Wednesday, March 30, 2005

Di Tempat Yang Maha Tinggi

Malam itu sudah larut. Semua sudah terlelap di kamar masing-masing. Saat kemudian ada rasa yang aneh. Rasa mual. Rasa pusing. Padahal malam ini tidak ada makanan istimewa. Tapi kenapa mual?

Sebentar..
Lampu itu kenapa bergoyang? Tempat tidur pun mulai berderit. Oh tidak! Ini gempa! Ini pasti gempa!

Ibuku segera membangunkan Ayahku disampingnya. Menjelaskan secara singkat apa yang sedang terjadi. Mereka segera beranjak dari tempat tidur. Keluar dari kamar untuk membangunkan cucu-cucunya yang sedang menginap di rumah. Orang tua mereka sedang berlibur ke Jerusalem untuk merayakan Paskah di sana. Anak-anak pun segera dibawa keluar dari kamar.

Dan.. *zzzztt!!*

Lampu padam. Listrik padam. Semua gelap. Setibanya di pekarangan rumah, orang-orang mulai panik menyadari yang sedang terjadi. Aceh! Tsunami! Hancur! Celaka! Kata-kata itu yang terbetik di kepala masing-masing dengan kekalutan yang menyelimuti pikiran.

Provokasi-provokasi kepanikan pun terlontar tak terkendali untuk segera menyingkir dari daerah mereka masing-masing. "Cari tempat yang tinggi!" Tempat tinggi. Entah di mana pun itu. Saat itu. Berikut gambaran kekacauan seperti kejadian Mei 98 dulu, orang-orang membawa 'jarahan' dari rumahnya. Bekal mengungsi. Mengungsi kemana? Entah. Tempat yang tinggi..

Ayahku tetap tenang. Ibuku dan anak-anak pun sepertinya begitu. Mereka pasti sedang berdoa saat itu. Sekitar 5 menit goncangan itu berlangsung. Kemudian mereda. Masyarakat pun kembali ke rumah masing-masing.

Tidak sedikit doa yang terucap malam itu. Terima kasih Tuhan. Engkau selalu terucap. Di tempat yang maha tinggi.

***

Keesokan paginya gua terbangun dengan berita bencana Nias kemarin. Di berbagai stasiun televisi yang tak satu pun dari stasiun televisi negeri sendiri. Di beberapa TV lokal hanya liputan kongres PDI-P yang terliput secara live saat itu. Sementara UN sedang mengadakan press conference mengenai gempa di Nias. Indonesia.

Tuesday, March 29, 2005

Cuh..Cuih! Phueh!!

Duluuu banget, gua sangat tertarik akan sesuatu yang konyol. Adegan-adegan Warkop DKI benar-benar suatu suguhan yang menghibur. Dan kalau bisa menirukannya di kehidupan sehari-hari. (Belum sampai era rok mininya lho ya).

Tapi kemudian bosen. Pengen sesuatu yang lebih seru. Memberontak salah satunya. Dicarilah figur-figur keras dalam felem-felem atau majalah. Mulailah berpakaian kotak-kotak flanel. Muka dibuat sungut. Pilihan kata diusahakan menjadi acuh. Cuh. Cuih! Phueh!!

Dasar emang kencur, mulailah menghadapi kenyataan dengan labil. Yang penting terlihat cool. Sampai lambat laun mulai menyadari ketololan-ketololan itu. Dengan sedikit gengsi, dipadukan dengan teori-teori pembenaran. Waktu itu Cuma itu yang keliatan. Ato nggak, Cuma itu yang mau kita liat.
Dimulai lagi phase kegilaan-kegilaan. Kali ini sedikit berisi. Pilihan katanya pun sudah agak berbau filosofis, teoritis, belum kompromi. Belum ngerti yang gituan.

