Dan sekarang udah jam 6 sore. Kampret!! gua udah mesti berangkat! Belum macetnya. Belum nyari parkir. Belum nelfon-nelfonnya. Hah?? Oh iya! Gua belum bales sms dia! Gua belum confirm ke dia kalo janjian ini jadi. Duh, keburu pulang dong dia. Keburu bete dong dia. Pantesan aja gua suka ngilang kalo gitu..

GUOBLOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOG!!!

Monday, April 18, 2005

Kenalkan, Cinta.

"Nonton yuk?"

SMS itu yang mengejutkanku tadi siang. Langsung terbayang wajahnya yang imut-imut manja, sedikit matang dan selalu akan berusaha matang. Damn! Dia lagi..dia lagi.

Kan aku udah ngelupain dia. Dia yang pernah hinggap dipikiran-pikiran jenuhku dulu. Bukan hanya mewarnai tapi malah menambah pertanyaan-pertanyaan misterius lagi. Berputar ke sana, melingkar ke sini, timbul lantas menghilang.

Sompret! Emangnya dia aja yang punya hati? Aku juga! Bahkan hatiku pernah membuka. Hanya saja lukaku masih dalam. Jadi mungkin hatiku membuka untuk sesuatu yang dalam. Dan kau pun menghindar untuk terjerumus ...lebih dalam.

Lantas maksudmu apa?!! Tiba-tiba datang lagi. Tanpa peringatan atau apa pun. Tiba-tiba menggoda lagi dengan sentilan nakal menggelitik kepala. Juga hati. Apa sih maumu?!

(jari-jari lentik itu pun menekan tombol-tombol handphone. "Reply"... lalu kemudian angka sembilan tiga kali, angka delapan dua kali, dan angka lima dua kali..)

"Yuk"

Huh! Cinta memang tak pernah kenal logika.
[terinspirasi dari seorang teman. teman baik.]

Thursday, April 14, 2005

Kuis: Tahun berapa Dewi Hughes dan Avin menikah?

Pertanyaan itu yang dilontarkan sebagai salah satu kuis di infotainment yang baru saja gua tonton sore ini. Jawaban gua: Manalah gua tau!

Emang kalian tau ya? Emang sih, bagi yang mengikuti terus perkembangan cerita Dewi Hughes vs Avin, suaminya, mestinya bisa menyimak dan menjawab pertanyaan di atas. Entah bagaimana pun teknisnya, jawaban itu bisa berbuah hadiah jika dikirimkan ke alamat infotainment tersebut. Tunggu beberapa hari kemudian untuk mendapat jawaban siapa pemenangnya, dapat hadiah apa, dari sponsor mana, dikirimkannya kapan, potong pajak atau tidak. Pokoknya semua senang. Infotainment happy, sponsor happy, si pemenang undian happy. Kecuali Hughes dan Avin mungkin yang ngga happy.

Ngerti kan maksud gua?
Bagaimana sebuah kejadian bisa dikemas sedemikian rupa hingga menjadi sajian informasi yang menarik (belum tentu penting). Banyak pihak yang bisa dikaitkan dan mendapat benefit langsung mau pun tidak. Bagi yang jeli menyimak, detik per detik suguhan acara tersebut bisa menjadi sebuah pesan tertentu bagi yang berkepentingan untuk disampaikan ke masyarakat. Misalnya dalam angle pengambilan gambar, apa yang dikenakan oknumnya, apa pilihan kata yang harus diutarakan, dengan siapa dia harus bicara, bersama siapa dia ketika berbicara, apakah dia antusias atau tidak di depan kamera dan masih banyak lagi detil-detil yang bisa kita lewatkan.

Hingga kisah penderitaan orang-orang (terkenal, umumnya) pun bisa kita nikmati dengan esensi yang sedikit berbeda. Layaknya gosip, ngga seru kalau ngga berbumbu. Apalagi kompetitornya banyak sekali, kalau tidak pandai-pandai menjual, tidak akan ditonton orang! Entah rela atau tidak, materi-materi berita dari 'orang-orang terkenal pada umumnya' itu sudah menjadi asset yang menggiurkan sekali untuk terus digulirkan dalam sebuah paket tontonan. Baik kisah sedih maupun happy.

Sepintas ada perasaan kasihan bagi 'orang-orang terkenal pada umumnya'itu. Kok mau-maunya menjadi bahan bulan-bulanan seperti itu. Itulah konsekwensinya, sering itu yang terlontar.

Tapi tunggu! Bagaimana dengan kita pemirsanya?

Kita yang setiap harinya dibangunkan dengan presenter-presenter dengan tingkah polah yang lucu. Tak terelakkan lagi, selain berita-berita aktual di pagi hari, mereka juga sudah berada bersama kita di tabung kaca itu. Atau ketika istirahat makan siang, disempatkan juga bertemu mereka, presenter-presenter dengan irama pelafalan yang hampir semuanya mirip!! Dan prime timenya, sore hari. Ketika semua orang pada umumnya berehat sejenak menjelang malam tiba. Bayangkan, mereka sudah sangat tahu kapan harus muncul mencuri perhatian kita. Menghibur mungkin lebih tepat.