Kekonyolan, sok seru-seru-an, kegilaan-kegilaan absurd pun mulai dilihat dengan senyuman tipis. Biasanya lewat satu perenungan agak lama. Lamaaa banget. Zona kompromi sudah mulai mengambil alih phase-phase itu. Kenyataan harus dikombinasikan dengan logika-logika sinting tadi agar tetap survive. Tidak lagi hantam kromo. Harus pake matematika. Sebab akibat. Situ jual, sini beli. Mendadak semua pelajaran-pelajaran di bangku sekolahan harus kembali diingat-ingat. Misalnya, kenapa jatuh dari tempat yang tinggi lebih fatal daripada tempat yang rendah. Sesederhan itu saja kan? Tapi ngebingungin. Cuih. Phueh!

Nah ya, sekarang gua pengen tau apakah suatu saat nanti gua bisa tersenyum tipis lagi kalo sudah menemukan formula baru dari.. Hhh.. Hidup.

Awas kalo nggak!

Sunday, March 27, 2005

Bikin Hidup Lebih Musik..

Image hosted by Photobucket.comHalo,
Pada ke mana aja long week-end kemaren? Keluar kota? Susah cari parkir di mall? Atau ngendon di rokum ja’e?

Gua dong, ke Milan, London, Rio de Janeiro, Oslo dan Budapest!
Sumpe! Gua tau dan kalian juga tau bahwa gua nggak kaya-kaya amat. Tapi gua beneran ke sana 3 hari ini. Setidaknya nyawa gua melayang-layang ke/di sana.

Berkat beberapa DVD yang gua beli di ITC di bilangan Fatmawati kemaren gua dapet tiket ngerasain konser Depeche Mode di Budapest. Ngerasain keringnya suara gitar David Gilmour dalam kesahajaan ‘acoustic live’nya dan tetap bikin merinding. Berada di Oslo untuk ngeliat a-ha pulang kampung setelah 7 tahun serta aransemen-aransemen ulang yang masih bikin hati berdebar-debar oleh nostalgianya. Juga merasakan sesaknya crowd segala umur di konsernya Rush di Rio, masih bikin sensasi tersendiri. Dan terakhir, serasa ikutan workshop bareng sama Sting di rumahnya di Milan, beberapa hari sebelum tragedi 9/11.

Dengan modal headphone seadanya gua tonton semua itu secara hampir berurutan. Maklum, gregetnya masih di situ. Ibarat kata orang, "Lu rasain pas pecahnya men!”. Untuk kalian yang tau maksudnya mungkin akan tersenyum. Yang tidak, coba cerna penjelasan gua ini ya.

Udah lama banget gua ngga bertemu lagi dengan mereka. Bercengkrama, berkontemplasi, diskusi, mempersoalkan nada, bergurau dengan minor, mengejek idola dengan kritikan narsis dan banyak lagi penjabaran yang merunut ke satu akar: musik adalah hidup.

Gua yang selama ini selalu mengelu-elukan bahwa ‘musik adalah sepenuhnya bagian dari keseharian gua’ sepertinya harus berfikir ulang akan statement itu. Ternyata selama ini gua hanya mengatasnamakan musik tersebut. Bagaikan menulis dengan singkatan-singkatan atau membaca dengan huruf vokal yang tercecer. Kayak Phil Collins pernah tulis “They listen, but they’re not hearing me”. Tidak sepenuhnya memahami atau mengilhaminya.

Dari semua suguhan konser musik tersebut gua mempelajari lagi hal-hal baru dalam musik. Disamping banyak hal yang sudah menjadi ‘bahasa universal’ ternyata kalau kita bisa lebih peka lagi untuk mendengar detail-detail kecil dari sebuah aransemen akan terasa lebih nikmat. Bahkan komponen-komponen yang kita anggap (mungkin) tidak penting pun bisa memberi warna sendiri dalam penjiwaan kita terhadap lagu tersebut. Hal-hal sepele yang sering kita lewatkan begitu saja namun tanpa kehadirannya belum tentu semuanya bisa kita nikmati apa adanya. Misalkan saja tata panggung dan lampunya, urutan lagunya, berapa orang crew konser tersebut, kenapa mereka keringetan, atau sekedar menebak lagu itu dimulai dengan kunci/nada apa?

Mungkin lebih menyenangkan dari sekedar ikut menyanyikannya. Memang tidak disalahkan juga kalau ternyata kita nyanyinya fals. Atau menepuk-nepuk tangan mengikuti beat lagu tersebut. Atau juga sekedar menyempatkan mendengar 2-3 detik lantas menggantinya ke channel lain.

Tanpa bermaksud menggurui, gua mengajak teman-teman sekalian untuk lebih mau mendengarkan musik. Dijamin hal-hal kecil tersebut akan berubah arti menjadi sesuatu yang lebih.

Ngga percaya? Coba aja lihat hidup.

ps. Happy Easter. This is my present for you! and you! and you!..

ps. foto cipmangnya gua pinjem dari blog Loucee. Tengkyu Loucee.

Thursday, March 24, 2005

Rahasia si Udin

Apa reaksi pertama kita ketika pertama kali mendengar sebuah rahasia?
Membeberkannya lagi ke orang yang belum mengetahuinya dengan prolog “Eh tapi lu jangan bilang-bilang ya..”?. Atau tersenyum-senyum sendiri sambil membayangkan hal-hal yang bersifat layaknya infotainment-infotainment sekarang? Atau juga berlari terbirit-birit tanpa busana sambil meneriakkan “Eureka!..Eureka!!” seperti Archimedes dulu?
3 opsi ekspresi tadi belum sempat terjadi dengan gua. Paling nggak masih menjadi opsi.

Beberapa waktu lalu gua mendapat jawaban dari sebuah rahasia. Sebenarnya sudah lama gua amati tingkah polahnya dan baru kemarin saja semuanya merunut menjadi satu jawaban yang konkrit. At least konkrit buat gua.

Udin adalah sebuah sosok yang selama ini menjadi sebuah figur dambaan orang-orang di sekitarnya. Seperti malaikat penolong. Seperti sahabat yang setia. Seperti hal-hal baik yang terlalu sulit untuk diterima menjadi kenyataan. Semua kriteria tersebut sebenarnya masih berfungsi apa adanya. Hanya saja dibalik semua itu Udin hanyalah manusia biasa. Itulah yang menjadi rahasia besarnya selama ini. Dan tentunya, tidak banyak yang tahu. Atau tidak banyak yang mau tahu.

Pakaian yang dikenakan cukup memperkenalkan dirinya sebagai orang yang biasa saja. Tidak seperti kampiun lainnya yang berseragam feodalisme sebuah achievement. Kendaraan yang dia punya juga tak pantas dikatakan kendaraan orang sukses. Tutur katanya pun selalu berirama bahkan jenaka. Sesekali sombong tak apalah. Orang-orang pasti memaklumi. Karena Udin memang pantas bertutur seperti itu. Paling tidak mungkin begitu cara orang memakluminya.

Di kesempatan lain Udin juga tampak selalu sibuk dengan orang-orang di dekatnya. Memperhatikan bahkan mengingat semua nama-nama orang. Itu adalah salah satu kualitas baik seorang idola. Sehingga kemana pun dia pergi nanti. Dia takkan susah meminta tolong sekedar meminjam seribu rupiah untuk bayar parkir, misalnya. Dan dengan sedikit kemujuran, mungkin orang akan memberi lebih dari yang dia minta. Gitu dong, Diiiin.

Dalam menderma Udin juga tidak segan-segan memberikan hatinya. Memang cuma hatinya saja yang dia punya. Kalau mengandalkan materi, Udin lebih suka membeli perangkat komputer yang canggih agar bisa mendapatkan informasi-informasi yang berguna untuk nantinya diderma melalui hatinya.

Sampai suatu saat Udin terlihat murung. Ada yang tak beres. Jelas terlihat dari caranya bertutur. Dia mulai sombong. Padahal dia tak ingin terlihat sombong. Tidak langsung menyakiti tapi perlahan orang-orang di sekelilingnya mulai terganggu. Dicobanya untuk bersembunyi sementara waktu. Agar yang lain tidak terusik dengan kegelisahannya. Cukup lama dia bungkam. Lucunya, tak ada yang memperhatikan keabsenan dirinya. Sepertinya dunia bisa berotasi sendiri tanpa dirinya.