Jadi bagaimana dengan kita pemirsanya? Apakah kita enjoy dengan sajian infotainment tersebut? Tertarikkah kita untuk terus mengikuti episode demi episode perceraian si A tadi? Atau sekedar penasaran siapa suami dari penyanyi itu. Atau malah nekat mengaku-ngaku sebagai ayah/ibu kandung salah satu 'orang-orang terkenal pada umumnya' itu? Dan bahkan mengirimkan jawaban-jawaban dari kuis-kuis tadi?

Kasihankah kita?

Mari kita pikirkan selama 30 menit ke depan!..Saya Diki Satya, undur diri dari hadapan Anda

Wednesday, April 06, 2005

Surat Cinta

Sayangku,
Apa kabarmu? Sebulan sudah kau tak berkabar. Kuruskah engkau? Jangan lupa pakai syal yang kusisipkan di dalam tasmu. Kau selalu mencoba melupakannya. Parlente!, begitu katamu. Tapi pakailah. Musim sudah masuk dingin. Mungkin sebentar lagi sering badai.

“Kau akan membaca surat paling indah yang pernah kau dapati.” Itu katamu dulu waktu engkau pamit. Walau aku tak begitu mendengar dengan jelas. Karena aku sibuk menciumimu. Kucium lagi. Kupandangi lagi. Wajahmu yang rupawan. Kucium dan kupeluk lagi. Aku tahu kau akan pergi lama. Jadi biar kupuaskan keberadaanmu di detik-detik itu.

Jangan pergi, kataku. Justru harus! Kau jawab dengan matamu.
Impianmu memang mengalahkan segala-galanya. Tapi bukan aku. Aku pasti menunggumu di sini. Percayalah.. kau akan mengerti nanti.

Lantas siapa dia?
Yang selalu membuat engkau tersipu dan pendiam. Seseorang yang kau simpan hanya untuk dirimu. Tak mau kau bagi. Apakah dia mengurusmu dengan baik? Seperti aku? Haruskah aku bersaing dengan dia? Tak apa. Aku pasti menunggumu di sini. Kau pun boleh membawa dia padaku.

Sayangku,
Kapan engkau pulang? Musim semakin dingin. Orang-orang sudah masuk ke dalam rumah. Tak mau lagi saling sapa. Jalanan hanya berisikan hembusan angin. Tiada bisik terdengar. Dedaunan hijau mulai pudar. Dan aku pun semakin tua.

Pulanglah sayang…

Mama


(Terinspirasi dari film "Motorcycle Diaries". Dan teringat akan surat-surat cinta.)

Monday, April 04, 2005

titidije ya neek..

(Hati-Hati di Jalan ya, bo!)

Di sebuah perempatan jalan ada sebuah mobil yang hendak memutar balik. Pelan-pelan mobil itu maju. Mundur. Maju. Mundur. Entah udah berapa kali effort yang dilakukan agar akhirnya mobil itu bisa berputar balik. Klakson mobil-mobil di belakangnya pun mulai berbalapan menyahuti proses yang mulai membuat kesal.

“Lelet banget sih?! Pasti cewek nih yang nyetir”

Sering bukan? Ungkapan itu yang tercetus di benak kita kalau menghadapi situasi di atas? Kalau ada yang lelet dikit pasti cewek. Kesian dong. Nggak fair banget kan? Padahal bisa aja yang nyetir lelet itu opa-oma yang udah mulai senja. Atau si pengemudi itu minjem mobil temennya, jadi harus berhati-hati. Atau memang si pengemudi tidak menguasai penuh rumus ruang pada saat tersebut. Dan bahkan pengemudi itu cowok!

Hanya gara-gara kasus tersebut sering terjadi oleh pengemudi cewek, lantas kita men-generalisasikan pendapat tersebut. Yah namanya juga kecenderungan kan ngga seratus persen benar. Kita sering mengeliminir faktor-faktor minor yang mungkin saja terjadi. Dan kalau faktor minor tersebut terjadi, kita sering tidak siap untuk menerimanya. Padahal probabilitasnya ada. Hanya saja sedikit.

Coba kita pikir lagi,
Yang nyetir lelet itu cewek. Main nyelonong aja biasanya Metromini, orang Batak. Yang kebut-kebutan sudah tentu ABG, apalagi anak pejabat. Yang nyenggol bumper/spion mobil itu pasti pengendara motor.Yang bawa sempriwitan pasti Pak Polisi. Kalo Pak Polisi nyemprit, pasti minta duit.

Bukannya nggak mungkin yang main nyelonong itu tadi saudaranya orang Batak dan bukan orang Batak. Yang kebut-kebutan tadi orang tua atau orang biasa. Karena sesuatu hal yang penting, dia harus ngebut ngga karuan. Mungkin kebelet, mungkin panggilan darurat dari rumah atau alasan lainnya. Yang nyenggol bumper/spion mobil kita ternyata kita sendiri. Karena terlalu mepet ama yang lain. Sama motor misalnya :). Bisa juga posisi kita memang tidak selayaknya di situ, di luar atau melewati jalur. Dan Pak Polisi nggak semuanya minta duit. Kalo pun ada, coba berkelit lagi!

Jadi suatu saat gua nemuin hal-hal menjengkelkan di jalanan, gua akan lebih berhati-hati untuk mengalamatkan kekesalan gua. Kali aja yang gua maki-maki itu gua sendiri.