Dalam suatu kesempatan yang langka, akhirnya ada juga yang mencari si Udin. Pertanyaan-pertanyaan standar pun dilontarkan

“Kmana aja sih lu?”.
Karena masih belum pulih dari ngambeknya Udin pun sekenanya menjawab,
“Ngga ada yang mau datang ke rumah gue.”
“Rumah lu? Kan kita bisa ketemuan di luaran, ngopi kek, dungeb kek, ngga mesti ke rumah lu.”
“Iya gue tau. Tapi kalo kita habis senang-senang di luaran. Toh gue akan pulang juga. Nah di rumah gue kesepian!”

Ternyata itu jawabannya. Dia kesepian. Jadi mungkin selama ini dia menikmati lingkungannya karena dia tak ingin kesepian. Sesampainya di rumah dia hanya akan dihantui perasaan sepi itu lagi. Manusia juga si Udin ini. Bukan malaikat itu.

“Ya elaaah.. ngobrol dong kalo lu butuh temen.. Gitu aja susah amat.”
“Gengsi.”

Ya ampun Diiiiiiiiin.

Wednesday, March 23, 2005

Udin mau bicara apa...

Kasian si Udin. Dari dulu dia tidak bisa berbicara. Cuma bisa bergerak-gerak lucu tanpa mengeluarkan suara. Suara yang mestinya dimengerti orang-orang. Sekalipun ada suara yang keluar hanyalah teriakan-teriakan tak berirama. Pilu. Miris. Sakit mendengarnya.

Palingan dia hanya bisa tertawa, tersenyum atau sesekali mempantomimkan mulutnya untuk meniru mimik kata yang dimaksud. Itu pun tak begitu jelas. Pernah dia berusaha untuk mengkikir lidahnya agar bisa berbicara. Layaknya burung beo yang lidahnya dikikir agar fasih melafalkan kata-kata manusia. "Setidaknya aku bisa membeo" begitu katanya. Eh.. Maksudnya. Mungkin.

Pun gagal. "Kamu memang tidak bisa berbicara! Sudahlah. Kamu memang begitu". Hanya tetes air mata yang pelan-pelan meleleh dari matanya. Meredam marah dan suara yang mungkin terdengar.

Udin kemudian menggambar. Dengan cara ini dia berharap bisa menjelaskan segala sesuatu yang dimaksud. Sketsa-sketsa kasar maupun gambar yang indah ditorehkan sedemikian rupa. Ada saja orang yang menanyakan maksud gambar itu. Ternyata gambar-gambar itu tidak sepenuhnya berbicara.
Udin takut. Kalau dia bersuara lagi, dia hanya akan membuat orang tidak nyaman. Dia pun mencari teman untuk menterjemahkan gambar-gambar itu.

Sampai sekarang dia masih mencari. Mungkin bukan teman saja. Mungkin orang yang mau mengerti: Udin mau bicara apa...
"Remember when I used to play for
All of the loneliness that nobody notice now"
#41, Dave Matthews Band

Friday, March 18, 2005

Ini Jumat!!

Malam ini masih rame.

Monitor-monitor komputer masih menampilkan gambar-gambar beraneka ragam. Mata mulai picek. Posisi duduk sudah semuanya dicoba. Sepatu pun sudah dilepas. Candaan mulai garing, dicari-cari, dan kadang lucu, sering sekali tidak lucu. MP3 yang bergiga-giga pun serasa mati kamus. 'Mmm.. Pasang lagu apa lagi ya?'

Setengah jam kemudian...

Monitor-monitor masih dalam status yang sama. Gambar-gambar itu lagi. Hanya saja sekarang ada modelnya. Headlinenya sudah diganti. Contentnya sudah dirombak lagi. Jangan senang dulu, nanti masih bisa berubah. Sejenak membasuh muka dan berjalan-jalan di koridor studio yang sempit. Wong masih rame. Kita pun sudah tidak berbicara satu sama lain. Sepi. Capek. Oh iya, ngerokok ah!.. Tapi.. Bah! rasanya udah ngga senikmat sehabis santapan makan. Aduh!! lupa makan!! Ya udah.. Lain kali jangan. Dari dulu selalu begitu.

Setengah jam lagi...

Tuh bener kan. Ada yang salah kerjaannya. Makanya kalo udah jam segini teliti dong. Semakin capek mestinya semakin fokus. Biar nggak bete kalo ada kerjaan yang salah. Kalo udah gini , coba?! Ya udah.. Coba pasang musik yang agak up beat, biar agak groovy gitu lhow. Karena udah agak malem, bolehlah agak kenceng dikit. Dan coba juga musik negri sendiri. Lebih 'sing along song'. Dengan demikian kita semua terhibur. Atau cobalah sedikit terhibur.

Entah sudah berapa lama berlalu...

Buset. Masih aja di sini. Bahkan beberapa orang ada yang baru sampe kantor. Abis meeting mungkin. Pasti meeting yang melelahkan juga. Tuh..tuh.. Si bos juga baru pulang. Gile ya, ngga karyawan ngga bos hare gene masih kerja juga.
Ya udah yuk, kita pulang aja. Si bos udah menuju kemari. Jangan sampe dia ngeliat kita kerja, ntar kalo gimana-gimana lagi bisa panjang ceritanya. Dan gua juga males untuk memulai paragraf baru dalam cerita ini.

Yuk pulang! Ini Jumat!
"the sun'll come out tomorrow
so you gotta hang until tomorrow
come what may
tomorrow tomorrow i love ya tomorrow
you're always a day away.."

Thursday, March 17, 2005

Emang Gampang Jadi Rock Star?!

Image hosted by Photobucket.comKenyataannya enggak. Paling ngga buat gua.

Minggu lalu gua ke karaoke buat Farewell Party temen kantor gua. Yah namanya juga karaoke bersama teman-teman, kita nyanyinya ngga puguh-puguh amat juga dimaklumi saja. Berikut kalau teks lagunya udah kelar biasanya langsung di-skip ke lagu berikutnya. (F3!..F3!..)

Dalam durasi kurang lebih 2 jam kita nyanyi bergiliran menurut selera dangdut kita masing-masing. Sampai tiba giliran lagu gua yang diputer. Lagunya: "I Write the Song, Barry Manillow". Lagu yang menurut gua sangat bagus dari komposisi, ritme, harmonisasi dan lain-lain. Bagus aja!

Gua mencoba menyanyikannya dengan sepenuh hati, tentunya. Dalam setengah perjalanan lagunya gua mendapati ternyata lagu ini lambat laun naik nadanya. Di chorus ini naik, chorus berikutnya makin mampus. Sumpe. Gua sampe tersengal-sengal ngikutinnya. Kalau tidak ada dukungan tepuk tangan audience yang semakin panas saat itu mungkin gua sudah skip saja. Jadi berbekal semangat dan gengsi akhirnya gua menuntaskan lagu itu juga. Hhh..

Setelah lagu itu gua langsung berehat untuk cari nafas. Begini ternyata jadi penyanyi profesional. Dalam 3 menit saja dituntut untuk tetap prima. Dan lagu berikutnya, dan berikutnya. Tetap prima. Kebayang kan kalau harus live concert. Emangnya penonton bakal nonton 1 lagu aja? kan enggak!

Pastilah penyanyi-penyanyi itu punya determinasi dan disiplin yang baik dalam menjalani profesinya. Pasti latihannya serius. Ngga cuma ngabisin teks lagu terus udah. Ngga cuma milih kostum manggung yang pantes. Ngga cuma ngarepin tepuk tangan dari penonton. Dan pastinya, dia harus menyanyi dengan segenap hatinya.

"Jadi, Dik? Masih ngimpi jadi rock star??"

Ya sih!

dedicated to all Indonesian Idol and American Idol contestants, ROCK ON!

Monday, March 14, 2005

SMS, Kemerdekaan dan Fiskal

Masih ingat gak? Suatu hari di tahun 2000, kita di Indonesia ini sudah dapat ber-SMS-ria kepada teman-teman yang menggunakan operator berbeda. Lintas operator, begitu dulu judulnya.

Hari itu bagai hari kemerdekaan tersendiri bagi kita. Gimana nggak, yang biasanya hanya bisa berkaum dengan sesama operator, kini bisa berhubungan dengan siapa saja. Tidak ada batasan "eh.. Ntar dulu, dia kan pake operator ini, ya udah telpon aja kalo gitu..". Atau "kamu langganan operator ini aja.. Biar Papa bisa sms..".

Dan fitur-fitur canggih pada ponsel kita pun bisa langsung berkinerja dengan lebih baik. "Mr&Ms MissCall" pun tidak begitu populer lagi (walaupun masih ada saja yang seperti itu). Tergantikan dengan "Send to Many", "Caller Groups" atau sekarang "Contribution list".

Sejak saat itu, inbox di ponsel gua selalu berisi tentang informasi yang beragam. Dari urusan pacaran, joke-joke berantai ngga jelas (but fun), janji sana sini sampe janji ketemuan di Zanzi. (Silahkan, yang mau ketawa..). Yang pasti segala informasi dan kebutuhan dapat berfungsi melalui SMS lintas operator ini.

Nah, belakangan ini kita diributkan dengan penghapusan Fiskal yang tak kunjung tiba kejelasannya. Fiskal, dana sebesar 1 juta rupiah yang harus dibayarkan ke negara apabila kita bepergian keluar negeri. Dulu ketika peraturan ini dikeluarkan konon untuk mengurangi gencarnya orang-orang bepergian ke luar negeri untuk alasan-alasan yang tidak begitu penting. Konon, shopping. Jadi kalau kita mau ke luar negeri si satu juta ini sudah pasti dibebankan ke setiap individunya (bahkan bayi). Menjadi berat memang.

Sekarang peraturan itu akan dihapuskan. Tentu saja gua akan sangat mendukung kebijakan tersebut. Bayangkan saja, kita bisa lebih leluasa berkunjung ke negeri orang. Melihat-lihat wawasan paling mutakhir saat ini. Membanding-banding nilai yang dapat dipersaingkan. Mengenal bangsa lain agar kita (mungkin) lebih bisa mengenal diri sendiri. Bahkan memulai bisnis sekecil apa pun. Belajar dari yang sudah maju. Lantas kita jadikan oleh-oleh sepulangnya ke tanah air tercinta ini. TKI saja bisa pulang beli tanah di kampung.

Gua yakin banyak sekali faedah yang bisa kita dapat dari penghapusan Fiskal ini. Tak lagi urusan shopping belaka. Toh di sini kita bisa shopping dengan standart yang sama dengan negeri lain. (Tau kan? Kita sudah memproduksi barang-barang untuk dijual di luar negeri? Baju-baju FO gua salah satu contohnya).

Semoga saja Fiskal itu dihapuskan. Untuk kita juga, bangsanya.

ps. Kenny, may you make it to England.
"It's in the way you're always hiding from the light
See for yourself you have been sitting on a time bomb
No revolution maybe someone somewhere else
Could show you something new about you and your inner song"
Break It Down, Tears For Fears

Tuesday, March 08, 2005

Are You With Me?

Seperti biasa tadi pagi gua bangun, ngambil koran, rokok dan langsung menuju halaman depan rumah. Satu-satunya tempat merokok gua sekarang ini.

Halaman koran - seperti biasa - dimulai dari belakang. Memantau klasemen Liga Inggris sudah sampai mana. Berharap Chelsea akan slipdan Manchester United dihadiahi seri, sukur-sukur kalah. Dan Arsenal pun berjaya lagi. Itulah harap. Sabar ya, Dik!

Topik berikutnya adalah memantau iklan. Pilahan-pilahan koran pun mulai gua buka. Lagi-lagi dari belakang. Perusahaan mana hari ini yang sudah mengeluarkan ratusan juta dari koceknya untuk mengkomunikasikan roda hidup mereka. Dan agency iklan mana yang kali ini mempertunjukkan kebolehannya. Seakan hari-hari di lembaran koran itu selalu bertajuk "Parade Iklan Hari Ini".

Gua sampai ke salah satu iklan satu halaman penuh yang menginformasikan sebuah produk. Sebuah kartu kredit 'super' yang ditawarkan kepada nasabah berikut fasilitas-fasilitas kelas atas punya. Karena dibuat dalam satu halaman penuh, tentu saja iklan itu terlihat dengan gampangnya.

Lantas gua beralih ke halaman berikutnya. (Secara terbalik. Jadi mestinya halaman sebelumnya. Red) Di halaman itu gua dapati sebuah iklan 'teaser' dari iklan kartu kredit tadi. O la la.. Ternyata secara tidak langsung gua merusak umpan yang semestinya diharapkan terjadi. Rese lu, Dik! Mungkin umpatan yang gua dapet dari teman-teman kreatif yang membuat iklan itu. Terserah gua memang target audiencenya atau bukan. Yang pasti gua telah menggagalkan iklan tersebut.

Memang tidak sepenuhnya gagal. Tapi apa yang disebut "elements of surprise"nya sudah tidak berlaku. Hanya gara-gara kebiasaan gua yang suka membaca dari belakang.

Gua jadi mikir, ada lagi nggak ya, orang-orang seperti gua? Yang dengan seenaknya doing backwards. Atau berjalan dengan ketentuan masing-masing, yang bukan melulu break the rules (and what's in the rule anyway..). Atau dengan sok asiknya ngimbuhin personal touch.."cara gue gini". Atau mungkin improvisasi-improvisasi lainnya.

Mungkin kan? Mungkin dong...
Serem nih kalo gua ternyata sendirian.

"I´m breaking through
I´m bending spoons
I´m keeping flowers in full bloom
I´m looking for answers from the great beyond"
The Great Beyond, R.E.M

Friday, March 04, 2005

Oh

Image hosted by Photobucket.comSeseorang di dekat gua sedang ngerumpi seseorang yang gua kenal. Pedas dan sangat menjelekkan. Gua sendiri bingung apa iya orang yang gua kenal itu memang sejelek atau senegatif itu. Tapi gua diam dulu. Toh gua ngga diajak dalam pembicaraan menjelek-jelekkan itu.

Seseorang di samping seseorang yang sedang menjelek-jelekkan seseorang yang gua kenal itu JUGA sedang menjelek-jelekkan seseorang lagi yang lagi-lagi gua kenal. Oh.. Sial sekali nasib gua hari ini.

Sebagaimana otak gua yang gampang berimajinasi, sempat terbayang oleh gua bagaimana gambaran-gambaran jelek itu diaplikasikan kepada orang-orang yang gua kenal itu. Apa pun hasil dari gambaran itu tetap saja jelek. Sangat jauh dari hal yang nyaman.

Gua juga mulai resah. Jangan-jangan sekarang pun mereka sedang menjelek-jelekkan gua. Hanya saja tak dinyatakan. Karena gua sedang berada di situ. Tapi di lain waktu? Oh jahat sekali.

Mereka masih bercakap-cakap jelek tentang orang-orang itu. Kali ini sudah ada anggota baru yang diikut sertakan sebagai korban percakapan jelek mereka. Beberapa masih saja gua kenal. Beberapa (akhirnya) mulai kabur, tak dikenal.

Gua pun larut dalam kekesalan yang mereka ciptakan. Sampai akhirnya gua terpikir satu pribahasa "mulutmu harimaumu". Oh.. Ada juga penjabaran untuk hal seperti ini. Baiklah. Ternyata mulut mereka yang bau. Tapi bukan harimau. Mungkin mangsa harimau yang ketakutan. Atau pengagum harimau-harimau yang mereka jelek-jelekkan itu, malah. Who knows. It's not for me to judge.

Mobil berhenti. Lega bisa keluar dari situ.